Laman

Senin, 14 Desember 2020

Peradaban Mesin dan “Kematian Tuhan”

Apa tugas semua pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin. Dengan cara apa? Dia harus belajar bagaimana merasa bosan. ’Bagaimana itu dicapai?’ Melalui konsep tugas.” Tulis Nietzsche dalam Twilight of the Idols and the Anti-Christ.

Nietzsche memang sinis! Mungkin pada segala hal. Juga pada dunia pendidikan yang pernah ia geluti: menjadi tenaga pengajar di Universitas Basel, Swiss pada 1869. Sebelum ia bergelar doktor, ia telah diberi rekomendasi oleh dosennya di Leipzig untuk mengajar di Basel. Ia pun mendapat gelar doktor dari Leipzig tanpa melalui formalitas ujian. Dan ini adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi di hari ini.

Melihat riwayat pendidikan Nietzsche, mungkin tak banyak yang meragukan kecerdasan dan kecemerlangannya. Untuk itu, mustahil ia tak menakar dan menghitung kembali aforisme yang ia tulis mengenai pendidikan tinggi; sesuatu yang ia sebut “pengubah manusia menjadi mesin”. Sedangkan istilah “manusia”, “pendidikan”, dan “mesin (robot)” memang begitu dekat, klasik, meski tidak cukup mengherankan.

Di dalam lagu-lagu (progresif), pendidikan—apapun jenjangnya—dikritik, dianggap sebagai cikal-bakal pembodohan terstruktur; kemunduran yang gagal menjawab pertanyaan zaman. Bila dalam arus-arus perlawanan, pendidikan dikritik; dipermasalahkan outputnya. Tapi, saya melihat kritik atas pendidikan berangkat dari ketidakmampuan alumnus dunia pendidikan menentang ketidakadilan, praktik perburuhan dan kapitalisme. Meski di sisi lain, ketidakadilan perburuhan dan kapitalisme—jurang yang memperlebar jarak antara kaya-miskin—justru diciptakan oleh alumnus dunia pendidikan itu sendiri.  

Di hari ini, kritik itu telah lumrah. Bahkan hampir di semua lapisan masyarakat pun tahu pendidikan telah dibabat dengan kritik. Ia disebut-sebut sebagai bagian dari salah satu sektor kapitalisme yang paling berbahaya. Dan kritik tetaplah kritik. Dan sekolah (baca: pabrik pendirikan) tetap dibuka dan diserbu seperti biasanya sebagaimana tempat makan McDonald’s yang baru dibuka di negara komunis yang bangkrut.

Ketika materialisme mencapai puncaknya dan manusia kian dipisahkan dengan apa yang “sejati”, saat itu manusia bergerak sebagaimana yang Nietzsche sebut: mesin. Manusia bergerak menjauhi dirinya sendiri dan semakin tidak mengenal dirinya. Tapi, dalam jaring kejamnya dunia perburuhan, sekolah sebagai pabrik buruh dituntut untuk merubah wajahnya. Bila pada awalnya pendidikan tinggi mencetak manusia menjadi makhluk “universal”, kini berubah menjadi makhluk “fakultatif”.

Apa ada perbedaan output pendidikan ini jadi penting? Tentu tidak! Di mata masyarakat modern, manusia universal hanya akan jadi penerus filsuf: cepat tua, tidak menarik dan banyak omong. Berbeda dengan manusia fakultatif. Manusia jenis ini sangat baik dan efektif sebagai sekrup kecil dalam mesin besar industri yang harganya murah bisa cepat diganti bila membangkang dan aus.

Ketabahan sekrup-skrup kecil keluaran pendidikan tinggi memang tidak lagi diragukan loyalitasnya. Kalau pada awalnya output pendidikan tinggi “manusia universal” dipaksa menjadi sekrup, di mana mau tidak mau mereka harus bertahan agar bisa melanjutkan hidup. Sekarang peminat pendidikan tinggi sudah sejak mula-mula mendedikasikan dirinya untuk menjadi sekrup, hidup sebagai sekrup sampai mati. Tidak jadi soal bila di tengah perjalanan, nurani mereka bicara, lalu timbul pertentangan dalam dirinya dan berakhir bunuh diri. Ini hanya nol koma nol sekian persen dari output pendidikan tinggi yang ada.

Pilihan kata “mesin” pada aforisme Nietzsche, bagi saya terbilang cukup tepat karena hanya mesin yang berjalan tanpa nurani. Agar tak cepat-cepat tak tergantikan, buruh hari ini harus bisa lebih tabah, dingin dan bisu melebihi mesin. Dan pelumas sekaligus pendingin mesin adalah upah murah serta omong kosong yang manis tentang masa depan. Pelarian diri untuk “buang hajat” ketika mesin telah dipanaskan jam kerja yang tidak masuk akal juga telah disiapkan.

Hanya di lubang-lubang konsumerisme ini manusia modern boleh bergulir. Keterikatan manusia dengan pola hidup konsumtif inilah yang membuat para buruh ini selamanya terikat; selamanya menjadi mesin yang kelak mati dalam kebosanan. Pendidikan tinggi jadi punya arti penting bagi para industrialis yang sedang mencari buruh murah. Karena kurikulum yang ada saat ini seolah tak punya urusan selain mencetak buruh-buruh murah.

Tidak heran bila pendidikan tinggi adalah sebaik-baik pemberhentian manusia untuk menghancurkan martabat—derajat manusia yang punya kaitan langsung dengan konsep Tuhan—sampai ke titik nadir. Alhasil mesin-mesin yang lupa martabat ini dihilangkan kemandiriannya dan mengalami ketergantungan serta hanya menginginkan dirinya untuk terus menjadi mesin industri di segala level. Setelah martabat dan kemandirian punah, barulah budaya baru “manusia modern” terbentuk. Dan setelah menjadi budaya, barulah peradaban baru terbentuk.

Titik berat dari moncong bedil atas kritik pendidikan tinggi terletak pada output. Tapi, kritik ini bukan lahir tanpa serangan balik yang lebih nampak seperti olok-olok. Output pendidikan tinggi yang melahirkan sistem canggih perbudakan manusia di balik sistem perburuhan dianggap sebagai kecemerlangan berpikir, buah dari universitas. Kalau memang olok-olok itu benar, tentu saya akan balik bertanya: pendidikan macam apa yang sanggup menciptakan manusia pencetus sistem perbudakan yang sistematis?

Ziarah ke Sungai Besor

Catatan: pernah dimuat di Koran Tempo 28 November 2020


Ziarah

                : penyihir hex

 

Kurang lebih seperti itu, di masa depan aku akan melihat

diriku menangis sejak tiga ratus tahun lalu

Di bawah pohon mahoni, sore itu, dadaku remuk

mengetahui hari itu adalah akhir kisah. Aku benci caramu

yang dengan jemari lentik menyelipkan kembang

kamboja di telingamu-telingaku. Lalu kata tak lagi saling silang

dan di jalanan buntu, rindu diketuk bertalu-talu

 

Aku tetap menangis sekali lagi ketika tiga ratus tahun lalu

Kota jadi bentangan deret makam ngelangut. Hari berjalan

di antara sisa bau kamboja bercampur wangi skincare

rambutmu yang setengah mati kuingat. Apa kita telah selesai

ketika perjalanan hanya sakit kepala dan doa ziarah dibacakan

lalu di sudut mana aku harus bersembunyi dari kenang

yang senang membicarakanmu?  

 

“Pergi saja dari kota ini agar tiada bekas diriku di sini,” jawabmu

 

Mungkin yang belum kujelaskan padamu hanya tentang aku

dan kota ini sama-sama dibikin dari debu kotor; deras alir sungai

otomotif yang kucintai melebihi dirimu; sekumpulan mayat

di kotak kardus, jalan-jalan tikus dan bisik pengantar jenazah

atau tentang mayat yang membeku di mesin ATM

 

Kasih, apa yang harus kulakukan bila semua mayat ini busuk,

menyatu dengan refren yang telanjang? Apa mungkin kelak ada

cinta yang bahagia meski sudah tidak lagi perawan?

Sekarang mengapa kau diam tanpa penjelasan, dan aku

tetap menangis seperti tiga ratus tahun lalu

 

 

Jakarta, 2020

 

 

Kamis, 03 Desember 2020

Hikayat Pemburu Kijang

 

Tubuhku sekaku batang pohon rubuh. Rambutku jadi daun

Aku menempel pada batu berlumut lalu mengunci mulutku

Raja jin pun tak kuasa mengacaukan tapa diamku

apalagi cucup lintah, sengat kelabang dan nyamuk hutan

Punggungku dijahit rajah penangkal macan, ular dan teluh

 

Air dari seribu sungai telah kuminum agar tubuhku setenang

batu; agar hatiku sejuk; darahku setenang air kali

Kupastikan senapanku di posisi sempurna agar mesiu tak basah

Hanya ujung jemari kubiarkan lentur. Agar bedil meletus sempurna

menyembur timah dan ciprat api ke pelipis kijang air

Aku tetap bisu sampai ia tersentak kaget dan tersungkur

mencium tanah. Sebelum itu terjadi, aku pendamping

kembang hutan yang mekar dan menguncup

Aku temani kayu-kayu melapuk lalu hancur di tanah basah

 

Biar tonggeret menjerit-jerit, aku diam. Biar seribu hantu hutan

meniup leherku yang terbuka, aku tetap batang pohon rubuh

Aku menunggu ledakan batin bersama senapan lantak

Selebihnya diam. Membayar hutang dari segala yang terburu-buru

dengan mematung-bisu. Tak ada rumah, tubuh kekasih

dan gelak tawa di warung tuak. Hanya bisu! Bisu! Dan bisu!

 

Seperti hidup yang hanya perihal menunggu

Setelah segalanya (mungkin) telah sempurna: jejak kaki,

kotoran segar dan bekas rumput yang tak habis dimakan

telah kusimpan di kepalaku, maka aku pun menunggu

Aku tak ingin gagal di pertapaan singkat ini. Segala gerakan

adalah penghianatan atas laku. Ketidaksetiaan yang harus

dibayar dengan rasa malu yang panjang di warung-warung tuak

 

Mataku kobar! Urat leher mengencang, tapi kukendalikan

Mata itu kubidik, tepat. Pelatuk kuremas: senapan meletus

Seekor kijang menjerit, sekarat dan tersungkur. Aku berlari

mencabut parang siap menyembelih. Tak jadi kulakukan

Ternyata aku lebih sekarat dan mati dari seekor buruan

 

2020


* Pernah dimuat di Koran Tempo edisi 6 Juni 2020

Kamis, 09 Juli 2020

Jejak



POKOKNYA segala hal yang terkait dengan urusan jejak ini saya sudah kenyang, habis-habisan, remuk dan ….
Silahkan sebutkan jejak yang sekiranya, menurut anda, belum pernah saya telusuri?
Jejak maling, jejak pipa air di gunung, jejak kasus, tikus, jejak kabel listrik yang koyak, jejak kucing nyolong ikan, juga cinta, rasa atau apa sajalah. Mungkin semua pernah. Seperti yang satu ini; soal cinta misalnya.
Bisa dibilang untuk soal ini saya sudah terlalu kenyang menyusuri jejak “kekasih”. Terserah jejak untuk cinta di level yang mana: dari yang paling memble sampai paling durjana telah saya susuri jejaknya. Mungkin saat itu saya sedang mencari segala yang harus saya pahami tapi terlewat. Atau mencari segala yang coba dihapus atau yang terpaksa dihapus atau mungkin kekasih kita lupakan.
Mencari jejak itu seperti sedang berburu. Dan seperti biasa, yang menjengkelkan saat berburu adalah tak menemukan jejak-jejak segar. Setelah berhari-hari menerobos gelap hutan dan kenangan, sejauh mata memandang hanya ada jejak lama yang sebelumnya pernah didatangi. Tapi ironisnya, justru dari jejak lama itulah saya menemukan wajah sendiri: menggigil, berteduh dan menunggu hujan reda. Sudah jelas babak belur, masih saja belum kapok mengikuti jejak dan tersesat jauh ke dalam hutan.
Saya ini kesurupan “api” macam apa?
Soal “api” jenis apa, itu saya sendiri kurang yakin. Yang jelas, pencari jejak semacam saya itu bisa terus hidup dan punya “api” karena tak lupa sarapan ketika berburu. Jejak basah yang (sengaja-tak sengaja) ditinggalkan adalah senikmat-nikmatnya sarapan. Dan puji syukur saya haturkan ke Gusti Allah yang telah mentakdirkan ada hutan buatan penuh kubangan lumpur basah dan bau (baca: medsos) bisa hadir di kehidupan manusia sudrun akhir zaman ini. Hutan jenis inilah yang paling dinikmati pemburu jejak. Tekstur tanah yang berlumpur itu membuat jejak buruan terlihat lebih jelas.

Senin, 11 Mei 2020

Revolusi

Bila revolusi itu omong kosong, rebahan saja sambil ngeteh 


Pukul dua dini hari. Beberapa orang pasukan yang dikepalai oleh Mikhailovich Yurovsky membangunkan Tsar Nicholas II dan keluarganya dari tidur. Setelah disuruh berpakaian rapi, Nicholas sekeluarga dibawa ke ruang bawah tanah. Untuk meredakan kecemasan, salah seorang pasukan mengatakan, mereka diperintah mengamankan Nicholas dan keluarganya dari tentara Bolshewik yang hampir mengepung Yekaterinburg. Nicholas sadar Dinasti Romanov telah tamat usai Revolusi Februari 1917, tapi ia dan keluarganya tak tahu bakal dieksekusi dini hari itu juga.

Setelah Nicholas dan seluruh keluarganya berkumpul, mereka berjalan ke ruang bawah tanah. Menurut penuturan Yorovsky, Nicholas turun ke ruang bawah tanah menggendong Alexei, putra bungsunya. Di ruang bawah tanah terjadi kegaduhan yang tidak perlu. Ratu Alexandra mengeluh lantaran tidak ada kursi untuk duduk. Yorovsky pun memberikan dua buah kursi. Setelah Alexandra dan Alexei duduk, para eksekutor masuk ke dalam ruangan.

Yorovsky memecah kebuntuan dan kebingungan seluruh keluaga Nicholas di ruang bawah tanah. Dengan tenang ia mengumumkan bahwa Nicholas dan keluarganya telah dijatuhi hukuman mati oleh Deputi Pekerja Soviet Ural. Kebingungan memang mereda, digantikan kecemasan dan jutaan pertanyaan di kepala. Nicholas masih terkejut dengan apa yang baru ia dengar. Tapi, Yurovsky kembali mengulang istruksinya dan langsung menembak Nicholas dan diikuti oleh seluruh pasukan.

Lima butir peluru bersarang di dada Nicholas. Empat orang putrinya Tatiana, Anastasia, Olga dan Maria tak langsung tewas lantaran peluru yang ditembakkan prajurit itu tertahan oleh perhiasan di balik korset. Para prajurit itu mengambil inisiatif. Empat orang itu ditikam dengan bayonet dan ditembak kepalanya dari jarak dekat. Polisi Bolshevik juga ambil bagian untuk mengeksekusi pelayan, sopir, juru masak dan dokter keluarga.

Jumat, 08 Mei 2020

Klenik

Kiri: Alm Mbah Bambang & Gus Be


Ia menyodorkan tangan pada saya dan memperkenalkan diri. ”Saya, Bambang. Sudah dua tahun lebih tinggal di sini.”

Ia mengaku ingin menghabiskan usia senjanya di Tampuono, pos dua pendakian Gunung Arjuna via Purwosari, Pasuruan. Sehari-hari, kakek asal Lumajang ini hidup di pondokan kecil yang dibangun oleh masyarakat dan pertapa. Di tempat itu terdapat beberapa pondokan kecil tak berpintu dan dibangun berjajar. Ada juga beberapa bangunan yang dipakai untuk ritual. Konon, pondokan itu dibangun oleh beberapa ”alumnus” Arjuna yang telah sukses usai menempuh ritual.

”Ya, terserah kalau tidak percaya, pondokan ini tambah banyak. Berarti makin banyak orang yang berhasil setelah pulang dari sini lalu membangun pondok,” ujarnya. Dan saya lihat memang pondokan di sini memang makin banyak dibanding sebelumnya waktu saya ke sini. Selain membangun pondokan kayu, pondok ini juga dilengkapi dengan berbagai peralatan yang bisa dipakai dengan gratis, mulai alat dapur, jaket tebal penghangat, sarung dan alat-alat untuk berkebun.

Kehidupan di pondokan ini terbilang cukup komunal. Mereka bisa berbagi rokok, makanan, saling membantu memotong kayu bakar untuk memasak. Dan di hari yang dianggap keramat, para pertapa itu biasa melakukan ritual sendiri-sendiri dan ada juga yang bersama-sama, dipimpin oleh orang yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Ketika aku tanya apa tujuan Bambang menghabiskan usia tua di pondokan Tampuono, ketika banyak orang ingin mati di rumah bersama keluarga, ia enggan menjawab. Tapi, sebelum saya melanjutkan perjalanan ia baru mau bicara: ”ketenangan, mas,” katanya, ”apa lagi yang diharapkan orang tua seperti saya. Mungkin kalau yang muda, itu ada yang cari kaya, ada juga yang cari ilmu dan juga tirakat,” lanjutnya. 

Bambang tua hanya turun dari pondokan itu hanya bila membeli bahan makanan di Desa Tambak Watu, desa terakhir di kaki gunung. Selain itu, ia juga akan turun bila tokoh spiritual dari Kostrad (yang ia anggap guru) dan juga beberapa orang anggota aktif berkunjung ke sana untuk latihan. Yang saya ingat dari pria ini adalah pengakuannya untuk tidak akan turun dan kembali ke kota, ke rumahnya. ”Saya ingin mati, moksa, kalau mungkin gagal moksa, saya ingin dikubur di sini.”

Jumat, 01 Mei 2020

Konsumsi dan Ketololan Kita di Media Sosial


”Konsep-Konsep ’lingkungan hidup’, ’suasana’ barangkali hanyalah sebuah mode baru sejak kita hidup dengan dangkal jauh dari orang lain, jauh dari kehadiran mereka, obrolan mereka,” kata Jean Baudrillard dalam Le societe de consommtion.

Benarkah waktu itu (ketika buku ini ditulis) masyarakat Eropa sedang berpura-pura hidup beradab dan elegan? Baudrillard tak menyangkal itu! Sebuah situasi di mana orang-orang jadi seperti batu yang bergulir, tapi tetap berlumut. Manusia hidup dengan lancung. Kelimpahruahan objek menyebabkan masyarakat Eropa jadi sangat sopan, berhati-hati tapi abai dengan hidup orang lain.

Meski pada akhirnya, Baudrillard mengakui beraneka kepalsuan dengan berkata lantang: ”kita hidup di bawah pandangan bisu tentang objek yang lembut, menipu dan selalu berulang.”

Mungkin inilah satu-satunya cara memisahkan manusia dari Tuhan meski setiap minggu mereka mendatangi gereja. Konon, perdagangan tak akan meraup banyak untung bila manusia masih memperhitungkan Tuhan sebagai ”batasan”. Selubung gelap produk dengan beraneka mitos di dalamnya tak akan laku ketika manusia mengenal kebutuhannya yang sejati. Kebutuhan untuk hidup yang paling sejati diperoleh melalui interaksi antar sesama manusia dalam selubung kemesraan, cinta.

Memang benar bila ”kelimpahruahan objek” tak dapat dihindari karena ia adalah efek ke sekian dari kebudayaan manusia. Ketika objek tak berhenti diproduksi, sementara kebutuhan akan objek rendah bakal jadi kiamat kecil bagi industri yang sedang tumbuh pesat dan tak ingin buru-buru bangkrut, hingga pada akhirnya sebelum mereka memproduksi barang secara massal, perlu diciptakan sebuah iklim konsumsi yang nyaman bagi masyarakat Eropa.

Perselisihan pandang antara agama dan industrialisasi telah terjadi sejak lama. Agama memandang para industrialis adalah bayi tua yang selalu ”lapar” dan ingin dipuaskan. Sementara para industrialis memandang agama adalah nilai-nilai lama yang kolot; mengajak manusia jadi patung penuh sawang dan berdebu di pojok gereja. Dan ketika Eropa dikuras habis, saat itulah para industrialis melirik ke timur.

Rabu, 29 April 2020

Israel dan Bisnis




”Tujuh pengusaha Indonesia melawat ke Israel akhir pekan lalu. Terdiri dari lima lelaki dan dua perempuan,” kata Jarusalem Post. Kabarnya, pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) melakukan penjajakan potensi kerja sama bisnis. Foto Yoram Dvash, President of Israeli Diamond Exchange dan Mufti Hamka Hasan, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang Hubungan Timur Tengah dipajang besar-besar di media itu.

Disebut bakal menjalin kerjasama dagang dengan Israel, Mufti Hasan merasa perlu mengklarifikasi. Ia menampik laporan Jarusalem Post. Menurut dia, Kadin diundang ke acara forum bisnis di Palestina, bukan Israel. Klarifikasi inilah yang jadi penting buat saya. Mengapa ia perlu memberikan klarifikasi atas kunjungan Kadin ke Israel?

Israel memang tidak salah sebagai negara. Tapi, mungkin Israel salah sebagai Yahudi. Salah karena Zionisme Israelmenegakkan identitas dan tanah airyang melatarbelakangi serangkaian kekejaman di Palestina. Selama darah tak berhenti tumpah di Palestina, Israel (sebagai identitas) tidak pernah dilihat secara adil. Bukankah tidak semua rakyat Israel minum darah anak-anak Palestina; tidak semua warganya setuju atas pendudukan di Palestina.

Sentimen, terserah dari manapun asalnya, tetap punya sisi kejam. Ia menyebabkan seseorang atau sekelompok orang jadi buta. Tak perlu membedakan Israel yang mana yang pro pembantaian di Palestina, atau sebaliknya. Semua sama, tak perlu repot-repot dibedakan. Keduanya hanya dilihat sebagai satu kesatuan: Israel biadab haus darah!

Sentimen yang berangkat dari keyakinan juga pernah memerahkan Eropa di tahun 1209, awal mula Perang Salib Albigensian. Saat itu rombongan pasukan Katolik dengan mengatasnamakan Tuhan dan dengan restu paus, membantai penganut sekte Katarisme tepat pada 22 Juli 1209 di Beziers, Prancis Selatan. Tak ada beda. Semua penduduk kota itu dibantai habis, tak peduli di sana juga ada warga Katolik. Semua dibantai agar tak ada yang pura-pura jadi Katolik dan setelah selamat kembali melakukan bidaah. Ketakutan inilah yang membuat Kepala Biara mengatakan, ”caedite eos. Novit enim Dominus qui sunt eius.” (Bunuh mereka semua karena Tuhan tahu mereka yang merupakan pengikutnya).

Selasa, 21 April 2020

"Ramalan" Masa Depan dan Manusia Anti "Sampah"

Ini sampahnya...

(Perihal Mendengarkan 4)

Konon “tulah” bagi manusia yang menghibahkan dirinya menjadi keranjang sampah bagi manusia lainnya adalah dihantui gambaran masa depan seumur hidup.

Benarkah demikian?

Kalau sekarang ada yang bertanya: mengapa semasa “muda”, saya suka mendem? Tentu saja akan saya jawab: mengendornya sedikit syaraf meredakan rasa takut saya pada gambaran masa depan yang kelewat jauh dan nakal. Lalu, apakah saya takut pada masa depan? Ya, tidak juga! Yang saya maksud dengan “takut” di sini adalah gambaran masa depan yang datang lebih dulu ketimbang realitasnya. Dan yang mengerikan, gambaran itu benar-benar terjadi.

Apakah saya menasbihkan diri menjadi seorang futurolog? Tidak! Saya tidak punya potongan untuk itu.

Alanlisa saya amburadul, mata saya terlalu minus untuk memelototi zaman. Hidung saya pun juga kerap bermasalah dan akhir-akhir ini sering pilek dan terus meler. Jangankan untuk mengendus berbagai gejala di pikiran dan hati lawan bicara, melacak bau bangkai tikus di departemen otak saya sendiri saja susah. Lalu apa? Peramal? Nah ini apalagi! Kalau saya peramal tokcer dan penebak angka buntutan berdarah dingin, tentu saja saya sudah sukses di berbagai sekala perjudian hidup. Dan yang terpenting saya tidak harus menulis beraneka catatan tidak penting ini.

Lalu apa yang sebenarnya saya alami? Sekelumit cerita saya ini (semoga) bisa memberi Anda gambaran:

Duka si Sudrun

Di suatu hari yang nggateli, seorang kawan mampir ke kos dan membuat kebisingan di kuping saya dengan kutipan dari Mbah Tejo. ”Menikah itu nasib dan mencintai itu takdir. Kau bisa menikahi siapapun tapi tak bisa mentukan cintamu untuk siapa!” Ujar (sebut saja Sudrun) ini dengan gaya teatrikal. Sepertinya si Sudrun ini sedang tergila-gila dengan kata Mbah Tejo.

Karena Sudrun sudah memberi saya “jatah” cerita bahagia dengan kekasihnya, maka saya dengarkan ocehannya sembari mengantuk.   

”Pakde, di sekali hidup ini aku adalah manusia yang hampir beruntung. Aku mendapat perempuan yang bisa aku cintai. Setelah menikahninya, hidupku akan lengkap.” Katanya.

Saya hanya tertawa pendek mendengar kata-katanya. Saat itu, di sela rasa kantuk dan  kesadaran yang hampir 20 watt, saya lihat sebuah gambaran si Sudrun sesegukan menangisi kekasihnya. Dan seketika itu juga saya palingkan muka dan melihat ke lantai.

Rabu, 15 April 2020

Jatah Tangis dari Manusia Patah Hati


(Perihal Mendengarkan 3)

Cafe, bar & Resto di Megapolitan Kletek 

Pemabuk-pemabuk sinting itu belum pulang dari tubuh saya. Saya heran, batrai macam apa yang terpasang di punggung mereka hingga sudah hampir sepuluh hari ini mereka belum tidur.

Tapi kali ini mereka tidak begitu mengganggu saya. Mungkin itu sebabnya saya merasa hari ini cukup santuy, tenang, karena mereka tidak seberisik biasanya. Tema-tema masa silam dan cinta yang menyayat di luka yang basah itu membuat urat mereka kendor.

Sekumpulan pemabuk itu mungkin sedang berupaya saling menguatkan satu sama lain. Kalau biasanya mata mereka nampak semerah darah saat menggunjing soal Indonesia. Tapi, begitu tema obrolan mereka beralih ke soal cinta, mata mereka jadi sekelam malam.  Gelap! Segelap langit Jakarta; segelap nasib Indonesia.

Lalu apa yang bisa mengendurkan urat syaraf saya? Tentu saja ketragisan kisah cinta mereka.

Soal cinta, saya pun punya luka yang sama. Luka yang perih dan dalam sebagaimana yang mereka rasakan. Mungkin kami sama-sama tak berdaya: dipaksa pulang untuk mengunjungi salah satu petak kamar di sebalik hati saya; sebuah ruangan gelap berisi kenangan, sekaligus rasa sakit yang (brengseknya) beberapa menit sekali menusuk ulu hati saya.

Beberapa orang di antara mereka yang enggan ikut bercerita memutar lagu-lagu sedih. Mungkin ia hanya ingin bersimpati; menunjukkan rasa hormat. Dan sialnya lagi, lagu-lagu sedih itu seperti jeruk nipis yang diperas di atas luka kami.

Bedebah! Tapi, sudahlah.

Saya termasuk orang yang enggan menceritakan luka di kedalaman saya. Maka, saya hanya duduk, mencatat sembari menyaksikan mereka bertangis-tangisan.

Minggu, 12 April 2020

Kenangan Kuliah & Tanda Bedes Om Hujok Dodojaitan

(Perihal Mendengarkan 2)


Sudah sejak lama saya mempersilakan sekelompok pemabuk itu bertamu di tubuh saya. Membiarkan mereka berbuat apa saja seenak udel—adalah keputusan yang bulat. Bisik-bisik dalam batin saya berkata: ini adalah sebagian dari “tirakat”. Meski saya curiga dengan bisikan itu, maka saya pungkas semua dengan istighfar agar sabar.
Tapi, ya, kalau sempat ada rasa kesal yang merambat di sela batin lantaran ulah mereka itu hanya sebuah penanda bila saya ini masih manusia. Mahluk yang GR dan merasa mampu menyensor hal-hal yang perlu saya dengar dan yang tidak.
Perihal “mendengar”, saya yakin ini bukan tema baru. Segala yang berkaitan dengan mendengar telah dikupas tuntas di berbagai disiplin ilmu, terlebih filsafat, jauh sebelum saya lahir.
Di dalam filsafat sudah sering disebut: semua mahluk yang memiliki alat (indra) pendengaran dan tidak tuli pasti dapat mendengar.
Tapi lebih jauh dari itu, ada perbedaan mendasar di sini: “mendengar” dan “mendengarkan”, dua hal yang nampak sama namun berlainan. Dan setiap orang yang mendengar belum tentu mendengarkan.
Bagi saya, mendengarkan itu lebih dari proses alamiah ketika telinga (bagian tubuh manusia untuk mendengar) menerima getaran gelombang suara.
“Mendengarkan” adalah jalan panjang setelah seseorang mampu mendengar. Di dalam mendengarkan, ada proses mencerna, mengingat, berpikir (menganalisis), kemudian berlanjut pada respon.
Kalau si Heraclitos, filsuf sombong, itu mampu berkata, ”mendengar adalah sikap bijaksana untuk setuju-menyetujui,” mengapa saya—yang menganggap diri saya tak sombong—tak mampu mendengarkan dengan lebih baik darinya; lebih ekstrem.
Meski di sebalik hati saya yang lain, saya tak yakin-yakin banget kalau si Heraclitos benar-benar mampu untuk mendengarkan, tapi, ya, baik sangka sajalah.
Soal mendengar, kebetulan sekali, jelek-jelek begini saya adalah mantan mahasiswa komunikasi. Meski saya tak bangga untuk hal itu, yang jelas, saya yakin bila tema utama komunikasi adalah mendengarkan, bukan bicara.
Dan seingat saya, di lingkar universitas tempat saya dulu belajar, mendengarkan bukan jadi tema sentral. Bahkan, di momentum akhir sebelum saya benar-benar meninggalkan kampus itu, seorang dosen yang saya pikir sangat mampu mendengar, ternyata tak lebih dari pria rewel bertelinga ekslusif.
Saya tinggalkan kampus itu dengan tawa terkekeh yang panjang.

Rabu, 01 April 2020

Para Pemabuk dan Telepon dari Kawan Lama

(Perihal Mendengarkan)


Foto'e Bung Dalbo

Mereka bukan sekedar bertamu dan minta ditemani diskusi. Lebih jauh dari itu, mereka menjadikan tubuh saya sebagai tempat diskusi. Selama di tubuh saya, mereka bebas melakukan apa saja. Mereka bisa seenaknya memekikkan kata merdeka dan setelah itu buang ludah bacin dengan cara paling bengis di hidung saya. Sambil diskusi, mereka boleh buang air tepat di mata saya meski nantinya saya tak bisa melihat apapun kecuali kotoran. Saya pasrah! Entahlah, saya merasa terlalu cepat menjadi jompo di umur saya yang sebenarnya masih muda. Sesakit itukah rasanya mendengarkan?


Ada sesuatu yang tidak beres di dalam tubuh saya! Mungkin ini gara-gara tiga hari lalu tubuh saya didatangi sekumpulan pemuda bermata merah. Mereka ingin menumpang diskusi sambil mabok; membicarakan puluhan tema diskusi tentang persoalan yang aneh-aneh.
Terus terang, saya sedikit kurang suka dengan cara mereka berdiskusi. Mereka memperlakukan tubuh saya (tempat mereka berdiskusi) layaknya warung kopi di pinggiran jalan Pantura yang gaduh.
Beraneka chaos di dalam perdiskusian mereka membuat hidung saya terasa gatal. Padahal sebelum mereka datang, saya bisa bernapas lega. Jujur saja, keributan yang mereka ciptakan melahirkan berbagai ketidakseimbangan di tubuh saya.
Pernahkah Anda mengalami bersin tertahan? Ingin bersin, tapi tidak jadi. Sumpah, tidak enak sekali rasanya. Hal ini sering terjadi ketika diskusi para pemuda sontoloyo ini mulai menyentuh tema-tema nasionalisme, golput, pembisik (sebut saja) Jokowi dan Megawati yang mengantuk. Tapi mendadak saya akan bersin sejadi-jadinya ketika mereka mulai bicara soal penanggalan Jawa dan mengaitkannya dengan pengumuman sejumlah kebijakan Jokowi ke publik.
Entahlah, para pemuda ini datang dari dunia mana. Flu yang saya rasakan sekarang ini bukan seperti sakit flu pada umumnya.
Yang paling membuat saya pusing adalah ketika sekelompok sarjana muda sinting lagi pemabuk itu berorasi di atas rambut saya yang uwel-uwelan. Di atas kepala saya, mereka bicara keras-keras dan mengimbau rakyat Indonesia untuk senantiasa sadar dan berpikir jernih. Mereka berharap, kejernihan itu memudahkan rakyat mencerna-menganalisis berbagai gejala yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa-bernegara.
Dan berengseknya, usai orasi, mereka muntah-muntah karena terlalu mabuk.

Selasa, 31 Maret 2020

Baik Sangka dan FTV

Teman berbaik sangka


Di suatu subuh, di tengah mencekamnya kondisi pagebluk massal corona,  saya bertanya ke diri saya sendiri, ”apa yang perlu dilakukan di tahun-tahun serba susah ini?”
Sepi! Tak berjawab! Kebetulan, otak saya sedang direnovasi, belum bisa diandalkan. Jangankan dipaksa “mencemaskan zaman” seperti omong kosong aktivis pers mahasiswa, menjawab pertanyaan siapa nama istri Pasha Ungu saja saya kelimpungan. Maka demi kebaikan bersama, sebaiknya memang perlu saya atasi sendiri kebuntuan saya.
(Saya mengulangi pertanyaan) ”Apa yang perlu dilakukan di tahun-tahun susah ini?”
(Beberapa menit kemudian baru menjawab) ”Baik sangka!”
Itulah jawaban terbaik yang bisa saya hadirkan. Mohon maaf, ya, seandainya jawaban ini kurang memuaskan anda.
Apa tidak ada stok jawaban lain di dalam otak saya? Sebenarnya ada saja sih, kalau kalian ingin pilih sendiri, berikut ini saya tuliskan daftarnya.
Di file bernomor 1-122 isinya skema dan skenario pernikahan dan perkawinan. File nomor 123 isinya soal pertanyaan: besok makan apa? File 124-125 isinya ingatan soal resep sambel dari  facebook dan file 126-130 berisi kunci gitar beberapa lagu Malaysia. Otak saya juga menyimpan beberapa file urusan negara. Kalau tidak salah, di file ke 131 isinya nama presiden Indonesia yang entah kenapa saya tidak yakin bernama Joko Widodo. Dan untuk ingatan siapa-siapa nama menteri dan fungsinya, kalau tidak salah sudah saya hapus dan saya ganti ingatan soal nama-nama ikan.  
Jadi ketimbang kalian kesal, lebih baik saya pilihkan jawaban yang paling baik menurut saya, ya, kan? Maka “baik sangka” adalah jawaban terpantas untuk dihadirkan ketimbang jawaban lain. 
***
Mungkin karena terlalu kesal dengan banyak hal, Defy (selanjutnya disebut Eyang) menempuh keseimbangan hidup paling radikal (baca: menonton ftv).
Nontok iki ae, mas! Enteng nang utek. (menonton ini saja, mas! Ringan di otak).” Kata Eyang. 
Seperti yang saya jelaskan di awal: saya sedang sibuk dengan urusan baik sangka. Kalau sudah yakin akan berbaik sangka, ya, saya akan berkomitmen. Berusaha sebisa mungkin tetap santuy dengan apa saja yang hadir “di meja makan saya”, termasuk ftv.
Saya sudah mencoba sabar, tidak ngomel dan berkomentar sejak pertama kali film ini main. Tapi ternyata pertahanan saya jebol dan komentar saya muncrat tak bisa dibendung.
Kesal sekali rasanya mendapati kenyataan bila ternyata saya adalah manusia yang kurang bisa bersabar. Memutuskan tidak bicara di saat kita (seharusnya) bebas bicara itu sulit. Bicara hanya tentang hal-hal yang baik dan benar itu butuh perjuangan. Menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik itu perlu kecerdasan. Dan tahu kapan momentum yang tepat untuk bicara itu butuh kepekaan.
Kalau kembali soal ftv, ya sudah, saya mengaku kalah. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak nyinyir dan misuh-misuh. Tapi saya mohon anda jangan salah paham dulu, misuh saya ini lantaran saya ingin benar-benar memuji eksistensi ftv. Film seperti inilah yang benar-benar mengerti kebutuhan penonton. Tayangan jenis ini sangat memahami rakyat masih memiliki ketidakmungkinan menang dalam hidup, penonton butuh hiburan sekaligus jalan masuk menuju imajinasi kemenangan-kemenangan kecil di kepala mereka. 
Ftv tidak egois. Tidak memaksakan kehendaknya untuk menghadirkan tontonan yang masuk akal yang mendekati ketidakmenentuan realitas hidup. Ftv tidak perlu dipusingkan dengan kerumitan sinematografi yang berkelas agar nampak eksklusif. Ya, ya, ya, ftv sangat mengerti penonton kelas tempe goreng di Indonesia butuh lebih dari sekedar tontonan yang menghibur. Manusia kelas dua yang ingin ikut merasa bahagia tokoh utamanya mendapatkan cinta. Penonton sangat menunggu orang-orang buangan mendapat sesuatu cinta yang megah dan mewah.
Urusan penonton dibodohi itu lain soal. Karena saya sendiri pun belum tentu sanggup menghibur orang-orang di sekitar saya. Dan pada akhirnya berbaik sangka saja, itu yang penting. Lalu orang-orang kepepet seperti saya ini perlu menyalakan tv.

Kelapa Dua
Selasa Legi, 30 Maret 2020
Citra D. Vresti Trisna