-Catatan
akhir tahun 2013
Apa yang
dipikirkan Tagore ketika ia menolak sejarah; penulisaan sejarah — segala
sesuatu yang berkaitan dengan representasi masa silam yang baginya hanya omong
kosong.
Saya pikir
Tagore tidak sedang demam ketika ia menafikkan sejarah. Karena sejarah selalu
punya masalah dengan proses represent
(menghadirkan kembali) — penggalan kisah-kisah dari penggalian manuskrip,
analisa, penafsiran dan spekulasi-spekulasi yang terburu-buru jadi keniscayaan.
Kalau dulu,
Tagore boleh kesal dengan sejarah yang menurutnya sebagai upaya representasi
yang gagal. Maka hari ini, upaya representasi jadi pekerjaan rumah yang tak
selesai bagi media.
Perdebatan
mengenai media dari berbagai paradigma — antara positifistik, yang menganggap
media sebagai upaya murni untuk menghadirkan fakta ke dalam tulisan sebagai
mana aslinya; media dalam paradigma konstruksionis, yang mengasumsikan media
sebagai upaya mengkonstruksi fakta berdasarkan kepentingan media — masih belum
selesai.
Tapi, bukan itu
yang ingin saya bicarakan. Karena setiap orang punya hurufnya sendiri dalam
menilai media. Terutama pada fungsinya yang digadang-gadang (masih) sebagai
pilar ke empat demokrasi.
Mungkin Tagore
boleh menolak sejarah, tapi kita tidak bisa menafikkan media sebagai salah satu
alat produksi sejarah yang primer. Media berkuasa atas pikiran dan kesadaran
yang diam-diam terkonstruksi sebagaimana kehendak media. Tapi, bisakah
konstruksi media pada pembaca bisa adil sebagaimana fakta yang coba dihadirkan
kembali oleh media? Ataukah kita selama ini sedang mempercayakan patung wajah
kita sendiri pada media; sang seniman pemahat? Kalau kita percaya, sejauh mana
ingatan media berhasil merekam wajah kemanusiaan kita.
Pada suatu malam
perayaan sumpah pemuda, seorang pembicara yang diundang kawan-kawan LPM Spirit
Mahasiswa pernah bertanya: apa yang muncul dalam benak kalian ketika saya
katakan sesuatu tentang Indonesia. Lalu para hadirin serempak menjawab
bersahut-sahutan: korupsi, kriminal, perkosaan, vandal, barbarisme dll.
Malam itu,
diam-diam dadaku bergemuruh. Eureka....! Inikah pesanan dari sang maestro
patung yang telah menggambar wajah kolektiva bangsa Indonesia? Kalau saya ingin
mengkampak wajah saya dalam cermin, mengapa diam-diam saya pun menjawab pertanyaan
pembicara sebagaimana peserta lain?!
Esoknya, saya
mencoba mendekati beberapa alumni yang telah berkecimpung di media umum. Saya
mengajukan beberapa pertanyaan serius tentang tanggung jawab sosial mereka dan
mengkalkulasi dampak media dan . Alasan yang saya terima pun sama: media butuh
hidup, iklan adalah nyawa, dll.
Sejak malam itu,
aku tak lagi menghakimi dan menanyakan sekumpulan remaja dengan yang mencoba
mencari jatidirinya lewat punk, narkotika
sampai pada pentas dangdut kamar remang.
Kalau generasi
sekarang mencoba menggambar wajah diri dengan berbagai rupa sajian-sajian yang
secara tidak sadar ditanamkan media. Lalu, 30 tahun lagi kita ini siapa?
Kalau Radar
Pancadana pada masa tahun 80-an menganggap orang yang harus bertanggung jawab pada
tragedi pembunuh jatidiri dan kemanusian adalah cendekiawan. Maka di penghujung
tahun 2013 ini, dia perlu merevisi pandangannya. Dan giliran saya yang jadi
ingin bertanya: dimana cendekiawan hari ini? Apakah proyek revolusi sejarah dan
jatidiri telah jadi nihil dengan racun dan bisa demokrasi?
Kita tidak perlu
marah dengan media. Kita hanya perlu kembali berpikir dengan sesuatu yang
membuat media jadi seperti sekarang. Sejak dulu, media adalah jamur yang tumbuh
subur. Hanya yang perlu kita pikirkan ia bisa tumbuh dari kayu apa? Bagaimana
iklimnya? Apa ia tumbuh di kotoran atau makanan basi. Atau kalau kita tidak
ingin berspekulasi dengan jamur apa yang akan tumbuh, kita hanya perlu mencari
formula baru pengganti jamur. Serta melupakan Tagore dan berpikir: apa yang
bisa menggantikan proyek besar sejarah Indonesia — tentu saja yang membuat kita
tidak kehilangan identitas.
Titik kulminasi era media
Kemelut jati
diri bangsa Indonesia produk seniman media memang tidak sebegitu mengerikan
sebagaimana pada masa propaganda Hitler di radio. Propaganda yang kemudian
dicatat dunia pendidikan sebagai hypodermic
needle theory. Pada masa Hitler, propaganda adalah alat untuk legalisasi
perang. Sedangkan kali ini, di era cerdas media, kita mendapati kegagalannya
dalam mereprensentasikan sejarah membuat kita tak ubahnya generasi mati rasa
yang terombang-ambing akibat dajal dari ide demokrasi.
Tapi apakah kita akan selamanya menjadi badut lucu
yang dikehendaki?
Sebuah kajian
menarik yang berangkat dari riset media oleh Krisna Institut menyebutkan, tahun
2019 – 2024 adalah masa-masa menarik yang penuh kejutan. Menurut mereka, titik
balik dan titik kulminasi media akan jatuh pada sekitaran tahun-tahun itu.
Sebuah petaka — (konflik horisontal) yang berdampak pada kredibilitas media,
membuat perubahan besar pada sistem dan cara-cara media menyapa manusia
Indonesia.
Kecerdasan
masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya. Dikehendaki punya perihnya sendiri
yang tersimpan dan terakumulasi dari tahun ke tahun. Dan itu semua akan meledak
pada saat isu tentang perut dan kemapanan telah bergulir. Pengulangan sejarah
terjadi: orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya akan menjadi
sejarah. Saat itu, media hanya mampu mengabarkan. Saat itu kebosanan mendapat
bahasa yang tepat untuk dijelaskan. Mungkin ketika masa itu tiba, kebutuhan
akan ikut bergeser — bukan lagi kebutuhan informasi, tetapi mengisi perutnya.
Dan sesekali mereka butuh informasi yang benar. Apakah informasi itu langsung
dari Tuhan; apakah informasi itu bernama wahyu — tak ada penjelasan, tak perlu
dijelaskan.
Surabaya,
30 Desember 2013
cdv_t
1 komentar:
yang seharusnya dirubah itu medianya, atau cara bermedianya? sedangkan jaman terus berkembang begitu juga teknologi permediaan.
semakin membingungkan saja.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.