Laman

Kamis, 09 Juli 2020

Jejak



POKOKNYA segala hal yang terkait dengan urusan jejak ini saya sudah kenyang, habis-habisan, remuk dan ….
Silahkan sebutkan jejak yang sekiranya, menurut anda, belum pernah saya telusuri?
Jejak maling, jejak pipa air di gunung, jejak kasus, tikus, jejak kabel listrik yang koyak, jejak kucing nyolong ikan, juga cinta, rasa atau apa sajalah. Mungkin semua pernah. Seperti yang satu ini; soal cinta misalnya.
Bisa dibilang untuk soal ini saya sudah terlalu kenyang menyusuri jejak “kekasih”. Terserah jejak untuk cinta di level yang mana: dari yang paling memble sampai paling durjana telah saya susuri jejaknya. Mungkin saat itu saya sedang mencari segala yang harus saya pahami tapi terlewat. Atau mencari segala yang coba dihapus atau yang terpaksa dihapus atau mungkin kekasih kita lupakan.
Mencari jejak itu seperti sedang berburu. Dan seperti biasa, yang menjengkelkan saat berburu adalah tak menemukan jejak-jejak segar. Setelah berhari-hari menerobos gelap hutan dan kenangan, sejauh mata memandang hanya ada jejak lama yang sebelumnya pernah didatangi. Tapi ironisnya, justru dari jejak lama itulah saya menemukan wajah sendiri: menggigil, berteduh dan menunggu hujan reda. Sudah jelas babak belur, masih saja belum kapok mengikuti jejak dan tersesat jauh ke dalam hutan.
Saya ini kesurupan “api” macam apa?
Soal “api” jenis apa, itu saya sendiri kurang yakin. Yang jelas, pencari jejak semacam saya itu bisa terus hidup dan punya “api” karena tak lupa sarapan ketika berburu. Jejak basah yang (sengaja-tak sengaja) ditinggalkan adalah senikmat-nikmatnya sarapan. Dan puji syukur saya haturkan ke Gusti Allah yang telah mentakdirkan ada hutan buatan penuh kubangan lumpur basah dan bau (baca: medsos) bisa hadir di kehidupan manusia sudrun akhir zaman ini. Hutan jenis inilah yang paling dinikmati pemburu jejak. Tekstur tanah yang berlumpur itu membuat jejak buruan terlihat lebih jelas.