Aku kembali bertemu Jeni. Perempuan yang pernahku istilahkan sebagai
bidadari yang mengembara. Dia adalah mantan SM. Juga mantan kekasih saudaraku, Defy.
Jeni adalah pengecualian yang membuatku mengerti bila intuisi tak
selamanya benar dan tepat. Ia menjungkir balik logikaku dan pengalamanku
membaca orang lain. Memang sebelum masuk SM, selalu ada seksi interview. Dan aku
salah terka dengannya.
Mengingat Jeni, aku selalu kembali diingatkan soal malam rapat senior SM
yang membicarakan kelayakan mereka terus di SM atau tidak. Semacam malam
evaluasi sepihak yang menentukan mereka bakal diterima atau tidak. Waktu itu
pun Jeni bukan termasuk yang jadi perbincangan menonjol soal kemampuan
individunya. Bahkan dia masuk dalam daftar untuk cut. Tapi, lagi-lagi karena ada perasaan tak enak dengan Defy,
sehingga Jeni bertahan cukup lama di SM.
Setiap waktu yang berjalan di SM selalu ada bau persaudaraan yang menggelitik.
Meskipun itu bukan sesuatu yang “sehat” dalam organisasi, tapi kita sama-sama
menikmati. Dan hanya persaudaraan itulah kita menjadi dekat. Di samping itu dia
juga sudah pernah ke rumahku malam-malam dengan Defy.
Ya, Jeni. Mengingatnya menjadi semacam pagar pembatas yang membuatku jadi
tau akan batas. Membuatku lebih sadar bila penilaian yang dilakukan oleh
manusia selalu punya cela untuk salah. Setinggi apapun pengalaman seseorang,
sebanyak apapun seseorang tau asam garam hidup, tak ada seujung kuku dia bisa tau
soal sisik melik hidup manusia. Sebab, kompleksitas persoalan manusia tak akan
habis dengan ribuan judul buku yang mencoba menggambar kemanusiaan. Dan mungkin
Tuhan selalu menunjukkan kebesaran-Nya dengan membuat pemahaman kita terbentur
dengan pengecualian-pengecualian ketika kita telah merasa berada di atas.
Aku insaf. Ilmu Tuhan begitu tanpa batas dan membuat kita selalu bisa
mendapat hal baru dari setiap perjalanan dan dialog antar manusia.
Mengingat Jeni membuatku banyak malu karena mencoba mengadili hidup dan
nasib orang lain. Tak akan aku ulangi merebut hak Tuhan. Ah, Jeni, mengingatmu
adalah semacam kembali melankolik dengan sisa-sisa pergulatan persaudaraan yang
terus saja kental dan manis. Juga ketika mengingat mantan-mantan warga SM. Seperti
trio kambing SM: Jacko, Hanif dan Ferry. Ketiganya adalah alumnus SM yang bisa
kubilang cukup berhasil dari sisi kesadaran berpikir, meski tidak soal hati. Aku
menyimpan banyak marah buat mereka bertiga. Tapi, seperti Jeni, aku lebih
menyimpan banyak maaf lantaran tak pernah ada bekas saudara.
Jeni, Jacko, Hanif dan Ferry bisa dibilang sudah jadi bagian hidupku. Mereka
pernah jadi semangatku, dan alasan agar aku tetap bertahan dengan rasa sakit
karena harus tertinggal dengan kawan seangkatanku yang lain. Mereka sudah jadi
semacam pil kuning yang pahit, tapi membuatku kembali lebih segar. Mereka yang
bisa membuatku percaya pada sesuatu dan berjuang untuk kepentingan mereka lebih
dari diriku sendiri. Seperti ini kah rasanya mencintai sesuatu?
Kepergian Jeni, Jacko, Hanif dan Ferry dari SM membuatku banyak mengerti
soal mencintai. Ternyata istilah besarnya rasa cinta akan terbukti ketika
kehilangan datang di hidup kita. Takdir Tuhan soal cintaku pada mereka adalah semanis-manisnya
kenangan, semanis-manisnya cinta bapak ke anak. Mereka membuatku sadar kerasnya
sikapku pada mereka adalah kesalahan yang cukup serius. Sekali pun, mungkin,
mereka tidak benar-benar sadar aku melakukan semuanya itu untuk mereka. Bila
sampai sekarang mereka tidak tau, dan kupikir mereka tak perlu tau. Doaku selalu
ada buat mereka.
Hari ini aku kembali bicara banyak dengan Jeni. Tapi aku gagal meminta
maaf soal masa lalu yang sudah kulakukan. Kita hanya bercanda tentang hal-hal
ringan dan kembali mencoba mengingat-ingat apa yang dulu pernah terjadi. Meskipun
kami sama-sama tak perlu diingatkan, tak ada salahnya kembali bermesraan
tentang hangatnya persaudaraan.
Jenior, Jeni. Meskipun kau tak suka panggilan itu, tapi aku tak akan
berhenti memanggilmu seperti itu. Karena dengan cara seperti itu aku kembali
diingatkan tentang masa-masa hangatnya persaudaraan. Mungkin kalau Defy,
mengingatmu dengan sebutan “abut”. Apapun, yang jelas aku senang dengan
pertemuan malam ini.
Sekarang kau telah menemukan rumah baru di UKM Or. Juga seorang pacar baru
yang mungkin tidak se badboy Defy. Tapi berbahagialah. Berlabuhlah. Di hati
kekasihmu, di hatiku sebagai kader SM, sebagai saudara.
Terimakasih telah menjadi antitesis dari semua kecucukanku soal hidup.
Oktober, 2012
Citra D. Vresti Trisna
(pimred yang gagal “membaca”)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.