Laman

Rabu, 29 April 2020

Israel dan Bisnis




”Tujuh pengusaha Indonesia melawat ke Israel akhir pekan lalu. Terdiri dari lima lelaki dan dua perempuan,” kata Jarusalem Post. Kabarnya, pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) melakukan penjajakan potensi kerja sama bisnis. Foto Yoram Dvash, President of Israeli Diamond Exchange dan Mufti Hamka Hasan, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang Hubungan Timur Tengah dipajang besar-besar di media itu.

Disebut bakal menjalin kerjasama dagang dengan Israel, Mufti Hasan merasa perlu mengklarifikasi. Ia menampik laporan Jarusalem Post. Menurut dia, Kadin diundang ke acara forum bisnis di Palestina, bukan Israel. Klarifikasi inilah yang jadi penting buat saya. Mengapa ia perlu memberikan klarifikasi atas kunjungan Kadin ke Israel?

Israel memang tidak salah sebagai negara. Tapi, mungkin Israel salah sebagai Yahudi. Salah karena Zionisme Israelmenegakkan identitas dan tanah airyang melatarbelakangi serangkaian kekejaman di Palestina. Selama darah tak berhenti tumpah di Palestina, Israel (sebagai identitas) tidak pernah dilihat secara adil. Bukankah tidak semua rakyat Israel minum darah anak-anak Palestina; tidak semua warganya setuju atas pendudukan di Palestina.

Sentimen, terserah dari manapun asalnya, tetap punya sisi kejam. Ia menyebabkan seseorang atau sekelompok orang jadi buta. Tak perlu membedakan Israel yang mana yang pro pembantaian di Palestina, atau sebaliknya. Semua sama, tak perlu repot-repot dibedakan. Keduanya hanya dilihat sebagai satu kesatuan: Israel biadab haus darah!

Sentimen yang berangkat dari keyakinan juga pernah memerahkan Eropa di tahun 1209, awal mula Perang Salib Albigensian. Saat itu rombongan pasukan Katolik dengan mengatasnamakan Tuhan dan dengan restu paus, membantai penganut sekte Katarisme tepat pada 22 Juli 1209 di Beziers, Prancis Selatan. Tak ada beda. Semua penduduk kota itu dibantai habis, tak peduli di sana juga ada warga Katolik. Semua dibantai agar tak ada yang pura-pura jadi Katolik dan setelah selamat kembali melakukan bidaah. Ketakutan inilah yang membuat Kepala Biara mengatakan, ”caedite eos. Novit enim Dominus qui sunt eius.” (Bunuh mereka semua karena Tuhan tahu mereka yang merupakan pengikutnya).

Selasa, 21 April 2020

"Ramalan" Masa Depan dan Manusia Anti "Sampah"

Ini sampahnya...

(Perihal Mendengarkan 4)

Konon “tulah” bagi manusia yang menghibahkan dirinya menjadi keranjang sampah bagi manusia lainnya adalah dihantui gambaran masa depan seumur hidup.

Benarkah demikian?

Kalau sekarang ada yang bertanya: mengapa semasa “muda”, saya suka mendem? Tentu saja akan saya jawab: mengendornya sedikit syaraf meredakan rasa takut saya pada gambaran masa depan yang kelewat jauh dan nakal. Lalu, apakah saya takut pada masa depan? Ya, tidak juga! Yang saya maksud dengan “takut” di sini adalah gambaran masa depan yang datang lebih dulu ketimbang realitasnya. Dan yang mengerikan, gambaran itu benar-benar terjadi.

Apakah saya menasbihkan diri menjadi seorang futurolog? Tidak! Saya tidak punya potongan untuk itu.

Alanlisa saya amburadul, mata saya terlalu minus untuk memelototi zaman. Hidung saya pun juga kerap bermasalah dan akhir-akhir ini sering pilek dan terus meler. Jangankan untuk mengendus berbagai gejala di pikiran dan hati lawan bicara, melacak bau bangkai tikus di departemen otak saya sendiri saja susah. Lalu apa? Peramal? Nah ini apalagi! Kalau saya peramal tokcer dan penebak angka buntutan berdarah dingin, tentu saja saya sudah sukses di berbagai sekala perjudian hidup. Dan yang terpenting saya tidak harus menulis beraneka catatan tidak penting ini.

Lalu apa yang sebenarnya saya alami? Sekelumit cerita saya ini (semoga) bisa memberi Anda gambaran:

Duka si Sudrun

Di suatu hari yang nggateli, seorang kawan mampir ke kos dan membuat kebisingan di kuping saya dengan kutipan dari Mbah Tejo. ”Menikah itu nasib dan mencintai itu takdir. Kau bisa menikahi siapapun tapi tak bisa mentukan cintamu untuk siapa!” Ujar (sebut saja Sudrun) ini dengan gaya teatrikal. Sepertinya si Sudrun ini sedang tergila-gila dengan kata Mbah Tejo.

Karena Sudrun sudah memberi saya “jatah” cerita bahagia dengan kekasihnya, maka saya dengarkan ocehannya sembari mengantuk.   

”Pakde, di sekali hidup ini aku adalah manusia yang hampir beruntung. Aku mendapat perempuan yang bisa aku cintai. Setelah menikahninya, hidupku akan lengkap.” Katanya.

Saya hanya tertawa pendek mendengar kata-katanya. Saat itu, di sela rasa kantuk dan  kesadaran yang hampir 20 watt, saya lihat sebuah gambaran si Sudrun sesegukan menangisi kekasihnya. Dan seketika itu juga saya palingkan muka dan melihat ke lantai.

Rabu, 15 April 2020

Jatah Tangis dari Manusia Patah Hati


(Perihal Mendengarkan 3)

Cafe, bar & Resto di Megapolitan Kletek 

Pemabuk-pemabuk sinting itu belum pulang dari tubuh saya. Saya heran, batrai macam apa yang terpasang di punggung mereka hingga sudah hampir sepuluh hari ini mereka belum tidur.

Tapi kali ini mereka tidak begitu mengganggu saya. Mungkin itu sebabnya saya merasa hari ini cukup santuy, tenang, karena mereka tidak seberisik biasanya. Tema-tema masa silam dan cinta yang menyayat di luka yang basah itu membuat urat mereka kendor.

Sekumpulan pemabuk itu mungkin sedang berupaya saling menguatkan satu sama lain. Kalau biasanya mata mereka nampak semerah darah saat menggunjing soal Indonesia. Tapi, begitu tema obrolan mereka beralih ke soal cinta, mata mereka jadi sekelam malam.  Gelap! Segelap langit Jakarta; segelap nasib Indonesia.

Lalu apa yang bisa mengendurkan urat syaraf saya? Tentu saja ketragisan kisah cinta mereka.

Soal cinta, saya pun punya luka yang sama. Luka yang perih dan dalam sebagaimana yang mereka rasakan. Mungkin kami sama-sama tak berdaya: dipaksa pulang untuk mengunjungi salah satu petak kamar di sebalik hati saya; sebuah ruangan gelap berisi kenangan, sekaligus rasa sakit yang (brengseknya) beberapa menit sekali menusuk ulu hati saya.

Beberapa orang di antara mereka yang enggan ikut bercerita memutar lagu-lagu sedih. Mungkin ia hanya ingin bersimpati; menunjukkan rasa hormat. Dan sialnya lagi, lagu-lagu sedih itu seperti jeruk nipis yang diperas di atas luka kami.

Bedebah! Tapi, sudahlah.

Saya termasuk orang yang enggan menceritakan luka di kedalaman saya. Maka, saya hanya duduk, mencatat sembari menyaksikan mereka bertangis-tangisan.

Minggu, 12 April 2020

Kenangan Kuliah & Tanda Bedes Om Hujok Dodojaitan

(Perihal Mendengarkan 2)


Sudah sejak lama saya mempersilakan sekelompok pemabuk itu bertamu di tubuh saya. Membiarkan mereka berbuat apa saja seenak udel—adalah keputusan yang bulat. Bisik-bisik dalam batin saya berkata: ini adalah sebagian dari “tirakat”. Meski saya curiga dengan bisikan itu, maka saya pungkas semua dengan istighfar agar sabar.
Tapi, ya, kalau sempat ada rasa kesal yang merambat di sela batin lantaran ulah mereka itu hanya sebuah penanda bila saya ini masih manusia. Mahluk yang GR dan merasa mampu menyensor hal-hal yang perlu saya dengar dan yang tidak.
Perihal “mendengar”, saya yakin ini bukan tema baru. Segala yang berkaitan dengan mendengar telah dikupas tuntas di berbagai disiplin ilmu, terlebih filsafat, jauh sebelum saya lahir.
Di dalam filsafat sudah sering disebut: semua mahluk yang memiliki alat (indra) pendengaran dan tidak tuli pasti dapat mendengar.
Tapi lebih jauh dari itu, ada perbedaan mendasar di sini: “mendengar” dan “mendengarkan”, dua hal yang nampak sama namun berlainan. Dan setiap orang yang mendengar belum tentu mendengarkan.
Bagi saya, mendengarkan itu lebih dari proses alamiah ketika telinga (bagian tubuh manusia untuk mendengar) menerima getaran gelombang suara.
“Mendengarkan” adalah jalan panjang setelah seseorang mampu mendengar. Di dalam mendengarkan, ada proses mencerna, mengingat, berpikir (menganalisis), kemudian berlanjut pada respon.
Kalau si Heraclitos, filsuf sombong, itu mampu berkata, ”mendengar adalah sikap bijaksana untuk setuju-menyetujui,” mengapa saya—yang menganggap diri saya tak sombong—tak mampu mendengarkan dengan lebih baik darinya; lebih ekstrem.
Meski di sebalik hati saya yang lain, saya tak yakin-yakin banget kalau si Heraclitos benar-benar mampu untuk mendengarkan, tapi, ya, baik sangka sajalah.
Soal mendengar, kebetulan sekali, jelek-jelek begini saya adalah mantan mahasiswa komunikasi. Meski saya tak bangga untuk hal itu, yang jelas, saya yakin bila tema utama komunikasi adalah mendengarkan, bukan bicara.
Dan seingat saya, di lingkar universitas tempat saya dulu belajar, mendengarkan bukan jadi tema sentral. Bahkan, di momentum akhir sebelum saya benar-benar meninggalkan kampus itu, seorang dosen yang saya pikir sangat mampu mendengar, ternyata tak lebih dari pria rewel bertelinga ekslusif.
Saya tinggalkan kampus itu dengan tawa terkekeh yang panjang.

Rabu, 01 April 2020

Para Pemabuk dan Telepon dari Kawan Lama

(Perihal Mendengarkan)


Foto'e Bung Dalbo

Mereka bukan sekedar bertamu dan minta ditemani diskusi. Lebih jauh dari itu, mereka menjadikan tubuh saya sebagai tempat diskusi. Selama di tubuh saya, mereka bebas melakukan apa saja. Mereka bisa seenaknya memekikkan kata merdeka dan setelah itu buang ludah bacin dengan cara paling bengis di hidung saya. Sambil diskusi, mereka boleh buang air tepat di mata saya meski nantinya saya tak bisa melihat apapun kecuali kotoran. Saya pasrah! Entahlah, saya merasa terlalu cepat menjadi jompo di umur saya yang sebenarnya masih muda. Sesakit itukah rasanya mendengarkan?


Ada sesuatu yang tidak beres di dalam tubuh saya! Mungkin ini gara-gara tiga hari lalu tubuh saya didatangi sekumpulan pemuda bermata merah. Mereka ingin menumpang diskusi sambil mabok; membicarakan puluhan tema diskusi tentang persoalan yang aneh-aneh.
Terus terang, saya sedikit kurang suka dengan cara mereka berdiskusi. Mereka memperlakukan tubuh saya (tempat mereka berdiskusi) layaknya warung kopi di pinggiran jalan Pantura yang gaduh.
Beraneka chaos di dalam perdiskusian mereka membuat hidung saya terasa gatal. Padahal sebelum mereka datang, saya bisa bernapas lega. Jujur saja, keributan yang mereka ciptakan melahirkan berbagai ketidakseimbangan di tubuh saya.
Pernahkah Anda mengalami bersin tertahan? Ingin bersin, tapi tidak jadi. Sumpah, tidak enak sekali rasanya. Hal ini sering terjadi ketika diskusi para pemuda sontoloyo ini mulai menyentuh tema-tema nasionalisme, golput, pembisik (sebut saja) Jokowi dan Megawati yang mengantuk. Tapi mendadak saya akan bersin sejadi-jadinya ketika mereka mulai bicara soal penanggalan Jawa dan mengaitkannya dengan pengumuman sejumlah kebijakan Jokowi ke publik.
Entahlah, para pemuda ini datang dari dunia mana. Flu yang saya rasakan sekarang ini bukan seperti sakit flu pada umumnya.
Yang paling membuat saya pusing adalah ketika sekelompok sarjana muda sinting lagi pemabuk itu berorasi di atas rambut saya yang uwel-uwelan. Di atas kepala saya, mereka bicara keras-keras dan mengimbau rakyat Indonesia untuk senantiasa sadar dan berpikir jernih. Mereka berharap, kejernihan itu memudahkan rakyat mencerna-menganalisis berbagai gejala yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa-bernegara.
Dan berengseknya, usai orasi, mereka muntah-muntah karena terlalu mabuk.