Hari
ini saya mendapat pelajaran berharga soal ”bertanggungjawab pada pilihan”.
Salah
satu contoh bertanggungjawab pada pilihan adalah memilih istri. Ketika sudah
memilih pendamping hidup, hendaknya menerima baik-buruk suami atau istri kita
dengan lapang dada. Konteks bertanggungjawab pada pilihan juga bisa kita
temukan contohnya di wilayah yang lain, seperti memilih tempat belajar — berkomitmen untuk serius belajar apapun
yang terjadi. Bisa juga bertanggungjawab itu kita temukan dalam hal yang lebih
simpel: memilih ketua kelas,
ketua RT, memilih hansip idola, memilih artis terpopuler.
Tapi, bagaimana cara
bertanggungjawab pada presiden pilihan kita?
Apakah
bentuk tanggungjawab dalam pilihan presiden adalah dengan mendukung semua
kebijakan-kebijakan yang dibuat presiden? Atau jadi pembela paling radikal
ketika si presiden dihujat karena mengeluarkan kebijakan yang populis dan tidak
berorientasi pada kepentingan rakyat? Atau mungkin dengan memberikan kritik
pedas saat si presiden sedang kalap dan melupakan janji kampanye? Atau bahkan
yang lebih ekstrim dari itu: bunuh diri massal sebagai upaya penebusan dosa? Silahkan
pilih.
Soal
salah pilih presiden — tolong dicatat — saya
tidak pernah menaruh dendam kepada sekumpulan orang desa yang pada saat pilpres
kemarin ikut memilih. Saya tidak benci kepada para janda-janda tua korban
ancaman pak RT; korban serangan fajar. Karena sebagian besar dari mereka “tak
paham” dengan figur yang mereka pilih.
Hal
ini bisa dimaklumi karena hampir tak ada koran atau televisi yang serius
memberikan pendidikan politik dan memberikan gambaran mendalam terkait track record Prabowo dan Jokowi. Karena di
pilpres kali ini, beberapa media yang notabene (dianggap) netral juga ikut
ambil bagian dan terang-terangan diam-diam mendukung salah satu calon. Yang
paling mengerikan adalah semua orang seakan larut dalam pertunjukan kosmetik
massal.
Inilah
yang membuat saya memaklumi orang-orang desa sampai salah pilih dan mau-maunya
dipaksa ke TPS untuk menandatangani sendiri kontrak duka lima tahun mendatang. Kesibukan
di sawah membuat orang desa tidak mungkin punya banyak waktu mencari tahu siapa
sosok pantas memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Mereka tidak sempat
melihat debat calon, melihat pro-kontra pendukung masing-masing calon, dan
tidak mampu membuka-buka internet.
Tapi,
bagaimana dengan mereka yang diam-diam menyebut diri mereka intelektual muda,
analisator zaman, akademisi? Seperti apa tanggungjawab yang seharusnya mereka ambil
ketika salah pilih presiden?
Atau
memang salah pilih presiden adalah hal yang lumrah seperti halnya makan, minum,
tidur, ngeseks, dan buang air? Atau memang orang-orang terdidik itu diam-diam
juga tidak tahu bila mereka sebenarnya bukan salah pilih karena memang mereka
tidak memilih, tapi dipilihkan?
Apa
nalar (yang katanya kritis) itu gagal mencerna kesalahan dalam memaknai konsep
demokrasi? Mengapa mereka mendiamkan dan menerima mekanisme pemilihan hanya
berdasarkan partai-partai, KPU, dan rombongan taman kanak-kanak untuk
menentukan pantas atau tidaknya seseorang menjadi presiden?
Tiba-tiba
saya rindu untuk mengingat-ingat momentum pilpres 2014 kemarin. Saya ingin kembali
mengingat ketika rakyat sempat terbelah menjadi dua, seakan-akan orang yang
pantas hanya Jokowi dan Prabowo.
Saya
ingin kembali mengenang ketika dua tukang beca asal Pamekasan Madura berkelahi
lantaran saling ejek pilihan calon presiden pilihan mereka. Tapi, yang paling
membekas dalam ingatan saya adalah diam-diam label ada semacam perang label ”intelektual”,
”akademisi”, ”pilihan rasional” disematkan untuk pendukung Jokowi. Dan
sebaliknya label-label negatif diberikan kepada pendukung Prabowo.
Namun,
label-label ini terbukti cukup ampuh untuk menggerakkan akademisi muda,
intelektual-intelektual tua dan kaum progresif untuk meletakkan pilihan kepada
Jokowi. Sehingga, ketika ada pendukung Jokowi melihat pendukung Prabowo,
rasa-rasanya seperti melihat monyet tua bodoh yang tidak punya nalar kritis dan
membutkan mata pada ”dosa sejarah” Prabowo di masa orde baru. Meski saya
seratus persen yakin, tak satu pun dari mereka punya cukup bukti untuk menyebut
Prabowo bersalah dengan hanya berpegang pada tembung jarene.
Sebelum
anda marah dan berpikir bila saya adalah simpatisan Prabowo dan memilihnya di
pemilu kemarin. Tidak! Itu salah besar. Di pilpres kemarin saya memutuskan
untuk tidak memilih dan menghabiskan waktu kebas-kebus dan ngobrol ngalor-ngidul di warung.
*
Singkat
kata, beberapa bulan setelah Jokowi resmi menjadi Presiden, olok-olok dari
pihak Prabowo mulai berdatangan. Hal ini muncul setelah Jokowi mulai
mengeluarkan beberapa kebijakan yang tidak populis di mata rakyat (baik untuk
pendukung Jokowi atau Prabowo). Langkah politik Jokowi (dinilai) tidak
konsisten dengan yang dijanjikan kepada rakyat saat kampanye.
”Salam
gigit jari”.
Saat
itu, pendukung Prabowo adalah pihak yang paling sering melontarkan olok-olok ”salam
gigit jari” kepada pendukung Jokowi. Ada rasa dendam dan kejengkelan (gagal move on) yang telah membatu di kedalaman
mereka. Kebencian itu kemudian mengakar kuat di kedalaman seluruh pendukung
Prabowo, meski mereka lupa bila seandainya Prabowo menang, tidak ada jaminan
Indonesia jadi lebih baik. Yang paling menggelikan dari drama ”salam gigit
jari” ini adalah pendukung setia Jokowi mulai gamang dengan presiden idolanya. Ada
sebagian dari mereka yang menyesal, ikut-ikut memaki, dan bahkan menghilang
untuk menahan menutupi malu.
Alhasil,
Jokowi yang resah dengan keadaan ini mengeluarkan trobosan yang bisa dibilang
cukup ampuh meredakan situasi. Dia mulai mengkoarkan slogan ”salam tiga jari” agar
semua pihak —baik
dari pendukung Jokowi dan Prabowo untuk
mendukung mendukung pemerintahannya di semual lini. Trobosan ini diambil ketika
Jokowi dibikin pusing dengan kemenangan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR.
Kejadian
ini membuat saya insyaf bila perasaan tersudut kerap membuat seseorang jadi
rada stres. Kekalahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR membuat KIH tidak
dewasa. KIH lupa bila tuduhan ”tidak dewasa” pernah dialamatkan pada KMP ketika
menggungat hasil dari penghitungan KPU. Alhasil, gelombang kekecewaan dari
pendukung Jokowi mulai mencuat pelan-pelan.
Pelan
namun pasti, Jokowi mulai kehilangan kepercayaan pendukungnya semasa kampanye.
Namun, ada juga pendukung Jokowi yang masih setia dan memilih berbaik sangka
kepada kebijakan-kebijakan Jokowi dan meminta agar masyarakat memberi waktu Jokowi
bekerja dan membuktikan kalibernya sebagai presiden.
Tapi,
gelombang kekecewaan di kubu Jokowi tidak dapat dibendung lagi. Sebagian besar
dari mereka mulai mengkritik keras kebijakan Jokowi dan seolah melupakan evoria
yang mereka lakukan sebelum Jokowi menang. Tentunya, kritik mantan pendukung
setia ini dilabeli dengan berbagai dalih dan apologi murahan.
Ada
yang menganggap kritik pedas yang mereka alamatkan kepada Jokowi merupakan
tanggungjawab moral sebagai warga negara
yang baik untuk mengkritik, menyampaikan keluhan sejujur-jujurnya dan sebaik
mungkin kepada pemimpin dan orang yang mereka cintai.
Dari
sekian banyak apologi, ada salah satu apologi paling tengik yang pernah saya
dengar: kritik untuk bersikap adil.
Adil dengkulmu mlincet?
Bagi
seseorang yang sadar politik, sikap ”adil” dalam konteks kritik ke Jokowi
memang ada benarnya. Karena, hendaknya jangan karena benci, seseorang lantas
memaki tanpa alasan. Dan jangan karena suka, seseorang lantas mencari berbagai
dalih dan pembenaran.
Mungkin
”adil” bisa jadi benar apabila diletakkan pada konteks pilihan pacar, pilihan
ayam jago aduan, pilihan sahabat. Tapi, mungkin mereka lupa bila konsep ”adil”
akan menjadi ”tidak adil” ketika diletakkan dalam konteks kesalahan pilihan
pilpres atau sesuatu yang urgen bagi kemaslahatan kehidupan orang banyak.
Karena pihak yang merasakan dampak dari kemenangan Jokowi adalah orang banyak,
baik si pemilih Jokowi, si golput, dan pemilih Prabowo.
Persoalan
datang ke TPS untuk menentukan pilihan presiden bukan perkara satu-dua menit, tapi
lebih jauh dari itu. Dampak dari pilihan kita akan dirasakan secara kolektif
dan berkelanjutan lima tahun mendatang. Dan seandainya presiden pilihan kita ingkar
dan tidak amanah, hampir bisa dipastikan kesalahan tersebut menjadi investasi dosa
kolektif yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Maka,
bisakah kita menganggap diri kita telah ”adil” saat kita hanya sebatas
memberikan kritik pedas dan melupakan jutaan orang menanggung kesusahan dari
salah pilih presiden? Inikah bentuk tanggungjawab dari pilihan yang ada di
kepala para akademisi?
Hmmm tembelek kucing pol! Tai ngasu!
Konsep
”adil” bukanlah apologi yang bijak ketika kita tahu pilpres adalah ajang memilih
orang yang bakal nyunggi wakul kita
semua. Dan ketika Jokowi terbukti gembelengan dan menyengsarakan orang banyak,
bisakah dosa kita terhapus hanya dengan melontarkan kritik pedas? Terus terang
saya tidak tahu bagaimana ibumu mendidik?
Bisakah
kita menghapus tangis orang-orang lapar dan dirugikan karena kebijakan Jokowi
dengan kritik yang kita lontarkan (yang mungkin) untuk menutupi rasa malu atas
degilnya analisa akademik kita yang terbukti dangkal?
----------
Pilihan atas Jokowi itu pilihan
rasional. Membiarkan Prabowo terpilih adalah kedunguan analisa politik dan
track record calon dan membiarkan rezim kembali berkuasa. Oya, dimana
”label-label” durjana itu pergi? Aku kangen label-label itu. Fak!
----------
Siapa yang pantas dihukum?
Saya
tidak sepakat kalau yang harus dihukum atas kelalaian dan durjananya kebijakan
Jokowi yang tidak pro rakyat hanya si Jokowi. Saya pun tidak sepakat kalau yang
mendapatkan kritik pedas hanya dia saja. Maka, kalau ingin (sok) bijak
membawa-bawa ”adil” dengan mengkritik Jokowi, maka tidak seharusnya bersembunyi
di balik apologi yang moralis.
Bahkan,
seandainya pendukung Jokowi melakukan bunuh diri massal pun (mungkin) tak akan
mampu menghapus dosa kita bersama. Tapi, sudahlah. Semoga Tuhan masih memaafkan
kita.
Terus
terang aku jadi kasihan dengan pria kerempeng asal Solo itu. Kalau dulu, kita
tidak latah dan mengelu-elukan dia macam pahlawan, tentu dia tidak akan
sedemikian narsis dan yakin bisa membawa Indonesia jadi lebih baik. Mungkin
Jokowi akan sanggup ”berkata tidak” pada
tawaran mama kebo (yang waktu itu menghianati Prabowo). Dan dalam hal ”kepercayaan
diri” Jokowi sehingga mau maju dalam pilpres 2014 adalah dosa kolektif kita
semua, termasuk pendukung Prabowo dan saya sendiri yang Golput.
Kalau
sejak kecil kita dibiasakan menerima hukuman atas kesalahan: maka hukuman apa
yang pantas untuk dosa kolektif ini?
*
Kita tidak boleh menyebar kebencian
hanya karena ikut-ikutan orang lain!
Seandainya
hal ini benar, dalam konteks kesalahan memilih Jokowi, sebaiknya pernyataan itu
direvisi. Karena yang benar adalah ”jangan karena takut dianggap bukan
intelektual, maka kita takut untuk tidak memilih Jokowi dan sampai merasa perlu
memajang foto profile facebook kita bersanding dengan angka dua”. Atau mungkin
yang lebih mendasar lagi, ”jangan mengaku intelektual bila nalar kita masih
bisa diombang-ambing media massa”.
Ealah..
Su...
Citra D. Vresti
Trisna
Jakarta, 1 Juni
2015
1 komentar:
Hidup demokrasi!
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.