“Aku tak ingin menjadi dinamit seperti Nietzche. Untuk apa? Terlalu mewah buatku. Sebab aku hanya ingin menjadi petasan. Orang-orang kecil, dengan jangkauan yang kecil hanya bisa mengagetkan, bukan meledakkan. Orang-orang kecil hanya bisa menakut-nakuti, bukan menteror. Maka jadi petasan saja. Sudah cukup. Lagipula siapa yang ingin ku terror? Petasan hanya mainan anak kecil, kalau untuk menakut-nakuti juga hanya anak kecil. Bukan orang dewasa. Kau tau? Orang dewasa sudah tidak lagi takut dengan petasan.” ujarnya dengan nada yang putus asa.
“Jadi maksudmu, hasil olah pikiran dan batinmu hanya sesuatu yang murahan?”
“Jangkreek. Siapa bilang?” Tukasnya, tak terima. “Aku. Siapa lagi.”
“Kalau mau menghitung, apa yang kuhasilkan dari olah pikir dan rasa, itu bukan barang murah. Mahal. Mahal sekali. Kalau orang mau sedikit berpikir dan punya prinsip, mereka akan tercekat. Mati perlahan karena tak bisa menerima segala perkataanku.”
“Mengapa bisa seperti itu?”
“Semua yang sudah ku hasilkan itu seperti seutas tali jemuran yang nampak remeh. Tapi kalau untuk sekedar mencekik leher dan menggantung leher, ku pikir lebih dari cukup. Semua yang ku hasilkan itu seperti sekarung racun. Dimana tiap sendok makannya, sanggup menghabisi nyawa orang sekampung. Namun tak ada yang berminat menenggak racunku sehingga aku harus menyimpannya sendiri. Tak baik menyimpan racun lama-lama dalam jumlah besar. Bisa mampus sendiri kita.”
“Boleh kutanya sesuatu?”
“Tentu. Apa?”
“Kalau apa yang kau katakan itu benar. Untuk apa kau bikin sesuatu yang hanya membunuh dirimu dan orang yang ada di sekitarmu. Dan lagi, apa yang bisa kau banggakan? Melihat orang-orang di sekitarmu mati?”
“Itu kemestian yang mesti mereka jalani. Kalau seseorang hidup dalam damai, maka ia akan hidup panjang. Damai. Tidak merokok, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Sebab seseorang mesti dibawa miris. Diajak melihat jurang hidup mereka sendiri. Ketakutan yang mendesir di dada mereka akan menjadi semacam cambuk dan petuah untuk ingat berpikir, mencari, dan bertualang. Dan jadilah dia hidup seperti sebagaimana mestinya manusia. Resah, gelisah, merokok, mencari warung, menyelinap ke kutang pelacur dan berhenti menjadi pecundang. Keresahan adalah jalan pulang untuk mencapai sebuah pertemuan dengan yang hakiki.”
“Pertemuan? Dengan siapa? Setan, maksudmu!”
“Terserah. Kita bebas untuk menemui apa yang ingin kita temui. Biasanya bentuknya immateri. Bukan materi.”
“Pentingnya?”
“Macam-macam. Tapi yang jelas, seseorang harus dibawa keluar rumah. Menjauhi damai. Menjauhi nilai, meleburnya menjadi seonggok sampah yang cepat saja kita lupakan. Sebab di perjalanan, ada nilai yang lebih prinsipil. Inilah yang dinamakan berkubang pada hidup. Keluar rumah. Berpergian. Kembali membangun rumah. Merobohkannya seolah-olah kita khidir. Kembali berjalan. Berkubang, dan seterusnya.
Sampai tua. Sampai mati.”
“Menurutmu, dengan seperti itu apa lantas kita ini akan menjadi manusia?”
“Belum tentu. Tapi paling tidak kita sudah ada di jurusan yang mendekati benar. Mendekati belajar. Dari sanalah kita akan bersinggungan dengan ‘sepi’ dengan kontemplasi, perenungan-perenungan sepanjang perjalanan.”
“Jadi menurutmu begitu? Oya, mengapa tadi kau bahas soal kutang? Pergi menemui ku-tang-pe-la-cur? Kau pasti sakit jiwa.”
“Bodoh. Kau yang sakit jiwa. Tau apa kau soal pelacur? Kau tak tahu apa-apa tapi sudah lantas kau memaki orang yang pergi ke kutang pelacur dengan sebutan sakit jiwa. Jangan sok tau! Kalau kita ingin tau lebih dalam, lalu memaki, menghardik, membakar mereka ditengah lapangan, atau merajamnya tanpa sempat minta ampun. Maka sebaiknya kau mesti menyambangi kutangnya. Membaca mantra-mantra yang ada di gundukan buah dadanya. Membaca dan melafalkan rajah di kemaluannya.”
“Mantra?”
“Ya, kau benar.”
“Apa?”
“Disana ada kisah-kisah hidup. Lontar-lontar dari dewa agung dan dewa kacang. Disebalik bulu rambutnya. Sibaklah. Tandatangan orang-orang yang kau anggap suci akan kau temui di sana. Mereka juga pernah bikin rumah dari sana. Prasasti dari sulutan abu rokok yang menjadi borok luka malam pengantin. Lihat. Lihatlah dari dekat sekali. Ada foto presidenmu, pemuka agamamu, orang tuamu yang kini hidup layak, dan ada satu pigura yang masih kosong. Fotomu bakal dipajang di sana. Tetenger, pangiling, bahwa kita musti belajar: untuk tidak sombong.”
“Sudahlah cak. Aku mau pulang. Sebab besok mesti sekolah.”
Diam.
“Rokoknya, cak. Bagi satu denganku.”
“Ambil saja.”
Kita berpisah. Pulang dalam diam. Dalam pikiran. “Apa betul aku mesti berkubang?”
Citra D. Vresti Trisna
9 komentar:
ehm, kalo saya jadi kembang api aja deh.. :))
tulisannya keren. kamu ada bakat. :)
iya tulisannya bagus.
kalo saya walaupun petasan mainan anak kecil tapi tetap aja ngak berani main
Posting yang menarik untuk dibaca.
Saya telah follow blog anda di Google Friend Connect (No:13). Tolong follow balik.
tulisannya baguuuus hoho jadi terinspirasi :D
sebuah tulisan reflektif melalui dialog yang cermat dan mendalam, bahkan tak jarang muncul hal2 yang bersifat filosofis. sebuah tulisan yang menarik dan mencerahkan, pakdhe.
SElamat datang, di blog saya.
All: te-ri-ma-ka-sih atas kunjungannya.
Pakde Dalbo
mercon ????.... ra ono korek.ane ra iso di sumet....
kecebong tengik lagi
Salam persahabatan, sebuah ilustrasi yang bagus dan cenderung lucu, bila ada sempat waktu silahkan main ke blog aku yang masih sangat-sangat baru. Terima kasih.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.