Setiap akar –tanpa mata– akan setia menelusuri setiap gembur, batubatu, saling silang dengan akarakar yang lain. Hingga sampai di sebuah batas. Maka menarilah daundaun sampai tanggal menjemputnya. Seingatku, pohonpohon selalu menolak mendebat soal kehilangan. “Bukankah kita cuma setia pada waktu.” Ujar pohon di suatu sore menjelang pagi.
Di hari yang lain, saat aku merisaukan akarakar bisu dan segala perjalanan yang setia. Pohonpohon kembali bersenandung: akarku selalu setia di tahajudnya sendiri –menelusuri tanah genit berbatu.
Lalu aku mencoba mencari setiaku sendiri. Menelusuri sujud untuk mencari dimana wajahMu.
Jogjakarta, November 2011
Citra D. Vresti Trisna
3 komentar:
bo dalbo.
thanks gan artikelnya..
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.