Semacam Catatan:
“Ucapan Selamat”
Sewaktu di perpustakaan, aku kembali bertemu dengan Indah, kawan KKN dan berbincang-bincang sejenak sembari menunggu kawanku mencetak KRS. Sebentar lagi ia lulus. Mungkin tinggal skripsi. Aku bisa melihat optimisme di matanya. Seperti sebuah cahaya berpendaran dari korneanya yang selalu nampak letih. Ia juga menanyaiku seputaran basa-basi kuliah yang aku sendiri tak tau apa jawabnya; meskipun segalanya pasti ku selesaikan, meski aku tak tau kapan waktunya.
“Sukses, ya.” Tukasnya.
“Ya, sukses juga kau.” Kataku, basa-basi.
“Sukses” yang ku ucapkan dalam pengertiannya dan basa-basi pertemuan. Aih, sukses apa? Sukses dalam pengertian motivator itu kah? Atau ada penjelasan lain? Tak berjawab.
Andi (Sekjen PPMI) juga pernah berujar: sukses itu ketika kita bisa mendapatkan nafkah, dan makan dari apa yang kita senangi. Sewaktu di bungkul, di lapak yang menggelar rupa-rupa barang dan makanan, Andi menunjuk seorang punk yang menjual aksesoris untuk kelompok-kelompok mereka. Ia menganggap seorang punk itu telah sukses lantaran bisa menghidupi dirinya dari sesuatu yang ia senangi.
Sesuatu yang mungkin mendekati benar, menurutku. Tapi apa benar demikian? Aku tak tau. Aku masih belum mendapat hurufku sendiri tentang apa itu ‘sukses’. Dan yang jelas bukan dalam pengertian itu. Di luar itu, Andi bebas mengemukakan pendapatnya.
Aku ingat pertama kali aku menjejakkan kaki kampus ini. Mungkin mahasiswa semester akhir juga dapat menangkap pancaran mataku yang berpendar dengan optimisme masa depan: kuliah dengan benar, lulus tepat waktu dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam kewarasan, aku menertawai apa yang sempat kualami beberapa tahun lalu. Aku juga melihat Yuli, adik kelasku yang baru saja selesai sidang skripsi. Pancaran matanya juga mengisyaratkan harapan besar dan cita-cita tinggi dari apa yang baru saja ia lakukan.
Aku pikir Yuli tak cukup bodoh untuk paham benar apa yang baru saja dia jalani. Menelan segala taik kucing dan mitos-mitos tentang hidup yang indah, intelektualitas dan gelar kesarjanaan yang mengedarinya laiknya matahari palsu. Dadanya akan gembung dengan gelar-gelar yang secara tidak langsung telah menyeragamkan dirinya.
Banyak orang menganggapku gila dengan pikiranku. Banyak orang menganggapku sebagai orang yang tidak luwes dengan rumus hidup; bahwa seorang mesti kuliah dan mencari penghidupan layak sampai benar-benar gendut tak bisa apa-apa lantas meledak. Bagiku, sejak orang mengenal pendidikan dan mempercayainya: berarti ia siap menelan kotoran dan memuntahkannya kembali untuk menyembahnya sebagai tuhan baru dan mengalahkan pagan.
Dimana ada hidup yang lebih hidup? Hidup yang sesungguhnya: yang tidak palsu macam supermarket.
*
Di luar ada Sohib. Dia yang dulu mengospek aku dan sekarang harus menjadi adik kelasku di komunikasi. Seseorang yang mungkin nyaman dengan dunia perkuliahan. Sebab dari fakultas hukum yang tak diselesaikannya, ia pindah ke komunikasi. Sekarang ia sedang bicara dengan JR dan Qorib soal beasiswa S2. Aih, apa lagi itu. Letih aku mendengarnya.
“Andai kata ketidakberdayaan ‘membatasi hidup’, mengapa lantas menyerah dalam kubangan.”
Dalam hal ini, apa aku yang terlalu masokis? Sombong atas hidup orang lain dan merasa perlu menjadi hakim moral bagi orang lain yang ingin dibilang maju. Aku sering bilang: sawang sinawanglah dengan orang lain. Mengapa dalam hal ini aku tak bisa melakukkannya? Mestinya aku tutup telinga. Tapi rasa-rasanya begitu sulitnya. Di sini, aku seperti mendapat siksaan yang tak kunjung habisnya. Andai kata batinku serupa bom, mungkin ia sudah meledak. Dan aku ingin meledak di sini, melampiaskan segalanya pada sesuatu yang tepat. Tetapi aku tidak tau apa dan bagaimana. Brengket benar hidupku ini.
Februari, 2012
2 komentar:
Kunjungan persahabatan, selamat siang, ku rajut tali persahabatan semoga dapat diterima dengan lapang dada. Aku pun telah jadi follower blog ini, aku tunggu re-follownya
kunjungan ..
salam sukses .:)
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.