dari Kaskus |
Orang-orang
kampung memanggilnya Gopar atau Wak Gopar. Kadang orang-orang kampung yang
iseng memanggilnya dengan sebutan “Gopar melip
(melangit)”. Panggilan itu dia dapatkan karena kegemarannya bicara soal politik
dan persoalan-persoalan dan wacana-wacana terkini yang umumnya jarang orang
kampung tau. Ia juga kerap membahas banyak kasus-kasus besar, seperti
penembakan John F. Kennedy, bom Bali, peristiwa 9/11, dan banyak hal lainnya.
Gopar
melip biasa mangkal di warung kopi
dekat Pasar Sukodono, Sidoarjo. Kalau kalian bertemu dengan Gopar dan kebetulan
tidak benar-benar menganggur, sebaiknya jangan berbasa-basi dengannya atau ia
akan mendongengimu tentang isu-isu politik dari jaman ke jaman. Gopar adalah
tipe orang yang betah omong, apalagi dengan orang baru (baca: ketiban sial)
mendengarkannya sepenuh takzim. Gopar pernah nggedabrus (membual; omong kosong) ke anak muda dari pagi sampai
malam. Mas-mas warung yang bercerita pada saya bisa memastikan bila pemuda yang
jadi “korban” Gopar adalah mahasiswa.
Orang-orang
yang biasa ngopi di dekat Pasar paham betul dengan kebiasaan Gopar. Sehingga
mereka hanya bicara sekedarnya. Dan apabila omongan Gopar sudah merambah ke
hal-hal lain, mereka akan segera stop. Saya sendiri pernah jadi objek pemuas
hobi Gopar dalam bercerita. Awalnya saya tertarik dengan apa yang disampaikan
Gopar tentang konspirasi di balik serangan 9/11. Meski di sana-sini masih
banyak hal-hal yang salah atau tak masuk akal tapi tetap kubiarkan ia
mendongengiku.
Setelah
dua kali ngobrol panjang dengan Gopar melip,
aku baru menangkap bila semua hal yang keluar dari mulut Gopar adalah fobia
akut pada konspirasi-konspirasi dunia. Hal ini nampak dari apa yang kerap ia
katakan: sebuah peristiwa tidak pernah berdiri sendiri dan selalu ada maksud
jangka pendek dan jangka panjang. Meski ia tak paham apa itu konspirasi. Tapi
dia begitu yakin bila banyak hal buruk yang terjadi berantai dan mempengaruhi
stabilitas dunia tak lepas dari maksud jahat sekelompok orang yang menginginkan
dunia jadi lebih buruk.
Dari
caranya bercerita, nampak jelas bila ia sangat ketakutan apabila konspirasi itu
berhasil dan berjalan menimpa ia dan keluarganya, terutama keyakinannya soal
agama. Gopar yakin bila dengan bercerita pada banyak orang dapat meminimalisasi
dampak konspirasi dunia. Ia juga yakin bila ada kelompok tertentu ingin
menghancurkan Islam dengan berbagai cara.
Rasa
takut berlebih seseorang yang bermula dari keyakinan pada teori konspirasi
tidak hanya dialami Gopar. Banyak orang-orang yang bahkan memiliki segudang
titel akademis pun mengamini teori konspirasi hingga sampai taraf akut: merasa
terancam. Goenawan Mohammad memandang realitas percaya pada teori konspirasi
sebagai penderita paranoia laten. Tapi, saya pribadi kurang sependapat dengan
GM. Karena apa yang dikatakan GM dapat dikategorikan sebagai “kesombongan
kelas”. Meski saya tak memungkiri bila banyak orang terpelajar percaya pada
konspirasi. Namun, diantara mereka yang percaya, kita dapat menghitung dalam
angka pasti, terutama menyangkut kelas sosial mereka. Dan saya yakin bila orang
semacam Gopar melip itu sangat banyak
jumlahnya.
Bagi
saya, benar-salah teori konspirasi itu tidak penting. Yang paling penting buat
saya adalah akar masalah dari keyakinan pada konspirasi itu sendiri. Karena
kepercayaan pada konspirasi itu tidak sertamerta terjadi tanpa adanya sesuatu
yang prinsipil. Pertama dasar
keyakinan pada konspirasi selalu berangkat dari “rasa aman yang terkoyak”.
Karena sampai saat ini negara masih gagal memberikan rasa aman, terutama
keselamatan harta benda dan kejelasan penghidupan sehari-hari pada rakyat.
Sehingga paranoia di masyarakat kecil menjadi sesuatu yang logis.
Kedua, konspirasi hampir selalu berangkat dari “kepedulian
berlebih pada sesuatu”. Tapi, dalam hal ini, kepedulian berlebih seseorang pada
sesuatu—misalnya agama, keutuhan negara, dan sandang-pangan—ini bertepuk
sebelah tangan. Artinya, kepedulian pada sesuatu inilah yang menggerakkan
seseorang untuk berbuat sesuatu. Tapi, seketia mereka patah hati karena menemui
kenyataan di sekitarnya tidak memungkinkan untuk berbuat sesuatu. Alhasil,
mereka yang pada awalnya ingin melakukan sesuatu berubah menjadi penggerutu yang kawatir berlebih pada banyak hal. Ia juga
menjadi seseorang yang memandang dunia di sekitarnya bukan lagi tempat aman
karena dipenuhi oleh sesuatu yang jahat.
Terlepas
baik-buruk paranoia, kita tetap harus melihatnya sebagai sesuatu yang harus
diselesaikan atau paling tidak disikapi dengan lebih arif. Sebab, sampai kapan
pun dunia tetap akan menyajikan peristiwa-peristiwa besar. Begitu juga dengan
manusia di dalamnya yang tak akan pernah berhenti untuk menafsirkan dan
menghubung-hubungkan peristiwa besar tadi dengan masa depan, dengan kejahatan.
Saya sendiri sangat yakin bila hidup orang-orang
semacam Gopar melip itu tidak pernah
tenang. Sampai kapan pun dia akan terus menafsirkan dan menghubung-hubungkan
banyak hal. Dan memang tak enak menjadi seperti Gopar: hidup seperti dikejar
sesuatu yang kasat mata dan seakan-akan membunuh.
Yang sebenarnya harus dilakukan untuk menolong Gopar
adalah dengan sedikit demi sedikit mengurangi “polusi media” dalam hal:
sosialisasi kengerian demi ratting. Karena media memiliki andil besar dalam
mensosialisasikan kejadian yang tak lupa diiringi oleh narasi yang kerap
menyesatkan. Karena ada mahluk bernama Gopar yang dilahirkan kembali dari
limbah ini.
Dari sekian lama berbincang dengan Gopar, ada hal
yang terlewat untuk kutanyakan: dari mana ia dapat bahan untuk
cerita-ceritanya?
”Hehehe, aku dapat dari internet dan liat televisi,”
jawab Gopar, polos. Saat itu, aku langsung mengelus dada.
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.