Catatan: Puisi ini pernah dimuat di Koran Tempo edisi 18 Februari 2024. Linknya di sini
Tak pernah datang pada waktu yang salah
Jalan tirakatmu menunggu bau mati
Melancong ke langit
Lehermu yang telanjang menerima getar
Sirine kematian yang datang lebih cepat
Dari aroma bangkai menguar
Untuk kematian yang lindang kau berteriak
Memanggil asal mula segala sesuatu, lalu
Menukik jatuh dan terbang melintas tandus
/II/
Angin kering berembus ke tanah
Kerikil sepanas bara mengeringkan sisa hujan
Di sepanjang sungai. Sahara hanya meniup panas ke
sepetak siang yang kehausan
Bila seekor Azawakh kehausan, sakit lalu mati
Pertanda alaram musim muson berdering kencang
Dataran Sahel akan menyanyikan lagu kering
Dataran Sahel akan menyanyikan lagu mati
/III/
Setahuku kau tak pernah terlihat sedikit bersabar
Di hadapan daging merah laparmu terbit
Kau selalu bilang, “bangkai harus diantar
Ke tempat yang pantas dan semestinya.”
Sebuah ruangan yang bebas dari kalkulasi
Hitungan untung-rugi
Itulah mengapa kau terlihat asyik
Menelan setiap potongan daging Azawakh
Yang liat dan membaginya pada kerumun
Penerbangan-penerbangan lain
Yang sama-sama ingin menyempurnakan mati
/IV/
Apa seperti ini jalan cintamu?
Penerbangan Rüppell
Dari neraka tak bernama turun ke langit
Penerbangan Rüppell
Ke dahan-dahan rendah
Sampai pada kematian
Yang seharusnya
Telah paripurna penerbangan Rüppell
Ke arah daging berserat
Telah rampung upacara Rüppell
Mengabdikan diri di tiap mati
Bogor, 2024