Laman

Sabtu, 27 Mei 2017

Inflasi Pahala

#DUDAKARTAdanJAKARTA7
Citra D. Vresti Trisna


Ada dua hal yang membuat Dudakarta sepi: demo bela islam dan aksi bakar lilin. Dudakarta juga akan sepi menjelang ramadhan tiba. Tentu hal semacam ini tidak lepas dari pengamatan Mas Bule selaku aktivis muda Islam yang progresif. Ia gemas dengan sikap para orang tua di Dudakarta yang terkesan dingin dan acuh dengan datangnya bulan suci. Tentu saja, pihak yang pantas digugat atas sepinya Dudakarta dari perayaan ramadhan adalah Mas Rombong. Karena berdasarkan musyawarah warga, Mas Rombong ditunjuk menjadi lurah. Dan tugas meramaikan datangnya bulan suci adalah Tugasnya sebagai lurah.
”Allah pun mengatakan bila puasa adalah ibadah khusus untukNya, kok bisa-bisanya kita tidak menyambut kedatangan ramadhan? Apa ndak sinting orang-orang ini? Kalau Rombong tidak didamprat, tentu dia akan terus-terusan sembrono dan tidak mengingatkan warganya!” kata Mas Bule, yang meluapkan protesnya di depan rumah Mas Rombong.
Meski Mas Bule memutuskan berdemo sendirian, tapi suaranya yang cempreng mengundang orang-orang keluar rumah dan menengok apa yang terjadi.
Nuwunsewu nggeh, Mas Rombong. Apa sampean ndak nonton televisi. Jakarta yang konon sekulernya naudzubilah saja menyambut ramadhan dengan gegap gempita, kok kita yang dielu-elukan keimanannya ini tidak menyambut ramadhan lebih hebat dibandingkan Jakarta?” kata Mas Bule.

Senin, 15 Mei 2017

Kasus Ahok Hanya Tai Bebek Anget

>>sebelumnya<<

#DUDAKARTAdanJAKARTA6
Citra D. Vresti Trisna

Ahok divonis dua tahun. Jakarta pasti ramai. Siang dibakar matahari, menjelang malam, Jakarta dipanaskan lagi dengan teriakan dan kutukan simpatisan Ahok yang menyalakan lilin sambil mewek.
Mungkin tidak hanya di Jakarta, mungkin di seluruh Indonesia, juga dunia. Ya, mungkin! Tak ada yang pasti, tapi yang pasti kerumunan simpatisan itu ingin Ahok dibebaskan.
”Ahok itu tidak bersalah,” kata seseorang. ”Pengadilan dan hakim sialan,” kata kerumunan lainnya. ”Setelah ini, pak Ahok ke luar negeri saja. Jangan di Indonesia,” kata rombongan lainnya lagi.
Situasi Jakarta jadi panas sekali. Tapi sebaliknya Dudakarta jadi sepi. Sepulang sholat berjamaah, mereka langsung masuk ke bilik masing-masing dan mengunci pintu. Siang hari pun tak satu pun warga Dudakarta yang melancong ke Jakarta.
Mbah Ripul kelop-kelop sendiri di pojok warung Mang Alim sambil ngudut. Mas Rombong tidak tega dengan pria yang konon bernama Duri Pulo itu sendirian ndlahom dengan Mang Alim. Akhirnya Rombong keluar rumah juga. Meski ia harus merelakan diri diomeli istrinya yang sedang hamil muda yang kebetulan ngidam dikeloni Mas Rombong sambil didongengi cerita wayang.
”Sepi, Mbah...” sapa Rombong.
”Mbong, ndak ngeloni istrimu? Katanya ngidam kelon. Hehehe...,” goda Mbah Ripul. Rombong menaggapi Mbah Ripul hanya dengan mesem.
Lha sampean tidak ikut bakar lilin, Mbah?” tanya Rombong. ”Katanya mau serius mencontoh Jakarta? Ciyee yang serius? Katanya mendukung Indonesia damai?” kini giliran Rombong yang menggoda Mbah Ripul.
”Dengkulmu mlincet, Mbong-Rombong!” jawab Mbah Ripul. ”Damai itu butuh kedewasaan keduabelah pihak. Ketika subjektivisme akan islam tumbuh subur; ketika mata masyarakat tidak lagi cukup untuk sekedar dicuci dengan wudhu, bisakah semurni-murninya hati umat muslim tinggal diam? Mungkinkah orang yang sehari-hari diam di rumah tidak lantas angkat senjata ketika dianiaya tanpa senjata. Diolok-olok keyakinannya?”
”Apa lagi ini, mbah?” Mas Rombong keheranan dengan respon Mbah Ripul yang marah tiba-tiba.
”Mungkin orang-orang lupa bila kecenderungan pihak yang nampak teraniaya dan kalah judi dadu punya potensi bersih dari kesalahan. Siapa yang benar-benar bisa lepas dari kesalahan ketika konflik horisontal telah terjadi? Kalau pun Ahok sejatinya tidak bersalah, apa lantas Ahok tak punya andil barang satu-dua persen kesalahan? Atau mungkin memang benar bila korban memiliki kecenderungan bebas dari kesalahan hingga orang-orang marah, mengutuk dan menuntut Ahok dibebaskan. Di mata mereka, pihak yang tidak menuntut dianggap tidak pro kebhinekaan. Lha matane, ta?!”

Selasa, 09 Mei 2017

Kabinet Ajaib Dukun Tiban

#DUDAKARTAdanJAKARTA5
Citra D. Vresti Trisna

>>sebelumnya<<


Lama-lama warga Dudakarta gerah juga kalau setiap hari harus mengurusi rambut, gaya berpakaian atau yang lainnya. Sebagai tukang kepo cara hidup di Jakarta, warga Dudakarta tidak mau ketinggalan soal politik. Karena bagaimanapun juga nasionalisme warga Dudakarta tergolong tinggi.
Setelah cukup lama observasi tentang perpolitikan di Jakarta-Indonesia, warga Dudakarta kembali dibikin ngowoh dan terkagum-kagum. Terutama pada sistem demokrasi di Indonesia. Titik pusat kekaguman warga Dudakarta ada pada ketahanan rakyat dalam menerima ”aniaya” dan cara mereka memaafkan pihak-pihak yang menganiaya mereka.
Di mata warga Dudakarta, rakyat Indonesia memiliki kecenderungan masokis. Bila berkaca dari sejarah pergantian pemimpin, baik di sekala kelurahan sampai presiden, rakyat Indonesia tidak kapok untuk datang ke kotak suara guna memilih siapa yang jadi the next algojo ”penjagal” leher rakyat. Awalnya warga Dudakarta berpikir bila berlimpah-limpah panas matahari khatulistiwa mengkonsletkan otak rakyat Indonesia. Akibatnya, rakyat Indonesia menghapus kata trauma di pikiran mereka dan cenderung memiliki keluasan hati untuk memaafkan para penyiksanya.
Dibandingkan dengan Jerman, ketakutan negara pada pelarangan kelompok antidemokrasi membuat Hitler pada akhirnya justru terpilih dalam sistem pemilu yang demokratis. Pada awalnya Hitler dibiarkan berkuasa dengan tujuan untuk membuat rakyat sadar siapa Hitler yang sebenarnya. Tapi memang saat itu warga Jerman sedang apes, karena ternyata Hitler mampu berkuasa hingga belasan tahun sambil membawa kengerian: perang.
Pascaperang, rakyat Jerman sudah kapok-lombok dengan pemimpin anti demokrasi. Mereka sangat trauma dengan tipikal orang macam Hitler. Yang membuat heran warga Dudakarta adalah: mengapa rakyat Jerman baru dipimpin Hitler selama 12 tahun saja sudah kapok dan punya trauma berkepanjangan, sedangkan rakyat Indonesia dipimpin Soeharto yang sama ”sangar-nya” dengan hitler kok tidak kunjung kapok? Bahkan, akhir-akhir ini Soeharto ”dirindukan” lagi.
Piye kabare, le? Isih penak jamanku toh?” Celetuk Mas Rombong disambut riuh tawa pengunjung warung Mang Alim. ”Prediksi saya, kegemaran rakyat Indonesia untuk golek molo sangat berbanding lurus dengan jumlah produksi micin yang meningkat dari tahun ke tahun,” kata Mas Rombong dengan suara yang dibuat berwibawa.

Senin, 08 Mei 2017

Macet 2

#DUDAKARTAdanJAKARTA 4
Citra D. Vresti Trisna

>>macet1<<

Beberapa hari ini Mbah Ripul jarang terlihat di kampung. Kalau sudah begini, Mas Rombong adalah orang yang paling gelisah mencari. Mas Rombong takut menghilangnya Mbah Ripul ada hubungannya dengan kebiasaan barunya ngopi di Grand Indonesia. Ia juga takut kalau Mbah Ripul sampai disianida orang gara-gara sikap ndesonya yang kelewat batas.  
”Sejak acara kenduri pernikahanku, Mbah Ripul sudah tidak pernah kelihatan. Coba saja cari ke sungai. Barangkali dia kintir karena buang air sambil mengantuk,” kata Wakebol, tetangga Mbah Ripul.
”Ah masa sampai segitunya,” protes Rombong.
”Yee.. Coba saja kalau tidak percaya,” kata Wakebol.
”Ngarang.”
Tidak ingin berdebat terlalu lama dengan Wak Ebol, Rombong langsung ke sungai. Rombong terkejut mendapati Mbah Ripul benar-benar di sungai. Ternyata selama ini Mbah Ripul mancing ikan di sungai sebelah surau. Karena posisinya yang nyelempit membuat tidak banyak warga yang mengetahui bila Mbah Ripul berada di sana. Mbah Ripul nampak khusyuk memancing dan tidak peduli badannya dirubung semut dan dihinggapi lalat.
”Mau jadi Sunan Kalijogo jilid dua, mbah?” Sapa Mas Rombong.
”Semprul. Saya ini bukan kelasnya Kanjeng Sunan. Lha wong  mancing kok disamakan dengan orang yang bertapa,” kata Mbah Ripul. ”Saya ini ndak ada seujung kukunya Kanjeng Sunan Kalijogo. Jangankan menunggu tongkat di pinggir sungai, menunggu macet di Jakarta saja tidak betah kok akal-akalan nunggu sungai kaya kanjeng sunan,” protesnya.
Rombong tak mendebat kata-kata Mbah Ripul karena disibukkan membuka bungkusan ketela rebus milik Mbah Ripul. ”Lho sampeyan itu ndak pakai umpan, ya? Sampai Gunung Bajul pindah, ya, ndak bakal dapat ikan,” ejek Rombong.
”Ikan itu hewan yang tunduk pada kosmos. Kalau Gusti Allah menghendaki ikan nyaplok kail saya, kamu mau apa? Saya ini melatih sabar meski kalibernya tidak sedahsyat kanjeng sunan,” balas Mbah Ripul. ”Tidak usah terlalu jauh ke Sunan Kalijogo kalau ternyata kita masih kalah dengan warga Jakarta. Meski orang-orang berpikir orang Jakarta itu mblunat setengah mati, tapi mereka punya daya tahan luar biasa berada di kemacetan kota.”
”Ah, apanya yang tahan macet, mbah. Terkadang perkelahian di jalan juga kerap terjadi karena macet,” kata Rombong menimpali.
”Apa setiap macet pasti berkelahi? Apa semua yang terjebak macet berkelahi? Kan tidak! Kalau mereka tidak sabar dengan kemacetan, itu lumrah dan manusiawi. Mas Rombong, kamu harus tau bila tidak semua orang senang berada dalam kondisi macet, sehingga kesanggupan mengolah rasa tidak senang sebagai ’puasa’ adalah kejeniusan tersendiri. Yang saya apresiasi dari warga Jakarta adalah kesanggupan mereka untuk tetap bersila apapun situasinya, termasuk macet. Dan masyarakat Jakarta dihadapkan pada ribuan peluang untuk bertapa, bermesraan dengan Tuhan di situasi yang tidak menyenangkan. Tentu mustahil bila tidak ada satu pun warga Jakarta yang mengambil peluang itu,” terang Mbah Ripul. 
Rombong yang mulai tertarik dengan kata-kata Mbah Ripul menyahut, ”apanya yang hebat, mbah? Ndak perlu sampean membesar-besarkan soal macet di Jakarta. Namanya juga kota besar. Tingkat konsumtif mereka pada produk otomotif cukup tinggi dan tak sebanding dengan kapasitas jalan. Ya, wajar kalau macet.”
 Mbah Ripul menggandeng tangan Rombong dan tiba-tiba mereka sudah tidak lagi berada di sungai dan berpindah ke bawah flyover Roxy.
Ngapain ke sini, mbah?”
”Tuh lihat jalanan macet kaya gitu. Mereka itu bisa saja naik angkot atau naik ojek atau sepedaan ontel saja. Mengapa mereka lebih memilih membeli mobil dengan konsekwensi harus tua di jalan karena macet?” tanya Mbah Ripul. ”Apa ndak sakti jenis orang macam itu? Tidak! Tidak. Saya tidak akan memusingkan gaya hidup konsumtif dan gengsi orang Indonesia kebanyakan. Saya melihat ketabahan mereka berhadapan dengan macet.”
”Itu kan bodoh toh, mbah? Apanya yang sakti?”
”Kamu ini kebanyakan micin hingga akalmu tidak jernih lagi. Macet Jakarta ini harusnya membuat kita sadar betapa kaya Jakarta; betapa kaya manusia Indonesia. Berapa banyak rongsokan Eropa, Jepang dan Cina yang dijual di dealer itu pasti laku dan habis. Mengapa banyak dibuang ke sini rongsokan itu? Ya, tentu saja hanya orang Indonesia yang mampu beli, lha wong di negara asalnya, orang-orang kaya juga naik angkutan umum. Dan orang kita rela beli rongsokan hanya untuk kejebak macet. Mas Rombong, mereka itu beli rongsokan hanya untuk ’bertapa’ dan melatih kesabaran di dalam kotak-kotak beroda itu,” papar Mbah Ripul.
”Justru Mbah Ripul ini yang kebanyakan micin makanan cepat saji Jakarta. Bagaimana mungkin orang yang hidupnya tamak, tidak efisien seperti orang luar negeri dan mengganggu pejalan macam kita kok dibilang hebat,” tukas Rombong.
”Tidak semua hal yang nampak efisien itu berarti tidak punya titik hitam. Kelas menengah atau kelas atas di Jakarta bisa saja berangkat ke kantor dengan cekeran kaya kita kalau mau ke kakus. Tapi nyatanya mereka memilih membeli mobil yang nantinya bakal menyusahkan mereka; membuang waktu mereka di jalan dengan percuma hanya untuk menunggu kemacetan yang sebenarnya bisa mereka hindari. Rombong, ingatlah. Kemacetan memang tidak penting; tidak efisien. Tapi, kemacetan dibutuhkan oleh orang-orang tertentu untuk bersabar, mengeram diri dan ngobrol akrab dengan Gusti Allah.”
Rombong masih tidak terima. ”Yo susah Mbah. Ngapain juga seperti itu. Kaya kurang mesjid saja orang Jakarta itu.”
”Gusti Allah itu berada dimana saja. Mana ada ruang dimana Gusti Allah tidak ada di situ? Iya sih, memang ada tempat-tempat tertentu dan faktor yang mempengaruhi cepat-tidaknya seseorang berkomunikasi dengan Allah. Justru ketika di kemacetan seperti ini, yang umumnya orang bakal uring-uringan tapi tetap bisa berkomunikasi dengan Gusti Allah itu baru luar biasa; itu jauh lebih baik dari bermesraan di mesjid,” kata Mbah Ripul sambil terkekeh.
Ndak bisa gitu, mbah! Pokoknya ndak bisa!” Rombong terus protes.
”Kamu ini kok ngeyel. Aku baru saja nyambangi Mirna dan kenalan sama dia. Kamu tak kenalin terus tak suruh dia mbuatin kamu kopi. Mau?”
”Ndak bisa, mbah! Pokoknya...!”

Dan malam pun tiba. 

Kamis Legi, 4 Mei 2017

Sabtu, 06 Mei 2017

Macet 1

#DUDAKARTAdanJAKARTA 3
Citra D. Vresti Trisna

Mbah Ripul semakin nggaya. Bahkan kini urusan beli kolor pun harus ke Jakarta. Ia ingin merasakan naik taxi dan terjebak macet seperti warga Jakarta lainnya. Awalnya ia merem melek bangga merasakan kenikmatan menjadi kota, meski matanya sesekali melirik argo yang terus bertambah. 
Satu-dua jam Mbah Ripul masih tahan. Setelah hampir tiga jam, Mbah Ripul resah karena sudah menjelang magrib tapi belum juga sampai tujuan. Padahal ia ingin sholat magrib dan isya berjamaah lalu menghadiri kenduri di rumah Wakebol. 
Ketika pikirannya sudah berlarian kesana-kemari, diam-diam Mbah Ripul melihat wajah sopir taxi yang nampak tenang dan kalem. Meski sejak awal naik hingga hampir tiga jam lamanya, Mbah Ripul tidak diajak bicara. Ia pun tidak keberatan didiamkan. Mungkin saat sopir taxi berpikir bila potongan penumpangnya ini tidak mungkin memberikan tips lebih. Atau paling parah hanya memberikan uang recehan yang sudah bau balsem.
Untuk meredakan resahnya, Mbah Ripul melihat ke luar jendela. Ia mendapati mobil berjajar ruwet tak karuan. Di kaca depan mobil pun terlihat kemacetan di sepanjang Jalan Thamrin nampak tak kelihatan ujungnya dan membuatnya semakin resah.
Setelah beberapa kali melihat keluar jendela, ia mendapati wajah sopir di balik kaca mobil juga nampak tenang. Berbeda dengan dirinya yang sudah berkali-kali menggeser tempat duduk. Sejurus kemudian ia mendapati dirinya malu setengah mati. Ia tak sanggup hidup tenang sebagaimana warga Jakarta lainnya yang juga terjebak macet. Kalau pun diantara mereka juga punya urusan yang mendesak, tapi paling tidak warga Jakarta lebih dapat menyembunyikan keresahan mereka di balik air muka yang tenang, kaku dan dingin.
AC taxi tak mampu menepis rasa panas yang keluar dari dalam dirinya lantaran sudah mendengar adzan Maghrib berkumandang dari corong mesjid di pinggir jalan raya. Karena sudah tak tahan, ia keluarkan uang seperti yang tertera di argo taxi dan keluar dari mobil.
”Lho mau kemana, pak? Ini kan belum sampai ke tujuan bapak,” tanya sopir.
"Saya turun di sini saja," kata Mbah Ripul. 
Setelah membuka pintu mobil. Mbah Ripul keluar mobil dan berlari di  antara rapatnya mobil-mobil yang berjajar rapi untuk menuju mesjid secepatnya. Ia berlari cukup lincah meski usianya sudah tidak lagi muda. Rasa malu lantaran tak sanggup bersabar menghadapi kemacetan membuatnya malu kepada semua warga Jakarta. 
Mbah Ripul mencoba menghibur dirinya sendiri dengan berpikir bila upaya keluar dari taxi adalah hal yang benar: segera lari ke mesjid karena sudah masuk waktu sholat. Tapi dalam hal kesabaran, ia merasa ditelanjangi karena tak mampu untuk bersikap tenang seperti warga Jakarta lainnya yang juga mengalami kemacetan yang sama. Ia juga sadar bila yang yang dikejar waktu sholat bukan dirinya saja; yang ingin dekat dengan Tuhan bukan dirinya saja. 

Usai sholat, Mbah Ripul menangis sesenggukan tanpa jelas sebabnya. Sebelum meninggalkan mesjid, ia mengirim Al Fatihah kepada seluruh warga Jakarta. Dan Mbah Ripul memutuskan pulang dengan jalan kaki ke kotanya yang bersahaja.


Dudakarta, Kamis Wage 4 Mei 2017

Kamis, 04 Mei 2017

Dua Kuman Kotor di Grand Indonesia

#DUDAKARTAdanJAKARTA 2
Citra D. Vresti Trisna

>>sebelumnya<<

Dudakarta adalah puncak kesunyian kota. Sesuatu yang lebih sunyi dari sunyi hingga apapun yang dilihat penghuninya selalu mengingatkan kepada Allah; bernapas dengan menyebut nama Allah; beraktifitas sambil berdzikir; mengambil segala keputusan dengan meminta pertimbangan Allah.
Kesunyian yang tanpa tanding membuat warga Dudakarta sangat peka dan tahu diri. Mereka merasa nikmat yang didapatkannya tak sebanding dengan datangnya ujian dari Allah. Bukan pemandangan aneh bila di tengah jalan, ada orang meraung-raung berdoa minta miskin, meski dari hari ke hari mereka malah bertambah jadi kaya. Warga Dudakarta merasa iba dengan warga miskin Jakarta yang meski setiap hari berdoa minta kaya tapi justru malah tambah miskin.
Konon warga Dudakarta adalah warga pelarian dari masa silam yang berdemo dan ngambek ketika di-SMS Gusti Allah dan diberitahu bila suatu saat bakal ada negara yang bernama Indonesia. Ketajaman mripat batin mereka mengerti bila hampir semua jalannya napas kehidupan penghuninya menyebut nama berhala mereka: materi, materi, materi. Meski sebagian penghuninya beragama Islam.
Ada yang bilang warga Dudakarta adalah hantu dari para duda kapiran yang melarikan diri di zaman romusha Jepang. Ada juga yang bilang warga Dudakarta adalah pelarian para pekerja tanam paksa di masa Gubernur Jendral Johannes Van Den Bosch. Tapi bagi warga Dudakarta itu tak jadi soal. Mereka hanya tahu  Allah adalah ”awal dan akhir” segala sesuatu.
Warga Dudakarta seolah tak peduli dengan anggapan warga Jakarta soal spekulasi darimana warga Dudakarta berasal, karena disibukkan dengan proyek baru untuk ”menjadi kota”.

Rabu, 03 Mei 2017

Nyotek Cara Hidup Jakarta

#DUDAKARTAdanJAKARTA
Citra D. Vresti Trisna

     Halo masyarakat Dudakarta! Bagaimana kabar kalian hari ini? Ya, tentu saja kalau Mbah Ripul tanya, pasti akan jawab, ”syukur Alhamdulillah. Kabar kami baik, Mbah Ripul.”
Kabar masyarakat Dudakarta pastilah baik. Berbeda dengan kota sebelah yang disebut-sebut Jakarta itu. Jakarta itu sumpek pikirannya. Ruwetnya pikiran warga Jakarta memancar ke seluruh Indonesia dan membuat wilayah lain di Indonesia ikut-ikutan ruwet. Kalau ada orang yang ndak ruwet dibawa ke Jakarta, bisa dipastikan dua-tiga hari orang tersebut akan ikut-ikutan ruwet.
Sedangkan situasi di Dudakarta itu berbeda hampir 180 derajat dengan Jakarta. Di Dudakarta itu tototentrem kertoraharjo sebagaimana Alm Kalijodo, Jakarta. Masyarakat hidup berdampingan, suka bergotong-royong, berkecukupan, dan memiliki rasa syukur yang tinggi atas rizki dari Allah. Tapi, anehnya, kondisi tersebut tidak lantas membuat masyarakat Dudakarta jadi senang. Kehidupan yang aman-nyaman tersebut dianggap kurang memberikan tantangan, sehingga masyarakat Dudakarta berusaha keras membuat Dudakarta menjadi kopian Jakarta.
”Gimana, Mbah Ripul, sebagai mbambungan, sampeyan kerasan tinggal di Dudakarta ini?” tanya Mas Rombong.
”Ya, senang ndak senang,” jawab Mbah Ripul.
”Kok bisa begitu, Mbah?”