Beberapa hari ini Mbah
Ripul jarang terlihat di kampung. Kalau sudah begini, Mas Rombong adalah orang
yang paling gelisah mencari. Mas Rombong takut menghilangnya Mbah Ripul ada
hubungannya dengan kebiasaan barunya ngopi di Grand Indonesia.
Ia juga takut kalau Mbah Ripul sampai disianida orang gara-gara sikap ndesonya
yang kelewat batas.
”Sejak acara kenduri
pernikahanku, Mbah Ripul sudah tidak pernah kelihatan. Coba saja cari ke
sungai. Barangkali dia kintir karena buang air sambil
mengantuk,” kata Wakebol, tetangga Mbah Ripul.
”Ah masa sampai
segitunya,” protes Rombong.
”Yee.. Coba saja kalau
tidak percaya,” kata Wakebol.
”Ngarang.”
Tidak ingin berdebat
terlalu lama dengan Wak Ebol, Rombong langsung ke sungai. Rombong terkejut
mendapati Mbah Ripul benar-benar di sungai. Ternyata selama ini Mbah Ripul
mancing ikan di sungai sebelah surau. Karena posisinya yang nyelempit membuat
tidak banyak warga yang mengetahui bila Mbah Ripul berada di sana. Mbah Ripul nampak
khusyuk memancing dan tidak peduli badannya dirubung semut dan dihinggapi
lalat.
”Mau jadi Sunan
Kalijogo jilid dua, mbah?” Sapa Mas Rombong.
”Semprul. Saya ini
bukan kelasnya Kanjeng Sunan. Lha wong mancing kok disamakan
dengan orang yang bertapa,” kata Mbah Ripul. ”Saya ini ndak ada
seujung kukunya Kanjeng Sunan Kalijogo. Jangankan menunggu tongkat di pinggir
sungai, menunggu macet di Jakarta saja tidak betah kok akal-akalan
nunggu sungai kaya kanjeng sunan,” protesnya.
Rombong
tak mendebat kata-kata Mbah Ripul karena disibukkan membuka bungkusan ketela
rebus milik Mbah Ripul. ”Lho sampeyan itu ndak pakai umpan, ya?
Sampai Gunung Bajul pindah, ya, ndak bakal dapat ikan,” ejek
Rombong.
”Ikan itu hewan yang
tunduk pada kosmos. Kalau Gusti Allah menghendaki ikan nyaplok kail
saya, kamu mau apa? Saya ini melatih sabar meski kalibernya tidak sedahsyat kanjeng
sunan,” balas Mbah Ripul. ”Tidak usah terlalu jauh ke Sunan Kalijogo kalau
ternyata kita masih kalah dengan warga Jakarta. Meski orang-orang berpikir
orang Jakarta itu mblunat setengah mati, tapi mereka punya
daya tahan luar biasa berada di kemacetan kota.”
”Ah, apanya yang tahan
macet, mbah. Terkadang perkelahian di jalan juga kerap terjadi karena macet,”
kata Rombong menimpali.
”Apa setiap macet pasti
berkelahi? Apa semua yang terjebak macet berkelahi? Kan tidak! Kalau mereka
tidak sabar dengan kemacetan, itu lumrah dan manusiawi. Mas Rombong, kamu harus
tau bila tidak semua orang senang berada dalam kondisi macet, sehingga
kesanggupan mengolah rasa tidak senang sebagai ’puasa’ adalah kejeniusan
tersendiri. Yang saya apresiasi dari warga Jakarta adalah kesanggupan mereka
untuk tetap bersila apapun situasinya, termasuk macet. Dan masyarakat Jakarta
dihadapkan pada ribuan peluang untuk bertapa, bermesraan dengan Tuhan di
situasi yang tidak menyenangkan. Tentu mustahil bila tidak ada satu pun warga
Jakarta yang mengambil peluang itu,” terang Mbah Ripul.
Rombong yang mulai tertarik
dengan kata-kata Mbah Ripul menyahut, ”apanya yang hebat, mbah? Ndak perlu
sampean membesar-besarkan soal macet di Jakarta. Namanya juga kota besar.
Tingkat konsumtif mereka pada produk otomotif cukup tinggi dan tak sebanding
dengan kapasitas jalan. Ya, wajar kalau macet.”
Mbah Ripul
menggandeng tangan Rombong dan tiba-tiba mereka sudah tidak lagi berada di
sungai dan berpindah ke bawah flyover Roxy.
”Ngapain ke
sini, mbah?”
”Tuh lihat jalanan
macet kaya gitu. Mereka itu bisa saja naik angkot atau naik ojek atau sepedaan
ontel saja. Mengapa mereka lebih memilih membeli mobil dengan konsekwensi harus
tua di jalan karena macet?” tanya Mbah Ripul. ”Apa ndak sakti
jenis orang macam itu? Tidak! Tidak. Saya tidak akan memusingkan gaya hidup
konsumtif dan gengsi orang Indonesia kebanyakan. Saya melihat ketabahan mereka
berhadapan dengan macet.”
”Itu kan bodoh toh,
mbah? Apanya yang sakti?”
”Kamu ini kebanyakan
micin hingga akalmu tidak jernih lagi. Macet Jakarta ini harusnya membuat kita
sadar betapa kaya Jakarta; betapa kaya manusia Indonesia. Berapa banyak
rongsokan Eropa, Jepang dan Cina yang dijual di dealer itu pasti laku dan
habis. Mengapa banyak dibuang ke sini rongsokan itu? Ya, tentu saja hanya orang
Indonesia yang mampu beli, lha wong di negara asalnya,
orang-orang kaya juga naik angkutan umum. Dan orang kita rela beli rongsokan
hanya untuk kejebak macet. Mas Rombong, mereka itu beli rongsokan hanya untuk
’bertapa’ dan melatih kesabaran di dalam kotak-kotak beroda itu,” papar Mbah
Ripul.
”Justru Mbah Ripul ini
yang kebanyakan micin makanan cepat saji Jakarta. Bagaimana mungkin orang yang
hidupnya tamak, tidak efisien seperti orang luar negeri dan mengganggu pejalan
macam kita kok dibilang hebat,” tukas Rombong.
”Tidak semua hal yang
nampak efisien itu berarti tidak punya titik hitam. Kelas menengah atau kelas
atas di Jakarta bisa saja berangkat ke kantor dengan cekeran kaya
kita kalau mau ke kakus. Tapi nyatanya mereka memilih membeli mobil yang
nantinya bakal menyusahkan mereka; membuang waktu mereka di jalan dengan
percuma hanya untuk menunggu kemacetan yang sebenarnya bisa mereka hindari.
Rombong, ingatlah. Kemacetan memang tidak penting; tidak efisien. Tapi,
kemacetan dibutuhkan oleh orang-orang tertentu untuk bersabar, mengeram diri
dan ngobrol akrab dengan Gusti Allah.”
Rombong masih tidak
terima. ”Yo susah Mbah. Ngapain juga seperti itu. Kaya kurang
mesjid saja orang Jakarta itu.”
”Gusti Allah itu berada
dimana saja. Mana ada ruang dimana Gusti Allah tidak ada di situ? Iya sih,
memang ada tempat-tempat tertentu dan faktor yang mempengaruhi cepat-tidaknya
seseorang berkomunikasi dengan Allah. Justru ketika di kemacetan seperti ini,
yang umumnya orang bakal uring-uringan tapi tetap bisa berkomunikasi dengan
Gusti Allah itu baru luar biasa; itu jauh lebih baik dari bermesraan di
mesjid,” kata Mbah Ripul sambil terkekeh.
”Ndak bisa
gitu, mbah! Pokoknya ndak bisa!” Rombong terus protes.
”Kamu ini kok ngeyel.
Aku baru saja nyambangi Mirna dan kenalan sama dia. Kamu tak kenalin terus tak
suruh dia mbuatin kamu kopi. Mau?”
”Ndak bisa, mbah!
Pokoknya...!”
Dan malam pun
tiba.