Laman

Jumat, 12 Oktober 2012

Antitesis JeniOR



Aku kembali bertemu Jeni. Perempuan yang pernahku istilahkan sebagai bidadari yang mengembara. Dia adalah mantan SM. Juga mantan kekasih saudaraku, Defy.
Jeni adalah pengecualian yang membuatku mengerti bila intuisi tak selamanya benar dan tepat. Ia menjungkir balik logikaku dan pengalamanku membaca orang lain. Memang sebelum masuk SM, selalu ada seksi interview. Dan aku salah terka dengannya.
Mengingat Jeni, aku selalu kembali diingatkan soal malam rapat senior SM yang membicarakan kelayakan mereka terus di SM atau tidak. Semacam malam evaluasi sepihak yang menentukan mereka bakal diterima atau tidak. Waktu itu pun Jeni bukan termasuk yang jadi perbincangan menonjol soal kemampuan individunya. Bahkan dia masuk dalam daftar untuk cut. Tapi, lagi-lagi karena ada perasaan tak enak dengan Defy, sehingga Jeni bertahan cukup lama di SM.
Setiap waktu yang berjalan di SM selalu ada bau persaudaraan yang menggelitik. Meskipun itu bukan sesuatu yang “sehat” dalam organisasi, tapi kita sama-sama menikmati. Dan hanya persaudaraan itulah kita menjadi dekat. Di samping itu dia juga sudah pernah ke rumahku malam-malam dengan Defy.
Ya, Jeni. Mengingatnya menjadi semacam pagar pembatas yang membuatku jadi tau akan batas. Membuatku lebih sadar bila penilaian yang dilakukan oleh manusia selalu punya cela untuk salah. Setinggi apapun pengalaman seseorang, sebanyak apapun seseorang tau asam garam hidup, tak ada seujung kuku dia bisa tau soal sisik melik hidup manusia. Sebab, kompleksitas persoalan manusia tak akan habis dengan ribuan judul buku yang mencoba menggambar kemanusiaan. Dan mungkin Tuhan selalu menunjukkan kebesaran-Nya dengan membuat pemahaman kita terbentur dengan pengecualian-pengecualian ketika kita telah merasa berada di atas.
Aku insaf. Ilmu Tuhan begitu tanpa batas dan membuat kita selalu bisa mendapat hal baru dari setiap perjalanan dan dialog antar manusia.
Mengingat Jeni membuatku banyak malu karena mencoba mengadili hidup dan nasib orang lain. Tak akan aku ulangi merebut hak Tuhan. Ah, Jeni, mengingatmu adalah semacam kembali melankolik dengan sisa-sisa pergulatan persaudaraan yang terus saja kental dan manis. Juga ketika mengingat mantan-mantan warga SM. Seperti trio kambing SM: Jacko, Hanif dan Ferry. Ketiganya adalah alumnus SM yang bisa kubilang cukup berhasil dari sisi kesadaran berpikir, meski tidak soal hati. Aku menyimpan banyak marah buat mereka bertiga. Tapi, seperti Jeni, aku lebih menyimpan banyak maaf lantaran tak pernah ada bekas saudara.
Jeni, Jacko, Hanif dan Ferry bisa dibilang sudah jadi bagian hidupku. Mereka pernah jadi semangatku, dan alasan agar aku tetap bertahan dengan rasa sakit karena harus tertinggal dengan kawan seangkatanku yang lain. Mereka sudah jadi semacam pil kuning yang pahit, tapi membuatku kembali lebih segar. Mereka yang bisa membuatku percaya pada sesuatu dan berjuang untuk kepentingan mereka lebih dari diriku sendiri. Seperti ini kah rasanya mencintai sesuatu?
Kepergian Jeni, Jacko, Hanif dan Ferry dari SM membuatku banyak mengerti soal mencintai. Ternyata istilah besarnya rasa cinta akan terbukti ketika kehilangan datang di hidup kita. Takdir Tuhan soal cintaku pada mereka adalah semanis-manisnya kenangan, semanis-manisnya cinta bapak ke anak. Mereka membuatku sadar kerasnya sikapku pada mereka adalah kesalahan yang cukup serius. Sekali pun, mungkin, mereka tidak benar-benar sadar aku melakukan semuanya itu untuk mereka. Bila sampai sekarang mereka tidak tau, dan kupikir mereka tak perlu tau. Doaku selalu ada buat mereka.
Hari ini aku kembali bicara banyak dengan Jeni. Tapi aku gagal meminta maaf soal masa lalu yang sudah kulakukan. Kita hanya bercanda tentang hal-hal ringan dan kembali mencoba mengingat-ingat apa yang dulu pernah terjadi. Meskipun kami sama-sama tak perlu diingatkan, tak ada salahnya kembali bermesraan tentang hangatnya persaudaraan.
Jenior, Jeni. Meskipun kau tak suka panggilan itu, tapi aku tak akan berhenti memanggilmu seperti itu. Karena dengan cara seperti itu aku kembali diingatkan tentang masa-masa hangatnya persaudaraan. Mungkin kalau Defy, mengingatmu dengan sebutan “abut”. Apapun, yang jelas aku senang dengan pertemuan malam ini.
Sekarang kau telah menemukan rumah baru di UKM Or. Juga seorang pacar baru yang mungkin tidak se badboy Defy. Tapi berbahagialah. Berlabuhlah. Di hati kekasihmu, di hatiku sebagai kader SM, sebagai saudara.
Terimakasih telah menjadi antitesis dari semua kecucukanku soal hidup.

Oktober, 2012
Citra D. Vresti Trisna
(pimred yang gagal “membaca”)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.