Laman

Rabu, 19 Juni 2019

Juni Mop Sandiaga Uno


”Sandiaga Uno Digadang Menjadi Menteri Kabinet Jokowi Periode Kedua.” Kata berita.

”Jokowi: lima tahun ke depan saya tidak memiliki beban apa-apa.” Kata berita lagi.

Namanya juga artis. Omongannya bakal diperdebatkan banyak pakar. Termasuk yang paling banyak diperdebatkan adalah hangat-hangat tahi ayam berita soal Sandiaga. Mungkin inilah biang kerok yang membuat mantan Gubernur DKI ini kerap keselek waktu makan: dirasani ngalor-ngidul.

Bukan Jokowi namanya kalau tidak kontroversial. Kalau orang-orang pada ndak ngerti, tolong dicatatat, ya! Seandainya Sandiaga benar-benar masuk kabinet, ini berarti rekonsiliasi yang serius. Siapa berani meragukan kedigdayaan mantan kang kayu dari solo ini dalam menyatukan rakyat? Konon hanya dengan kentut, keterbelahan rakyat akibat kontestasi pilpres 2014 dan 2019 dapat teratasi.

Selasa, 18 Juni 2019

Bojomu My Adventure, Bojo Bojoni Lupus

Bojomu My Adventure


Konon, sesuatu yang membuat ”manusia penjara” tetap hidup adalah membaca ulasan tentang destinasi wisata. Mengapa itu perlu dilakukan? Tentu saja, agar tetap hidup dan bermimpi. 
Konon, mimpi ”mengawetkan” harapan. Dan harapan membuat manusia sadar sesuatu: nyawa itu ulet. Kesadaran ini membuat manusia lebih siap hidup dan menjalani berbagai kemungkinan.
Sudah, sudah, cukup! Saya tak berniat meneruskan kalimat saya sebelumnya, karena nama saya bukan Mario.
*
Untuk petualangan luar biasa di kemudian hari, mari ucapkan, ”bojomu my adventure”. Eh, maaf, maksud saya, ”my trip my adventure”.
Maafkan kebejatan congor saya barusan. Sekedar info, saya baru saja nggliyeng membaca tulisan di kaus seseorang yang kebetulan lewat: ”bojomu my adventure”. Sebelumnya, maafkan saya yang gampang ”masuk angin” dan sentimentil pada gejala-gejala. Tulisan di kaus itu membuat saya berpikir: saya disapa ayat Tuhan model apa lagi kali ini? Duh, Gusti, ampun… Soal setuju dan tidaknya saya pada kalimat itu, pikir keri.
Rasa penasaran ini membuat hasrat goyang saya tersentuh. Mungkin ini sedikit 4l4y, tapi percayalah. Ingatan soal kalimat durjana itu terasa begitu dekat. Sedekat musik dangdut yang menghentak-hentak kala saya menulis ini.
Tentu saja, spontanitas yang muncul macam bojomu my adventure, jelas muncul dari seorang begawan yang tingkat kesufian sekaligus kesuwungannya pilih tanding. Saya ndak tahu pastinya, siapa begawan itu? Apakah ia hidup di lingkaran pemerintah, jalanan, atau per-purel-karaokean. Meski latar sosiologis lahirnya spontanitas itu pentinguntuk menakar seberapa gawat kebangkrutan hidup yang telah terjadi di lingkar-lingkar sosial—tapi, saya putuskan untuk berdamai dengan ketidaktahuan. Kata seorang kawan, ”adakalanya kebejatan lebih nikmat dirasakan dengan ’mata’ terpejam”.

Minggu, 16 Juni 2019

Markas Keblek atau Mahkamah Konstitusi


Burung Keblek 

Kampung saya sedang ramai! Soal apa? Ah, bukan hal yang penting. Tapi, ya, lumayan perlu sih untuk diceritakan.
Jadi begini. Ribut di kampung saya itu soal pemilihan ketua RT. Dua orang calon mempersoalkan hasil penghitungan suara. Beda tipis sih, tapi salah pemilihnya juga, kenapa pemilihannya harus tertutup. Itu lo, nganu, sok-sokan meniru pemilu di Indonesia: bebas dan rahasia.
Ini kan koplo. Bebas kok rahasia. Kalau sudah bebas milih, ya, tidak perlu rahasia. Ndak perlu ngomong kebebasan-kemerdekaan dalam memilih kalau pake rahasia rahasia segala. Warga diajari gak jentelmen. Pemilihan sebelumnya, ya tetap voting. Tapi, masing-masing tahu siapa pilih siapa.
Nanti kalau tahu bisa ribut?
Kalau gitu kenapa gak musyawarah saja; dibicarakan baik-baik antar warga dan dirembukkan siapa yang pantas dipilih.
Menurut saya, salah satu sumber keributan ini adalah karena anak-anak muda lulusan universitas yang dianggap pintar itu disuruh cawe-cawe urusan pemilihan RT. Eh, ndak taunya kok malah ndlahom. Seharusnya mereka lebih belajar dan menundukkan kepala di hadapan orang-orang kampung, bukannya keminter. Orang kampung disuruh belajar berdemokrasi, votang-voting-votang-voting. Matane amblek!
Bawawuk, pihak yang kalah tipis itu merasa dicurangi oleh Jopukon, RT periode sebelumnya. Jopukon dianggap melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Memang sih panitia pemilihan itu memang dekat dengan Jopukon. Dan orang ini pula yang sebelum pemilihan paling banyak ikut riwa-riwi.

Rabu, 12 Juni 2019

Pertanyaan Mbah Ripul untuk Pendukung Jokowi dan Prabowo

Usai tarawih, di depan mimbar mesjid, suara Mbah Ripul melengking tinggi.
”Saudara-saudara, apakah anda di antara kalian yang pernah jadi pendukung salah satu capres? Kalau ada, silahkan angkat tangan,” Tanya Mbah Ripul.
Tak seorang pun warga yang mengangkat tangan. Tidak puas karena masih juga tidak ada yang angkat tangan, ia mengerahkan kekuatannya. Kali ini suaranya lebih melengking lagi dan menembusi isi hati warga dan menanyai para warga dengan pertanyaan yang sama. Nihil! Lagi-lagi tidak ada yang mengangkat tangan.
Belum juga menemukan sesuatu di kedalaman hati warganya, Mbah Ripul mencoba masuk lebih dalam lagi. Suaranya yang kasat mata terbang sampai jauh dan didengar mahluk-mahluk lainnya. Dedaun hijau yang merasa ikut ditanyai bergetar hebat lantas menguning dan runtuh ke tanah. Angin yang semula berhembus lembut kini berhembus kencang sebagai tanda ia abstain oleh pertanyaan Mbah Ripul. Kalau batu-batu gunung yang jadi pondasi mesjid di Dudakarta itu tidak sayang pada para warga, tentu saja ia ikut menunjukkan sikap dengan menolak dituduh kampret dan cebong. Mungkin cara batu-batu itu menunjukkan sikap adalah dengan menggeliat hingga mesjid rubuh.
”Ayo, silahkan ada yang berani jawab dan angkat tangan!” Mbah Ripul mengulang pertanyaan yang sama. Kali ini getaran suaranya sampai ke luar dari Dudakarta dan masuk ke Jakarta. Tak berselang lama Mbah Ripul kaget karena hampir seluruh warga Jakarta bersuara dengan mantab. Suara warga Jakarta itu membuatnya sampai terpental mundur tiga langkah dari mimbar.

Anak Band Ngehitz VS Mesin Sampink


Mesin Sampink

Sejak kecil, saya sudah akrab dengan musik. Banyak hal dalam hidup saya berubah karena musik. Di sekolah dasar, saya dikenal sebagai pencinta lagu-lagu Malaysia. Hampir setiap hari, buruh pabrik yang kos di belakang rumah tak pernah absen memutar lagu Malaysia keras-keras hingga terdengar sampai ke meja belajar saya. Berjam-jam membuka buku pelajaran, tak ada satu pun yang masuk. Pikiran saya melayang jauh dan batin pun hanyut meresapi luka sang penyanyi.
Lagu Malaysia mengajarkan saya arti patah hati dan merana ditinggal kekasih. Alunan musiknya yang mendayu-dayu membuat saya yang saat itu belum cukup umur diam-diam menyimpan obsesi patah hati. Saya ingin merasakan rasa sakit ditinggal kekasih. Karena, saya pikir, kalau sudah patah hati akan dapat lebih khusyuk menyanyi. Syukur Alhamdulillah cita-cita saya merasakan patah hati bisa kesampaian di masa SMA. Meski ketika patah hati saya justru lupa pada lagu Malaysia, tapi malah jadi brandalan.
Menginjak SMP, televisi mengisi waktu makan siang saya sepulang sekolah dengan sajian musik dari Boomerang. Saat itu, mau tidak mau, lagu-lagu Malaysia merelakan diri berbagi sebagaian ruang di hati saya untuk diisi Boomerang. Karena Boomerang membuat pikiran saya jauh lebih rileks dari sebelumnya.
Kehadiran Boomerang di kehidupan saya ibarat Wahyu Makutoromo yang membisiki batin saya dengan kata-kata motivasi yang keramat: ”kamu harus jadi anak band”. Ya, saya benar-benar meyakini bisikan itu. Saya sugesti diri saya tiap hari. Saya masukkan Boomerang dalam diri saya agar kelak bisa sangar seperti rambut John Paul Ivan; cadas seperti Farid Martin Badjeber; suram tapi asik seperti Hubert Henry Limahelu; lantang seperti Roy Jeconiah.
Dan Subhanallah sekali, akhirnya saya jadi anak Band.

Stress, Mbah Jenggot Mojokerto Solusinya


Situasi sedang gawat. Saya melihat tahun 2017 adalah waktu di mana semua persoalan sampai di titik klimaks; baik urusan di sekala nasional, daerah, kecamatan dan bahkan sampai ke bilik kamar. Tentu saja sebagai seorang penulis, saya ingin menulis semua kerumitan itu. Memetakan persoalan yang ada lantas menawarkan solusi. Meski kaliber saya di bidang penulisan hanya sekelas coro, tapi sebagai seseorang yang berupaya baik, saya ingin memberikan kontribusi positif bagi anda semua. Terutama bagi pembaca Kabar Mojokerto yang budiman. Namun, apalah daya saya. Nafsu besar tenaga kurang. Maafkan saya.   
Ketika hendak merenungi lebih dalam bahan yang akan saya tulis, mendadak tangan saya jadi kaku. Tidak biasanya saya jadi seperti ini. Terlebih ketika menyadari dampak tulisan-tulisan saya ibarat sebutir pasir di Gurun Sahara. Hal ini sangat menyiksa batin saya. Duh, Gusti, betapa sombong dan angkuhnya manusia macam saya ini karena tidak mau belajar dari pengalaman.
Sudah jelas-jelas tahu bila masalah-masalah di segala lapisan tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan Allah, tetapi masih saja ngeyel dan sok ikut-ikut menyelesaikan. Saya ini tidak punya modal kewaskitaan dan kejelian mripat untuk melihat dan memetakan persoalan-persoalan yang ada. Punggawa pemerintah di segala lapisan pun bisa dipastikan akan gagal membenahi situasi saat ini. Bahkan teori-teori sosial paling canggih yang dipercaya jadi obat mujarab membenahi Indonesia tidak akan mempan mengatasi persoalan yang sedemikian kompleks ini. Kalau presiden, gubernur, bupati, akademisi, dan budayawan saja tak mampu, apalagi saya.