Bila revolusi itu omong kosong, rebahan saja sambil ngeteh |
Pukul dua dini hari.
Beberapa orang pasukan yang dikepalai oleh Mikhailovich Yurovsky membangunkan
Tsar Nicholas II dan keluarganya dari tidur. Setelah disuruh berpakaian rapi,
Nicholas sekeluarga dibawa ke ruang bawah tanah. Untuk meredakan kecemasan,
salah seorang pasukan mengatakan, mereka diperintah mengamankan Nicholas dan
keluarganya dari tentara Bolshewik yang hampir mengepung Yekaterinburg.
Nicholas sadar Dinasti Romanov telah tamat usai Revolusi Februari 1917, tapi ia
dan keluarganya tak tahu bakal dieksekusi dini hari itu juga.
Setelah Nicholas dan
seluruh keluarganya berkumpul, mereka berjalan ke ruang bawah tanah. Menurut
penuturan Yorovsky, Nicholas turun ke ruang bawah tanah menggendong Alexei,
putra bungsunya. Di ruang bawah tanah terjadi kegaduhan yang tidak perlu. Ratu
Alexandra mengeluh lantaran tidak ada kursi untuk duduk. Yorovsky pun
memberikan dua buah kursi. Setelah Alexandra dan Alexei duduk, para eksekutor
masuk ke dalam ruangan.
Yorovsky memecah
kebuntuan dan kebingungan seluruh keluaga Nicholas di ruang bawah tanah. Dengan
tenang ia mengumumkan bahwa Nicholas dan keluarganya telah dijatuhi hukuman
mati oleh Deputi Pekerja Soviet Ural. Kebingungan memang mereda, digantikan
kecemasan dan jutaan pertanyaan di kepala. Nicholas masih terkejut dengan apa
yang baru ia dengar. Tapi, Yurovsky kembali mengulang istruksinya dan langsung
menembak Nicholas dan diikuti oleh seluruh pasukan.
Lima butir peluru
bersarang di dada Nicholas. Empat orang putrinya Tatiana, Anastasia, Olga dan Maria
tak langsung tewas lantaran peluru yang ditembakkan prajurit itu tertahan oleh
perhiasan di balik korset. Para prajurit itu mengambil inisiatif. Empat orang
itu ditikam dengan bayonet dan ditembak kepalanya dari jarak dekat. Polisi
Bolshevik juga ambil bagian untuk mengeksekusi pelayan, sopir, juru masak dan
dokter keluarga.
Ini yang disebut Lenin
sebagai re-vo-lu-si. Sebuah siklus! Dan mungkin memang harus seperti itu.
Sebagaimana sejarah di berbagai belahan dunia: tak boleh ada sisa usai revolusi
dipekikkan. Yang boleh bersisa hanya penuturan para algojo, yang tentu saja
berdasarkan versi mereka. Ya, dalam hal ini, semua yang bersisa dari kekaisaran
Soviet harus lenyap agar pengganti kekuasaan itu tak dihantui mimpi buruk.
Menyisakan orang lama
usai kekuasaan baru berdiri tak ada bedanya dengan menyimpan bom waktu di saku
jas. Mungkin revolusi baru dianggap selesai hanya setelah perintah eksekusi
mati turun untuk satu keluarga.
Upaya penggulingan
kekuasaan Tsar memang bukan hanya sekali itu terjadi. Sebelumnya, kakak lenin,
seorang preman kecil yang militan, juga sempat menjajal Tsar. Tapi, preman
tetaplah preman. Mereka gegabah, tak didukung rakyat, tak pandai membaca
kondisi dan alhasil berakhir di tiang gantungan. Melihat apa yang menimpa
kakaknya, Lenin hanya berkata: saya tak akan seperti itu. Ia membuktikan
kata-katanya. Ia melenyapkan Tsar dengan dingin, di momentum yang tepat.
Sebagai seseorang yang
cerdas, ia membakukan ajaran Karl Marx menjadi komunisme. Kecerdasannya sebagai
seorang pembelajar membuatnya mampu berpikir radix, ke akar-akarnya. Pun batu pertama kekuasaannya, ia benamkan
dalam-dalam di kepala rakyatnya. Greja dan agama—yang sebelumnya jadi penghalang dan
bersekongkol dengan kekaisaran—disingkirkan tanpa sisa. Proyek anti Tuhan
dimulai dan sejarah pun berganti.
Bagi pemuda, revolusi adalah sesuatu yang
menggairahkan. Tapi, menjelang tua, revolusi jadi hantu yang mengerikan. Di
Indonesia pun, revolusi disebut-sebut dengan berbagai istilah. Salah satu
momentum yang disebut revolusi mungkin ketika Soeharto (dianggap) telah
”digulingkan”. Meski kita masih malu-malu menyebut Soeharto ”mundur”. Lebih-lebih
teramat malu untuk mengakui: Soeharto tak takut pada mahasiswa, tapi sedih
ketika rakyat mulai menjarah.
Baiklah, jujur ada rasa sungkan untuk tidak
menganggap lengsernya Soeharto sebagai bagian dari revolusi. Mungkin tidak
berdarah-darah sebagaimana yang terjadi di Soviet. Tidak ada keluarga yang
dibangunkan dini hari untuk dieksekusi. Sampai kini pun tak satu periode pun di
pemerintahan berani mengusik keluarga cendana. Hal ini yang membuat saya
teringat dengan seorang kawan lama. Ia pernah berkata, ”revolusi tanpa tumbal
darah penguasa sebelumnya bakal jadi tulah bagi rakyat.”
Mungkin kawan saya berlebihan. Tapi, seandainya
itu benar, apa rakyat yang sampai hari ini terus sengsara adalah buah dari
tulah dari revolusi yang tak selesai dan menyisakan ampas (baca: Golkar)? Golkar
memang belum tumbang sampai sekarang, tetap ikut pemilu, dan yang terpenting
adalah tetap menyusahkan. Lalu, bagaimana dengan PDIP?
Masih berangkat soal tulah revolusi, saya jadi
berpikir: apa jadinya negara ini seandainya pergantian orla ke orba diwarnai
kejadian serupa di Soviet seratus satu tahun silam? Apakah saat itu, Soeharto
sedang menyimpan bom waktu di pecinya. Dan Megawati selaku garis
keturunan Soekarno yang masih menyimpan api dan luka sejarah dan doyan omong
revolusi itu, saya kira, perlu menyepi sejenak. Ia perlu menakar apakah PDIP
hari ini tak lebih orba dari sebelumnya.
Ya, pada akhirnya, revolusi—berdarah
atau tidak; selesai atau tidak—tetap saja seperti omong kosong yang terdengar merdu.
Citra D. Vresti Trisna
Jakarta, 19 Juli 2019
Pernah
dimuat di Jurnal Faktual
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.