Apa tugas semua pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin. Dengan cara apa? Dia harus belajar bagaimana merasa bosan. ’Bagaimana itu dicapai?’ Melalui konsep tugas.” Tulis Nietzsche dalam Twilight of the Idols and the Anti-Christ.
Nietzsche memang sinis! Mungkin pada segala hal.
Juga pada dunia pendidikan yang pernah ia geluti: menjadi tenaga pengajar di
Universitas Basel, Swiss pada 1869. Sebelum ia bergelar doktor, ia telah diberi
rekomendasi oleh dosennya di Leipzig untuk mengajar di Basel. Ia pun mendapat
gelar doktor dari Leipzig tanpa melalui formalitas ujian. Dan ini adalah
sesuatu yang hampir mustahil terjadi di hari ini.
Melihat riwayat pendidikan Nietzsche, mungkin
tak banyak yang meragukan kecerdasan dan kecemerlangannya. Untuk itu, mustahil
ia tak menakar dan menghitung kembali aforisme yang ia tulis mengenai
pendidikan tinggi; sesuatu yang ia sebut “pengubah manusia menjadi mesin”.
Sedangkan istilah “manusia”, “pendidikan”, dan “mesin (robot)” memang begitu
dekat, klasik, meski tidak cukup mengherankan.
Di dalam lagu-lagu (progresif), pendidikan—apapun
jenjangnya—dikritik, dianggap sebagai cikal-bakal pembodohan terstruktur;
kemunduran yang gagal menjawab pertanyaan zaman. Bila dalam arus-arus perlawanan,
pendidikan dikritik; dipermasalahkan outputnya. Tapi, saya melihat kritik atas
pendidikan berangkat dari ketidakmampuan alumnus dunia pendidikan menentang
ketidakadilan, praktik perburuhan dan kapitalisme. Meski di sisi lain,
ketidakadilan perburuhan dan kapitalisme—jurang yang memperlebar jarak antara
kaya-miskin—justru diciptakan oleh alumnus dunia pendidikan itu sendiri.
Di hari ini, kritik itu telah lumrah. Bahkan
hampir di semua lapisan masyarakat pun tahu pendidikan telah dibabat dengan
kritik. Ia disebut-sebut sebagai bagian dari salah satu sektor kapitalisme yang
paling berbahaya. Dan kritik tetaplah kritik. Dan sekolah (baca: pabrik
pendirikan) tetap dibuka dan diserbu seperti biasanya sebagaimana tempat makan
McDonald’s yang baru dibuka di negara komunis yang bangkrut.
Ketika materialisme mencapai puncaknya dan
manusia kian dipisahkan dengan apa yang “sejati”, saat itu manusia bergerak
sebagaimana yang Nietzsche sebut: mesin. Manusia bergerak menjauhi dirinya
sendiri dan semakin tidak mengenal dirinya. Tapi, dalam jaring kejamnya dunia
perburuhan, sekolah sebagai pabrik buruh dituntut untuk merubah wajahnya. Bila
pada awalnya pendidikan tinggi mencetak manusia menjadi makhluk “universal”,
kini berubah menjadi makhluk “fakultatif”.
Apa ada perbedaan output pendidikan ini jadi
penting? Tentu tidak! Di mata masyarakat modern, manusia universal hanya akan
jadi penerus filsuf: cepat tua, tidak menarik dan banyak omong. Berbeda dengan
manusia fakultatif. Manusia jenis ini sangat baik dan efektif sebagai sekrup
kecil dalam mesin besar industri yang harganya murah bisa cepat diganti bila
membangkang dan aus.
Ketabahan sekrup-skrup kecil keluaran pendidikan
tinggi memang tidak lagi diragukan loyalitasnya. Kalau pada awalnya output
pendidikan tinggi “manusia universal” dipaksa menjadi sekrup, di mana mau tidak
mau mereka harus bertahan agar bisa melanjutkan hidup. Sekarang peminat
pendidikan tinggi sudah sejak mula-mula mendedikasikan dirinya untuk menjadi
sekrup, hidup sebagai sekrup sampai mati. Tidak jadi soal bila di tengah
perjalanan, nurani mereka bicara, lalu timbul pertentangan dalam dirinya dan
berakhir bunuh diri. Ini hanya nol koma nol sekian persen dari output
pendidikan tinggi yang ada.
Pilihan kata “mesin” pada aforisme Nietzsche,
bagi saya terbilang cukup tepat karena hanya mesin yang berjalan tanpa nurani. Agar
tak cepat-cepat tak tergantikan, buruh hari ini harus bisa lebih tabah, dingin
dan bisu melebihi mesin. Dan pelumas sekaligus pendingin mesin adalah upah
murah serta omong kosong yang manis tentang masa depan. Pelarian diri untuk
“buang hajat” ketika mesin telah dipanaskan jam kerja yang tidak masuk akal
juga telah disiapkan.
Hanya di lubang-lubang konsumerisme ini manusia
modern boleh bergulir. Keterikatan manusia dengan pola hidup konsumtif inilah
yang membuat para buruh ini selamanya terikat; selamanya menjadi mesin yang
kelak mati dalam kebosanan. Pendidikan tinggi jadi punya arti penting bagi para
industrialis yang sedang mencari buruh murah. Karena kurikulum yang ada saat
ini seolah tak punya urusan selain mencetak buruh-buruh murah.
Tidak heran bila pendidikan tinggi adalah sebaik-baik pemberhentian manusia untuk menghancurkan martabat—derajat manusia yang punya kaitan langsung dengan konsep Tuhan—sampai ke titik nadir. Alhasil mesin-mesin yang lupa martabat ini dihilangkan kemandiriannya dan mengalami ketergantungan serta hanya menginginkan dirinya untuk terus menjadi mesin industri di segala level. Setelah martabat dan kemandirian punah, barulah budaya baru “manusia modern” terbentuk. Dan setelah menjadi budaya, barulah peradaban baru terbentuk.
Titik berat dari moncong bedil atas kritik
pendidikan tinggi terletak pada output. Tapi, kritik ini bukan lahir tanpa
serangan balik yang lebih nampak seperti olok-olok. Output pendidikan tinggi
yang melahirkan sistem canggih perbudakan manusia di balik sistem perburuhan
dianggap sebagai kecemerlangan berpikir, buah dari universitas. Kalau memang
olok-olok itu benar, tentu saya akan balik bertanya: pendidikan macam apa yang
sanggup menciptakan manusia pencetus sistem perbudakan yang sistematis?