Perempuan itu
meremas tanganku usai memberiku tidur. Matanya nyalang seperti protes klakson Jakarta
menjelang magrib: cerewet tanpa penjelasan. Menghampiri sekali lagi dadanya
yang bantal. Kupeluk tubuhnya sampai ia berkata, ”apa kau ingin tidur dengan
mata terbuka?”
Selepas mandi,
tubuh perempuan itu mirip bokong pizza: licin, haram, panas, memabukkan dan
tiada. Aku pernah ke sana untuk mabuk dan minum-minum sampai larut. Sampai perempuan
kembali memberi tidur yang gemas.
Dia kerap membuatku
menyala di pukul tiga pagi. Saat aku melancong ke tengkuknya yang getas. Ada api
menjilat mengimbangi lidahku sampai pertarungan diakhiri sebotol minuman
bersoda.
Begitu manis
cintanya hingga berhari-hari tak kembali?
Tapi aku bersabar
menunggunya pulang. Saat ia mengentuk pintu kamar nanti
aku akan melompat
ke jantungnya. Menyaksikan urat sepi berdegub pelan-pelan; memompa rindu –
waktu – yang digugurkan tualang.
Di jantung
perempuan, aku melihat cinta diiris melintang seperti makanan cepat saji yang
ia pesan satu jam lalu.
Aku kerap
menyaksikan ia bersama kata, paragraf yang membelah-belah
rasa sakit. ”Kita
tak perlu sendirian, malam ini,” ujarku.
Tapi langkahnya
ke kamar mandi melenyapkan tubuh dan ingatan.
Kita sama-sama
saling melupakan saat aku dibakar kesibukan kantor-kantor aborsi dan ia
dilenyapkan tidur siang.
Kepergian
perempuan adalah kesetiaannya menyalakan lampu kamar, menjahit, dan memberiku
tidur seperti biasa. Ia juga mengangkat jemuran ketika hari hujan. Mengepel
genangan air dari genting yang bocor. Tapi, perempuan itu tidak lagi menyapaku.
Hanya sorot matanya sesekali menyisirku sembari mengolesi minyak zaitun.
Aku diam dalam
pangkuannya. Aku menyala diantara cintanya yang tak ada.
Di pahanya yang
bantal, tersimpan arsip tidur. Di tengkuknya yang gemas cintaku tumbuh. Di
tubuhnya yang perempuan, aku tidur lagi sebagai kekasih yang tak pernah ada;
yang tak pernah ia ingat sebagai cerita.
Jakarta, 2016
gambare dalbo |