: w, s, e
Wangi
dupa itu tiba
Aku
mencium jejak basah, teduh:
Kenangan
yang (mungkin) terlewat
Singgah
di suatu sore
(kemudian
jemari itu memanggil,
mata
– yang kubayangkan – mungkin tertutup
dan
doa-doa menyala kemudian)
Aku
dengar sepimu, perempuan
Bila
malam berjarak, tawa usai
Boleh
aku tau siapa yang kau panggil sebelum lelap berbisik pada mimpi?
Lalu
hujan mengecup gonggong anjing sampai malam mendingin
Kau
tau, pada bilik ini aku dengar kikik tawa menderai
Sebelum
akhirnya gerimis reda digantikan hari menggelap
Hey,
perempuan pembawa canang
Pada
tidur paling putih: tahukah kau tentang sepi yang pernah dibicarakan
Dongeng
dari padang dandelion; suatu tempat
yang
pernah disebut dalam lontar yang (mungkin) tak pernah kau temui
Apa,
siapa yang kau panggil adalah kesejatian yang sama?
Apa,
siapa yang kita rasakan saat sepi mengecup ingatan kita adalah keteduhan yang
sama?
Aku
bertanya: bagaimana denting angin membawa wangi sunyi
dan
doa meluruh di lentik jemari (mu)
Aku
kenang: pagi tiba, retak, saat kau ucap: om swastyastu
Semua
kembali di mulai, kembali dicatat
Hari
yang menyala doa-doa –saat paling tepat untuk pamit, menyimpan kenang sua
Perempuan.
Perempuan. Perempuan pembawa canang.
Apa
esok tetap (hidup) ketika jemari (mu) lentik
:
meratib
Denpasar,
Februari 2013
Citra
D. Vresti Trisna