Sambil menunggu subuh dan batrai hp saya
penuh, saya baca-baca status facebook
artikel yang mengulas teori pergerakan dan revolusi untuk meningkatkan
pemahaman saya akan persoalan terkini.
”Halo gahool?!?! Lagi mendadak goblok dan
sentimentil, ya?”
”Cuk, orang ini lagi.” Kawan lama yang
sekaligus jadi guru darurat; sekaligus ”keparat” pemeras rokok paling tengik se
Purabaya. Kali ini kedatangan kawan karib saya (yang sudah lama meninggal) agak
berbeda. Yang membuat saya terkesan adalah dandanannya sudah cukup mbois.
Rori mengenakan celana jeans belel ketat. Di
bagian lutut nampak begitu lusuh, rantas,
ngengat, seperti bekas dan dialihfungsikan untuk menggosok batu. Dia memakai
kaus agak longgar warna putih dengan gambar perempuan merokok bertuliskan: ”Saya
jablay, bang”. Yang paling bikin kepala saya cenut-cenut adalah sabuknya sekepal tinju yang biasa dipakai remaja
bodreksin tawuran di konser musik. Dan yang paling kekinian adalah kelima
jarinya penuh dengan akik beraneka warna, dari aneka batu.
”Ini?!”
kata Rori, sambil menunjukan akik di telunjuknya ke mata saya. ”Bacan! Sudah diisi
aneka mahluk gaib macam tuyul bokong
biru, genderuwo gayam, macan kunting, bedes belek, buluh perindu dan kelek buto oleh beberapa dukun di Mbangil. Sangat cespleng mengusir demit masa silam. Pelaris. Lancar jodho. Tolak miskin dan betah isin. Bisa
juga dipakai mendamaikan hati; menulikan kuping dari pro-kontra Jokowi itu mbalelo atau pahlawan yang tertunda,”
terangnya.
”Cuk!” Saya memprotes. Tapi, dia tidak peduli
dan tetap melanjutkan.
”Ini...?!?! Jamrud Menur!! Batu ini diambil
dari kencing orang gila yang mengkristal. Kalau lagi pusing, bisa diendus-endus
untuk meredakan stres. Bisa juga untuk mempercepat suksesnya manteg ajiaan mbudeg.”