Teman berbaik sangka |
Di suatu subuh, di tengah
mencekamnya kondisi pagebluk massal corona,
saya bertanya ke diri saya sendiri, ”apa yang perlu dilakukan di
tahun-tahun serba susah ini?”
Sepi! Tak berjawab! Kebetulan,
otak saya sedang direnovasi, belum bisa diandalkan. Jangankan dipaksa “mencemaskan
zaman” seperti omong kosong aktivis pers mahasiswa, menjawab pertanyaan siapa nama
istri Pasha Ungu saja saya kelimpungan. Maka demi kebaikan bersama, sebaiknya
memang perlu saya atasi sendiri kebuntuan saya.
(Saya mengulangi pertanyaan) ”Apa
yang perlu dilakukan di tahun-tahun susah ini?”
(Beberapa menit kemudian baru
menjawab) ”Baik sangka!”
Itulah jawaban terbaik yang bisa
saya hadirkan. Mohon maaf, ya, seandainya jawaban ini kurang memuaskan anda.
Apa tidak ada stok jawaban lain
di dalam otak saya? Sebenarnya ada saja sih,
kalau kalian ingin pilih sendiri, berikut ini saya tuliskan daftarnya.
Di file bernomor 1-122 isinya
skema dan skenario pernikahan dan perkawinan. File nomor 123 isinya soal
pertanyaan: besok makan apa? File 124-125 isinya ingatan soal resep sambel dari
facebook
dan file 126-130 berisi kunci gitar beberapa lagu Malaysia. Otak saya juga
menyimpan beberapa file urusan negara. Kalau tidak salah, di file ke 131 isinya
nama presiden Indonesia yang entah kenapa saya tidak yakin bernama Joko Widodo.
Dan untuk ingatan siapa-siapa nama menteri dan fungsinya, kalau tidak salah
sudah saya hapus dan saya ganti ingatan soal nama-nama ikan.
Jadi ketimbang kalian kesal,
lebih baik saya pilihkan jawaban yang paling baik menurut saya, ya, kan? Maka “baik sangka” adalah jawaban
terpantas untuk dihadirkan ketimbang jawaban lain.
***
Mungkin karena terlalu kesal
dengan banyak hal, Defy (selanjutnya disebut Eyang) menempuh keseimbangan hidup
paling radikal (baca: menonton ftv).
”Nontok iki ae, mas! Enteng nang utek. (menonton ini saja, mas!
Ringan di otak).” Kata Eyang.
Seperti yang saya jelaskan di
awal: saya sedang sibuk dengan urusan baik
sangka. Kalau sudah yakin akan berbaik sangka, ya, saya akan berkomitmen.
Berusaha sebisa mungkin tetap santuy
dengan apa saja yang hadir “di meja makan saya”, termasuk ftv.
Saya sudah mencoba sabar, tidak
ngomel dan berkomentar sejak pertama kali film ini main. Tapi ternyata
pertahanan saya jebol dan komentar saya muncrat tak bisa dibendung.
Kesal sekali rasanya mendapati
kenyataan bila ternyata saya adalah manusia yang kurang bisa bersabar. Memutuskan
tidak bicara di saat kita (seharusnya) bebas bicara itu sulit. Bicara hanya
tentang hal-hal yang baik dan benar itu butuh perjuangan. Menyampaikan
kebenaran dengan cara yang baik itu perlu kecerdasan. Dan tahu kapan momentum
yang tepat untuk bicara itu butuh kepekaan.
Kalau kembali soal ftv, ya sudah,
saya mengaku kalah. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak nyinyir dan
misuh-misuh. Tapi saya mohon anda jangan salah paham dulu, misuh saya ini
lantaran saya ingin benar-benar memuji eksistensi ftv. Film seperti inilah yang
benar-benar mengerti kebutuhan penonton. Tayangan jenis ini sangat memahami
rakyat masih memiliki ketidakmungkinan menang dalam hidup, penonton butuh
hiburan sekaligus jalan masuk menuju imajinasi kemenangan-kemenangan kecil di
kepala mereka.
Ftv tidak egois. Tidak memaksakan
kehendaknya untuk menghadirkan tontonan yang masuk akal yang mendekati
ketidakmenentuan realitas hidup. Ftv tidak perlu dipusingkan dengan kerumitan
sinematografi yang berkelas agar nampak eksklusif. Ya, ya, ya, ftv sangat
mengerti penonton kelas tempe goreng di Indonesia butuh lebih dari sekedar
tontonan yang menghibur. Manusia kelas dua yang ingin ikut merasa bahagia tokoh
utamanya mendapatkan cinta. Penonton sangat menunggu orang-orang buangan
mendapat sesuatu cinta yang megah dan mewah.
Urusan penonton dibodohi itu lain
soal. Karena saya sendiri pun belum tentu sanggup menghibur orang-orang di
sekitar saya. Dan pada akhirnya berbaik sangka saja, itu yang penting. Lalu
orang-orang kepepet seperti saya ini perlu menyalakan tv.
Kelapa
Dua
Selasa
Legi, 30 Maret 2020
Citra D.
Vresti Trisna