Laman

Senin, 11 Mei 2020

Revolusi

Bila revolusi itu omong kosong, rebahan saja sambil ngeteh 


Pukul dua dini hari. Beberapa orang pasukan yang dikepalai oleh Mikhailovich Yurovsky membangunkan Tsar Nicholas II dan keluarganya dari tidur. Setelah disuruh berpakaian rapi, Nicholas sekeluarga dibawa ke ruang bawah tanah. Untuk meredakan kecemasan, salah seorang pasukan mengatakan, mereka diperintah mengamankan Nicholas dan keluarganya dari tentara Bolshewik yang hampir mengepung Yekaterinburg. Nicholas sadar Dinasti Romanov telah tamat usai Revolusi Februari 1917, tapi ia dan keluarganya tak tahu bakal dieksekusi dini hari itu juga.

Setelah Nicholas dan seluruh keluarganya berkumpul, mereka berjalan ke ruang bawah tanah. Menurut penuturan Yorovsky, Nicholas turun ke ruang bawah tanah menggendong Alexei, putra bungsunya. Di ruang bawah tanah terjadi kegaduhan yang tidak perlu. Ratu Alexandra mengeluh lantaran tidak ada kursi untuk duduk. Yorovsky pun memberikan dua buah kursi. Setelah Alexandra dan Alexei duduk, para eksekutor masuk ke dalam ruangan.

Yorovsky memecah kebuntuan dan kebingungan seluruh keluaga Nicholas di ruang bawah tanah. Dengan tenang ia mengumumkan bahwa Nicholas dan keluarganya telah dijatuhi hukuman mati oleh Deputi Pekerja Soviet Ural. Kebingungan memang mereda, digantikan kecemasan dan jutaan pertanyaan di kepala. Nicholas masih terkejut dengan apa yang baru ia dengar. Tapi, Yurovsky kembali mengulang istruksinya dan langsung menembak Nicholas dan diikuti oleh seluruh pasukan.

Lima butir peluru bersarang di dada Nicholas. Empat orang putrinya Tatiana, Anastasia, Olga dan Maria tak langsung tewas lantaran peluru yang ditembakkan prajurit itu tertahan oleh perhiasan di balik korset. Para prajurit itu mengambil inisiatif. Empat orang itu ditikam dengan bayonet dan ditembak kepalanya dari jarak dekat. Polisi Bolshevik juga ambil bagian untuk mengeksekusi pelayan, sopir, juru masak dan dokter keluarga.

Jumat, 08 Mei 2020

Klenik

Kiri: Alm Mbah Bambang & Gus Be


Ia menyodorkan tangan pada saya dan memperkenalkan diri. ”Saya, Bambang. Sudah dua tahun lebih tinggal di sini.”

Ia mengaku ingin menghabiskan usia senjanya di Tampuono, pos dua pendakian Gunung Arjuna via Purwosari, Pasuruan. Sehari-hari, kakek asal Lumajang ini hidup di pondokan kecil yang dibangun oleh masyarakat dan pertapa. Di tempat itu terdapat beberapa pondokan kecil tak berpintu dan dibangun berjajar. Ada juga beberapa bangunan yang dipakai untuk ritual. Konon, pondokan itu dibangun oleh beberapa ”alumnus” Arjuna yang telah sukses usai menempuh ritual.

”Ya, terserah kalau tidak percaya, pondokan ini tambah banyak. Berarti makin banyak orang yang berhasil setelah pulang dari sini lalu membangun pondok,” ujarnya. Dan saya lihat memang pondokan di sini memang makin banyak dibanding sebelumnya waktu saya ke sini. Selain membangun pondokan kayu, pondok ini juga dilengkapi dengan berbagai peralatan yang bisa dipakai dengan gratis, mulai alat dapur, jaket tebal penghangat, sarung dan alat-alat untuk berkebun.

Kehidupan di pondokan ini terbilang cukup komunal. Mereka bisa berbagi rokok, makanan, saling membantu memotong kayu bakar untuk memasak. Dan di hari yang dianggap keramat, para pertapa itu biasa melakukan ritual sendiri-sendiri dan ada juga yang bersama-sama, dipimpin oleh orang yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Ketika aku tanya apa tujuan Bambang menghabiskan usia tua di pondokan Tampuono, ketika banyak orang ingin mati di rumah bersama keluarga, ia enggan menjawab. Tapi, sebelum saya melanjutkan perjalanan ia baru mau bicara: ”ketenangan, mas,” katanya, ”apa lagi yang diharapkan orang tua seperti saya. Mungkin kalau yang muda, itu ada yang cari kaya, ada juga yang cari ilmu dan juga tirakat,” lanjutnya. 

Bambang tua hanya turun dari pondokan itu hanya bila membeli bahan makanan di Desa Tambak Watu, desa terakhir di kaki gunung. Selain itu, ia juga akan turun bila tokoh spiritual dari Kostrad (yang ia anggap guru) dan juga beberapa orang anggota aktif berkunjung ke sana untuk latihan. Yang saya ingat dari pria ini adalah pengakuannya untuk tidak akan turun dan kembali ke kota, ke rumahnya. ”Saya ingin mati, moksa, kalau mungkin gagal moksa, saya ingin dikubur di sini.”

Jumat, 01 Mei 2020

Konsumsi dan Ketololan Kita di Media Sosial


”Konsep-Konsep ’lingkungan hidup’, ’suasana’ barangkali hanyalah sebuah mode baru sejak kita hidup dengan dangkal jauh dari orang lain, jauh dari kehadiran mereka, obrolan mereka,” kata Jean Baudrillard dalam Le societe de consommtion.

Benarkah waktu itu (ketika buku ini ditulis) masyarakat Eropa sedang berpura-pura hidup beradab dan elegan? Baudrillard tak menyangkal itu! Sebuah situasi di mana orang-orang jadi seperti batu yang bergulir, tapi tetap berlumut. Manusia hidup dengan lancung. Kelimpahruahan objek menyebabkan masyarakat Eropa jadi sangat sopan, berhati-hati tapi abai dengan hidup orang lain.

Meski pada akhirnya, Baudrillard mengakui beraneka kepalsuan dengan berkata lantang: ”kita hidup di bawah pandangan bisu tentang objek yang lembut, menipu dan selalu berulang.”

Mungkin inilah satu-satunya cara memisahkan manusia dari Tuhan meski setiap minggu mereka mendatangi gereja. Konon, perdagangan tak akan meraup banyak untung bila manusia masih memperhitungkan Tuhan sebagai ”batasan”. Selubung gelap produk dengan beraneka mitos di dalamnya tak akan laku ketika manusia mengenal kebutuhannya yang sejati. Kebutuhan untuk hidup yang paling sejati diperoleh melalui interaksi antar sesama manusia dalam selubung kemesraan, cinta.

Memang benar bila ”kelimpahruahan objek” tak dapat dihindari karena ia adalah efek ke sekian dari kebudayaan manusia. Ketika objek tak berhenti diproduksi, sementara kebutuhan akan objek rendah bakal jadi kiamat kecil bagi industri yang sedang tumbuh pesat dan tak ingin buru-buru bangkrut, hingga pada akhirnya sebelum mereka memproduksi barang secara massal, perlu diciptakan sebuah iklim konsumsi yang nyaman bagi masyarakat Eropa.

Perselisihan pandang antara agama dan industrialisasi telah terjadi sejak lama. Agama memandang para industrialis adalah bayi tua yang selalu ”lapar” dan ingin dipuaskan. Sementara para industrialis memandang agama adalah nilai-nilai lama yang kolot; mengajak manusia jadi patung penuh sawang dan berdebu di pojok gereja. Dan ketika Eropa dikuras habis, saat itulah para industrialis melirik ke timur.