Kalau kau belum bisa menertawai
dirimu sendiri, berarti kau belum lewati fase “gila”, belum serius menjalani
hidup.
Hidup adalah soal memberi definisi pada apa yang terjadi. Memberi makna pada apa yang terhidang di meja makan nasib. Mungkin bagi orang-orang biasa macam saya, kesanggupan terakhir adalah untuk bisa terus tertawa, meskipun memaksa, dan mencoba tersenyum ala kadarnya. Sebab, kalau tersenyum adalah perkara menunggu arus hidup mereda, derita habis kikis, aku tak akan kenal apa itu tawa.
Hidup adalah urusan kita dewasa menghadapi persinggungan-persinggungan.
Menghadapi interaksi antar satu sama lain yang hampir mustahil dihindari. Sehingga
antara satu sama lain sudah pasti berhubungan. Misal dalam satu lift, kamu
kentut, dan bisa kupastikan membuat setiap orang yang berada dalam lift itu
menebarkan pandang yang saling curiga. Juga perkara senyum dan tertawa.
Setiap kali saya sedang sedih sendiri di warung kopi, dan setiap kali
saya melihat ada orang tertawa ngakak, saya selalu berpikir: apa mereka sedang
tak ada masalah sehingga bisa tertawa sebegitu overdosis? Siapa yang tau bila
ternyata mereka yang sedang tertawa itu baru saja ditinggal istrinya kawin
dengan orang lain? Siapa yang tau bila ia baru seminggu yang lalu ia ditinggal
bapak ibunya meninggal? Siapa yang tau bila lima menit yang lalu kucingnya baru
saja mati dilindas truk sampah?
Di waktu-waktu seperti itu aku jadi berpikir ulang: mengapa saya harus
sedih? Bukankah benturan dan sadisnya hidup tak akan berhenti untuk menggilas. Mungkin
benar apa yang dikatakan Andrea Hirata dalam tetraloginya: kalau kau bersedih, kau hanya akan sedih sendiri. Kesedihan akan selalu ada, tapi pastikan
kembali apa kita perlu meratap-ratap seakan-akan esok rumah-rumah gila bakal
ditutup. Seakan esok matahari tidak lagi terbit.
Pak Lek Bro, kowe hanya perlu sedikit saja tertawa. Bahan-bahanya bisa
dimulai dari apa yang ada di sekitarmu, sekitar kita. Misalnya tentang aku dan Dono
yang masih saja membusuk di kampus. Misalkan tentang Saipul yang tidak bisa
tidur kalau tidak menyelipkan tangannya ke selakangan. Atau tentang rambut bapaknya
Lisa yang rontok hingga membentuk lapangan golf di belakang kepalanya, namun
tetap bersikukuh bila dia itu gondrong, cool dan macho. Atau bahanya kau comot dari kehidupan
pribadimu, soal kau yang masa kecilnya pernah membuang anak kucing dalam sumur,
atau....
Kau hanya perlu memaafkan... Kau hanya perlu sadar “mengulang kesalahan
itu enak”, sehingga orang lain akan terus saja mudah menyalahi kita... Kau
hanya perlu ingat joget ngebor di karaoke kelas tukang becak di wonokromo itu
enak... Kau hanya perlu membenamkan gengsi dan berbahagia bersama para guru
kehidupan—mereka yang papa dan berserak di sepanjang malam.
Oya, ada yang kelewat. Si F, kawan kita SMA batal kawin dengan
tunangannya. Gak tau kenapa. Mungkin ini giliranmu mbribik...
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.