Ngawulo |
Saya ini malu
kalau harus menggurui bos besar sastra. Tapi, rasa sayang saya pada big bos
melebihi cinta saya pada sastra; puisi; cerpen dan segala taik kucingnya.
Karena saya yakin cinta saya pada big bos akan membuat sastra yang ‘sastra’;
tidak palsu, seperti perkancutan sastra yang sering sampean bilang.
Saya ini ngawulo, patuh,
setia pada sodara, pada persahabatan saya dengan big bos. Apalagi saya hanya anak bawang yang selalu gagal untuk tulus
pada apa yang saya tulis dan tidak sesuci tujuan big bog di dunia sastra. Terlebih
lagi saya bukan pertapa dalam urusan sastra. Big bos sudah malang melintang di dunia sastra jauh ketika saya
masih getol main play station perang-perangan.
Jujur saja, saya ini masih bandit. Kalau meminjam istilah Si Tahu, saya
ini ‘pengusaha’ (semua-semua diusahakan), termasuk dalam menulis. Saya masih
terlalu dungu untuk menahan hasrat ngopi,
ngudut, dolan, yang mana semuanya itu butuh uang. Ini terang-terangan saja,
lho. Saya itu bisa saja menulis dengan hati datar sesuai keinginan koran agar
dapat duit. Dan setelah dapat uang, larinya ndak
ke sastra, ndak buat ongkos bikin
komunitas seperti yang big bos
lakukan.
Saya pernah dengar tentang Umbu, seorang begawan yang pernah jadi
presiden Malioboro. Dia adalah guru yang pernah membesarkan orang-orang wow sekarang. Katakanlah Linus Suryadi
dengan ‘pengakuan pariyem’, atau Cak Nun dengan sepak terjangnya di dunia
sastra dan kemanusiaan. Tapi, kalau saya boleh memberikan nilai pada Umbu dan big bos, saya akan memberi nilai 9 pada big bos dan 5 pada Umbu. Alasannya
simpel: lha, yang saya kenal big bos.
Yang sering nraktir kopi dan saya
miskinkan urusan rokok adalah big bos,
bukan Umbu. Mungkin, Umbu tidak akan sebegitu dekat dengan murid-muridnya
seperti big bos pada saya. Dan yang lebih
ekstrim, mungkin murid-murid Umbu tidak ada yang se bandit saya: yang berani
kurang ajar dan bicara sembarangan tanpa aturan pada gurunya. Tapi, justru di
situlah kelebihan big bos: mampu
menahan diri dengan barbarnya orang macam saya. Kurangnya rasa hormat saya
mungkin karena saya masih terlalu liar dan belum siap dengan segunung beban dan
tanggung jawab di dunia sastra seperti yang njenengan
alami. Saya ini masih belepotan dan belum kuat menahan budrek belum ngopi dan ngudut seharian dan segala sesuatu yang
fana. Sementara big bos telah
melampaui itu semua. Bahkan big bos
pun sangat tahan dihantam kritik, meski sekali waktu saya kerap menjumpai big bos merengut dan ngambek
karena kritik orang yang tak sekaliber big
bos.
Aduh, bos. Kejam nian dunia memperlakukan big bos sebagai seorang maestro. Kadang saya ndak tega dengan banyak keresahan big bos yang dihantam ngalor
ngidul soal karya big bos. Tapi
dengan berat hati saya katakan: begitulah cara dunia bekerja. Sekarang siapa
saja berhak memaki dan numpang tenar dengan cara barbar: memaki. Saya pikir
mereka tak tau berhadapan dengan siapa. Hidup mereka pasti tak dapat pencerahan
dan ilham dalam urusan sastra. Salah satunya ya saya ini.
Sekali waktu, big bos ini
perlu refresh sejenak biar tidak
terlalu kaku urat lehernya menyikapi orang-orang awam tukang kritik yang
keblinger dan tak tau diuntung. Sesekali
big bos perlu pergi ke mall
untuk membeli jeans, makan siang di restoran cina untuk beli fu yung hai dan minum Tras (air minum
berteknologi RO), serta pencuci mulutnya bandrek panas. Menjelang sore, big bos bisa mampir ke lapak buku bekas
dan mencari-cari stensilan dan membacanya di cafe pinggir pantai sembari
menikmati coklat panas. Menjelang malam, adalah yang paling ditunggu, yakni
karaokean. Big bos bisa menyewa purel
paling bahenol di karaokean. Dan semuanya saya yang urus, asalkan uangnya dari big bos. Ini semua tidak berlebihan.
Tuhan pasti tahu kelelahan big bos
ketika siang malam menjalani tanggung jawab moral untuk memperjuangkan dunia
sastra tanpa berharap imbalan apa-apa.
Semuanya tulus ikhlas. Soal materi, menurut saya, adalah soal nomor 357 bagi
begawan sastra sekaliber big bos. Jadi
Tuhan akan welas asih pada titik nadir kesanggupan big bos dalam mengarungi perjuangan di dunia sastra.
Setahu saya yang awam ini, di dunia sastra, jumlah kritikus itu lebih
banyak dari para penulisnya. Terusterang saya ndak setuju dengan istilah matinya
tukang kritik. Siapa yang bilang kita sedang minim kritikus sastra? Karena
‘kritik’ adalah kritik. Berkualitas atau tidak, kritik tetap kritik. Bahkan
kalau anjing rajin beli koran minggu dan baca rubrik sastranya, si anjing boleh
men-jancuk karya-karya yang dimuat,
terlepas berbobot atau tidak dasarnya. Asumsi bila kritik harus berangkat dari
orang yang punya kapasitas adalah sebentuk upaya meremehkan kualitas
kemanusiaan; tidak menghargai rasa-pirasa dari orang lain. Bukan berarti tukang
beca tak boleh men-jancuk karya
seorang penyair. Saya rasa penyempitan pengertian kritik inilah salah satu
faktor yang membuat memble dunia sastra hari ini. Dan setahu saya yang kemeruh ini, tugas penyair adalah terus
belajar, berkarya, dan berbenah diri. Merenunglah dan sesekali berbenah lalu
kembali menulis lagi. Memusingkan dan terlalu repot membuat alibi serta
serangan balasan pada orang yang mengkritik kita adalah perbuatan dekaden yang
merugi.
Bos, apa yang saya tulis di sini memang menjijikkan dan nampak begitu
menjilat. Tapi, ini adalah penebusan dosa saya atas segala tindakan barbar saya
sebagai murid; sebagai pemburu materi dari apa yang saya tulis. Terus terang
saya sangat terpukul dengan sms yang berisi kata-kata Afrizal soal penulis
puisi di koran akhir-akhir ini:
Ribuan puisi
antri di belakang meja redaksi media cetak untuk dimuat, bukan sebagai
penawaran kreatif, melainkan lebih sebagai ‘setoran karya’. Seakan-akan ada
ketakutan bahwa mainstrem akan melupakannya kalau dalam batas waktu tertentu
puisinya tidak dimuat di media massa cetak.
Tapi, jujur saja. Sms itu sangat menyinggung saya. Ironisnya, barbarnya
saya dalam dunia tulis menulis tiba-tiba membuat saya merasa tidak pantas untuk
marah. Sms itu benar adanya, dan saya sangat berterimakasih karena sms itu
menjadi aspirin untuk sakit kepala saya soal dunia sastra. Sepertinya, gairah
muda saya ingin terus berpacu melawan kanonisasi sastra mainstream yang hanya
didominasi penyair tua yang sudah bau kuburan. Sehingga karya yang saya kirim
(boleh jadi) semacam branding image
pada para redaktur yang juga tak ingin korannya tak laku. Tapi hal itu wajar,
karena umur saya tidak lebih tua dari kancut para penyair yang sudah karatan.
Sehingga para redaktur akan berpikir jutaan kali untuk memasukkan karya dari
penulis muda seperti saya.
Saya ini tidak pernah menaruh dendam pada big bos. Tapi, saya punya sedikit pertanyaan dengan Bang Afrizal:
apa dia berani mengungkapkan hal itu ketika dia masih belajar merangkak seperti
saya? Sementara saya masih kerap menemukan tulisannya di koran-koran. Itulah
kenapa, saya tidak marah dengan big bos.
Sebab, sejak awal big bos berani
angkat bendera perang terhadap penganut sastra koran dan lebih memilih untuk
membesarkan komunitas-komunitas.
Upaya membangun komunitas adalah sebentuk perang paling kongkrit melawan
sindrom eksistensi serta sastrawan tua yang sudah turun mesin. Komunitas akan
menjadi kawah candradimuka dalam membentuk iklim kreatif dimana di dalamnya ada
pembelajaran, pendampingan, serta diskusi. Dan yang paling penting adalah:
komunitas adalah wadah dimana KRITIK bisa mewarnai proses perjalanan sastrawan
muda. Tapi, saya pikir big bos ini
juga awet muda kok, sehingga layak untuk dihujani kritik agar semakin matang.
Bos, betapa taik kucing ya dunia sastra sekarang: berebut duit receh dan
ngantri seperti pengungsi. Dan perlu dicatat, bila saya juga termasuk para
pengungsi itu. Saya sadar, di mata bos, saya ini termasuk bandit karena
ikut-ikut mengantri duit receh. Tapi, lagi-lagi bos pasti kecewa karena tuhan
tidak hanya menciptakan para nabi, bromocorah juga. Pernahkah bos pikir bila
tanpa saya, kenabian bos tidak akan mengkilat seperti sekarang? Meski demikian,
saya tau bila bos tak butuh dinabikan dalam dunia sastra. Namun, kalau semua
kata-kata saya ini salah, mengapa bos kerap mengkhawatirkan hal-hal yang sudah
tidak lagi lux: orang mengantri dan menghamba pada koran.
Bos, setiap orang punya caranya sendiri dalam memperjuangkan apa yang
dia yakini. Terlepas orang yang terus mengirim tulisan ke media ibarat ‘mencuci
baju dengan air kencing’, tapi yang jelas dia telah melakukan sesuatu yang dia
anggap baik. Kalau bos sedang mencuci dengan air bersih, maka doakan kami agar
segera sadar dan mengikuti jalan lurus dari big
bos sang begawan agung.
Ada satu hal yang terus saya percaya, bos: jalan menuju kebaikan itu
menanjak, terjal, dan berliku. Mungkin penganut sastra mainstream sedang tersesat
mencari jalan pulang yang puisi; sastra yang ‘sastra’. Yang tidak palsu. Oleh karena
itu besar harapan saya pada sang begawan untuk sesegera mungkin membuat komunitas-komunitas
sastra agar jadi pelita dan penunjuk jalan bagi kami yang tersesat ini. Saya teramat
yakin bila hanya bos yang tau formula paling tepat untuk membuat sebuah
komunitas sastra yang tidak palsu. Dan sekedar saran, bos. Tolong fokus dengan
komunitas yang akan bos bangun. Dunia sastra menunggu pencerahan dari big bos. Semagaaaaaaat ya bosss :p
Bos, sodaraku yang rendah hati. Diantara
kita sebenarnya sama-sama mengerti mengapa kita tidak pernah bertemu. Tapi,
sejak dulu bos tidak pernah menjawab pertanyaan saya: apa ‘bertemunya’ kita itu
ketika saya sepemahaman dengan bos? Selalu mendukung dan ikut mencaci oknum
yang membuat panas kuping bos panas lantaran kritik orang yang tak kapabel? Apa
‘bertemunya’ ketika saya mengalah dan meladeni ego bos yang Subhanallah itu? Apa ‘bertemunya’ kita
hanya ketika saya tak bisa beli rokok? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika
menganggap musuh bos sebegai musuh bersama kami pula?
Bos, saya sedikit ingin membagi rahasia kecil tentang diri saya. Jujur,
bos adalah orang pertama yang membuat saya kembali percaya pada sastra. Maka maafkanlah
bila terkadang mulut saya terlampau bengis dengan karya dan sikap bos
sehari-hari. Ini semua hanya agar bos ingat cara menginjak bumi. Sedih rasanya
menyaksikan muka bos jadi kian merangsang saat anak-anak kecil memuji-muji
karya bos. Dan perih rasanya melihat muka bos jadi berang mendengar dalam
sebuah diskusi, karya bos dihakimi. Terusterang saya kawatir bila bos tidak terima kritik, hanya terima pujian.
Eman bos, kalau harus jatuh karena
barang sepele. Meskipun njenengan ini
begawan, tapi orang-orang sekarang sangat gampang dibunuh dengan pujian. Kuatir
saya ini, bos. Ada janji yang saya pengang teguh untuk terus mendampingimu,
bos.
Bos, yang rendah hati. Sekian dulu, catatan dari saya. Esok disambung
kembali, ya. Bagai mana kalau agenda ngopinya kita pindah di Mataram saja. Saya
ingin belajar rendah hati seperti bos J
Cdv_t
Kamar, 10
Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.