POKOKNYA
segala hal yang terkait dengan urusan jejak ini saya sudah kenyang,
habis-habisan, remuk dan ….
Silahkan
sebutkan jejak yang sekiranya, menurut anda, belum pernah saya telusuri?
Jejak
maling, jejak pipa air di gunung, jejak kasus, tikus, jejak kabel listrik yang
koyak, jejak kucing nyolong ikan, juga
cinta, rasa atau apa sajalah. Mungkin semua pernah. Seperti yang satu ini; soal
cinta misalnya.
Bisa
dibilang untuk soal ini saya sudah terlalu kenyang menyusuri jejak “kekasih”. Terserah
jejak untuk cinta di level yang mana: dari yang paling memble sampai paling
durjana telah saya susuri jejaknya. Mungkin saat itu saya sedang mencari segala
yang harus saya pahami tapi terlewat. Atau mencari segala yang coba dihapus
atau yang terpaksa dihapus atau mungkin kekasih kita lupakan.
Mencari
jejak itu seperti sedang berburu. Dan seperti biasa, yang menjengkelkan saat
berburu adalah tak menemukan jejak-jejak segar. Setelah berhari-hari menerobos
gelap hutan dan kenangan, sejauh mata memandang hanya ada jejak lama yang
sebelumnya pernah didatangi. Tapi ironisnya, justru dari jejak lama itulah saya
menemukan wajah sendiri: menggigil, berteduh dan menunggu hujan reda. Sudah
jelas babak belur, masih saja belum kapok mengikuti jejak dan tersesat jauh ke
dalam hutan.
Saya
ini kesurupan “api” macam apa?
Soal
“api” jenis apa, itu saya sendiri kurang yakin. Yang jelas, pencari jejak
semacam saya itu bisa terus hidup dan punya “api” karena tak lupa sarapan
ketika berburu. Jejak basah yang (sengaja-tak sengaja) ditinggalkan adalah
senikmat-nikmatnya sarapan. Dan puji syukur saya haturkan ke Gusti Allah yang
telah mentakdirkan ada hutan buatan penuh kubangan lumpur basah dan bau (baca:
medsos) bisa hadir di kehidupan manusia sudrun akhir zaman ini. Hutan jenis
inilah yang paling dinikmati pemburu jejak. Tekstur tanah yang berlumpur itu
membuat jejak buruan terlihat lebih jelas.