Lebaran hanya milik orang yang ‘berpuasa’
Puasa saya masih monumental di ramadhan saja,
Jadi, saya tak tau, punya hak atau tidak
untuk lebaran
Seperti menjelang lebaran sebelumnya. Menghabiskan waktu dengan Bang
Jul, orang yang sama-sama terbuang dari hidup. Sebenarnya ada satu peserta lagi
yang terlewat, yakni Mas Bejat, dukun lamongan penggila poker yang kebetulan
pulang dulu di Lamongan karena dibutuhkan anak-anaknnya. Sama-sama menertawai
kekalahan dan kepengecutan kita lari dari kenyataan. Mungkin kita juga
sama-sama korban dari kedunguan masa muda yang (boleh jadi) menolak kemapanan
karena heroisme masa muda: hidup di jalanan. Tapi, mungkin itulah yang membuat
hidup kita kini lebih sulit. Kalau kata Mas Bejat, melalaikan Spiritual Quotien. Woy, mas-mas bro, apa
Tuhan sedang bikin perhitungan dengan orang macam kita? Seperti kata mas dukun yang
terus saja terngiang, ketika aku sedang berharap uang jatuh dari langit: apa Tuhan
mengenalku?
Benar juga apa kata Mas Dukun. Dunia itu berbeda dengan sekolah, dimana
murid yang paling nakal adalah yang paling dihafal oleh guru. Tapi Tuhan bukan
guru. Meski di kedalamanku, aku yakin bila Tuhan mengenal satu persatu
hambanya. Jadi, mungkin bukan tidak dikenal, hanya ditinggalkan. Ah, tiba-tiba
aku kangen dengan Rori, berandal Jatinegara yang tersesat di Purabaya. Ia pernah
bilang padaku di suatu malam: segala kebanalan adalah dasar yang mesti dilewati
sebelum seseorang mengerti, mengenal hidup dengan baik sebelum akhirnya tiba
pada kesalehan. Kesalehan yang mutlak tak
pernah berangkat dari kebaikan murni. Ia harus melalui lembah hitam hidup,
karena hidup adalah urusan memahami: baik buruk. Entah dalil dari mana itu,
yang jelas aku merasa Tuhan punya sebuah cinta yang ganjil, menggelitik, untuk
orang yang penah bergelimang dosa.
Sebenarnya saya tak merasa hidup membuang saya, saya sendiri yang
mendefinisikan demikian. Tapi apa bedanya? Yang bisa dilakukan sekarang hanya saling
mendoakan bila kita yang sama-sama kalah judi nasib ini bisa kembali bertemu
pada lebaran mendatang dengan nasib yang lebih baik dari sekarang. Kalau saya
pribadi, bisa merasakan lebaran dengan kemenangan mutlak: kemenangan dari ‘belajar
menahan’ dan yang terpenting adalah belajar berkata ‘tidak’.
Tak enak rasanya hidup macam ini. Merasa terbuang dan tak bisa move on dengan kenyataan karena merasa
pernah meletakkan standar hidup. Ketika standar itu digilas, lalu kita
sama-sama bertanya: apa kita pantas untuk terus bertahan dengan berbagai dalih
dan apologi untuk menutup-nutupi kekalahan kita. Yang lebih sakit adalah ketika
satu-satunya keinginan untuk bertahan dengan keyakinan dan rasa sakit
kekalahan, ada orang yang menunggu kita melakukan sesuatu.
Lebaran. Lebaran, apa aku berhak atasmu. Berhak karena telah lolos dari
perkara klasik: menahan dan belajar berkata tidak. Sekarang, kalau
kupikir-pikir, berapa banyak aku meng-iya pada hidup. Segala yang dipinjamkan
dan diamanahkan pada saya ini semuanya ada karena kebodohanku menolak.
Siapa yang mau hidup menderita? Siapa yang tak mau dalam sekali
hidupnya bisa merasa memiliki apa yang disukainya? Tapi, itulah masalahnya sekarang.
Kapan aku bisa menang dan berlebaran bila puasa atas hidupku selalu gagal. Ah,
tak usah terlalu jauh berlebaran. Kapan aku bisa belajar dewasa bila kita tak
pernah belajar menerima hidup bersama segala sesuatu yang tak kita inginkan. Seperti
satu contoh kecil dalam hidupku: urusan tas. Dalam sejarah, saya selalu enggan
untuk memakai tas yang bukan dalam standar merk dan kualitas yang telah saya tentukan.
Satu contoh itu saja sudah menunjukkan betapa saya masih dungu dalam urusan
sepele dan terbelenggu dengan segala hiperealitas di keduniawian. Apalagi urusan
agama? Duh, Gusti....
Hidup dalam pseudo itu tak enak secara batin. Berkecukupan dan puas tak
berarti bahagia. Cuma merasa kosong dan gagal sebagai manusia yang ‘waras’. Ah,
tiba-tiba aku malu untuk berdoa. Merasa sangat sungkan dengan Tuhan adalah
wajar bila penyakit dunguku ini belum sembuh benar. Sudah tau Tuhan itu tak
bisa dibohongi, tapi masih saja membohongi.
Tunjukkan aku jalan yang lurus.
Sudah jutaan kali Tuhan menunjukkan jalan itu padaku, dan jutaan kali
pula aku berbelok. Untung saja Tuhan juga menahan diri. Kalau dia tidak puasa,
mungkin aku sudah ditinjunya. Apa jadinya seumpama Tuhan berlebaran dan tak
lagi berpuasa?
Saya pun sudah berulang kali sadar bila apa yang begitu kuhendaki boleh
jadi akan membawa akibat buruk padaku. Tapi demi nafsu dan keinginan-keinginan
sesaat, kuterobos juga. Saya tau Kau akan bikin perhitungan denganku. Dan saya
pun tau bila Kau memahami bila aku ini masih manusia. Duh Gusti, saya ndak pantes di surgamu, tapi ya mbok nanti jangan lama-lama
menghukum saya di neraka. Peace, ya, Gusti. Ampuuun.
Saya ini mengerti kalau Kamis besok saya tidak pantas berlebaran. Meski
berlebaran itu dalam ruang batin, tapi, ya, sakit rasanya kalau harus kesepian.
Meminjam istilah Mas Bejat, saya ndak
keberatan kalau harus di benci di dunia. Tapi, saya ndak betah kesepian tanpaMu. Kalau bisa, ya mbok Njenengan ini tetap
mengenal saya dalam sekali hidup. Tak banyak yang bisa memahami kelemahan
kemanusiaan saya selain Kau. Jadi jangan tinggalkan saya, ya, please. Saya mengerti kok, lebaran besok
bukan buat saya.
Duh, Gusti, kalau gelapnya hidup
dan batin kita kali ini adalah hukuman dari Njenengan.
Kita tetap berterimakasih, kok. Sebab, dengan begitu kita tau, Kau masih
menghafal nama kami bertiga. Masih memaafkan karena hanya menghukum kami di dunia
saja, karena kami tidak akan bisa bertahan sampai satu ronde di akhirat sana.
Saya tiba-tiba mikir jadi mikir begini: semoga Islam adalah alamat
untuk menuju (sebut saja surga-Mu). Seperti apa yang disampaikan Mas Dukun,
orang Lamongan sudah di nash untuk
masuk sorga. Dan semoga itu benar, tapi kalau benar ya jangan cuma lamongan. Sidoarjo
juga lah. Di sana banyak doa orang-orang yang dianiaya Bakri keparat. Semoga kami
kecipratan berkah kesabaran mereka, dan untuk Bakri, tolong dia itu yang lama,
ya. Sebab, kami yakin kita tidak akan menang berduel di dunia. Dia adalah
bajingan kekar yang rajin fitnes.
Lebaran, seperti apa wajahmu?
Apakah anugrah kemenangan itu lebih nikmat ketimbang menang togel? Atau lebih
bergairah dari berjoget ndangdut bersama
biduan di orkes-orkes? Tapi, aku tak pernah menyangsikan apa yang Kau janjikan.
Dan sebelum Kau mengijinkan kami berlebaran tahun depan, boleh lah kau Kau
restui Bang Jul dengan kekasihnya menikah tahun depan. Juga aku, agar bisa
mendapat pekerjaan tetap sesuai setandar calon meretua. Dan untuk Mas Dukun,
saya ndak tau apa yang ia harapkan,
tapi bila itu baik, tolong dikabulkan. Saya tau Kau kenal dengan saya yang dulu
sering mbandit di terminal.
me |
4 Juli 2013
1 komentar:
Citra kenapa kau pernah berkata tobat menulis sajak, Metafora dan diksi dalam struktur bagaimana bait-bait menjadi kalimat yang istimewa mengintrepetasikan bahwa kamu menulis sajak, itulah yang mencirikan kamu seorang penulis bukan hanya sekedar meletakkan fungsi puitik. Tapi seorang pebaca dipaksa untuk berfikir.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.