Perlahan aku mengenali bangku-bangku kosong yang mulai ditinggalkan
setelah lampu padam. Satpam berjalan sesekali menelusuri lorong-lorong gelap
dan memastikan tak ada yang kemalingan. Sebenarnya aku merasa kasihan dengannya.
Mungkin dia berjalan mondar-mandir bukan sekedar pekerjaannya sebagai seorang
penjaga, tapi hidupnya sudah banyak dimalingi oleh sesuatu yang tak ia
mengerti. Mungkin ia hanya tau apa itu berkeliling untuk memastikan ia tidak kemalingan
untuk yang kedua kalinya.
Kemudian, perlahan namun pasti, aku mencoba mengenali diriku. Tapi,
kosong! Tak satu pun jawaban bisa kudapatkan. Segalanya gelap seperti
lorong-lorong dengan bangku kosong yang ditinggalkan. Sepertinya aku baru kali
ini mencoba mengenali diriku dengan serius. Dan baru kali ini pula aku
menemukan kekosongan yang gigil dengan kesunyian yang suwung. Meski, aku merasa
seperti ada suara langkah kaki yang mengawasiku; suara batuk di dalam ruangan;
suara burung terdengar seperti leher yang tercekik. Siapa sebenarnya diriku?
Sebentar! Kali ini kurasakan suasana menjadi sedikit berubah. Binatang malam
menyanyi seperti sedang merayakan sesuatu. Apa itu: ‘tarian kosmos’, katanya. Lalu
sekelompok pemuda yang berarak-arakan sambil mengumpat mengamini. Juga suara orang
menstarter mobil lalu pegi dari kegelapan yang membuatku hampir bunuh diri. Mungkin
mereka ketakutan. Dan sekarang yang tersisa hanya rasa iri dan keinginan untuk
kehangatan gelap melayang di atap. Oya, aku hampir lupa. Aku ingin mengenali
diriku sedikit saja sebelum aku jadi serakah ketika pagi tiba. Menjadi sama
dengan yang lain untuk tergesa-gesa seperti dikejar kenyataan hidup dengan
parangnya yang tajam.
Sekarang satpam itu kembali lagi modar-mandir. Meski ia cuma bayangan,
kehadirannya memberikan kengerian yang sangat. Tiba-tiba ia nampak seperti
sesuatu yang sungil. Ia bicara pendek-pendek seperti arwah yang mati lantaran
kesal dimalingi. “Mengapa kau masih di sini? Apa kau juga kemalingan seperti
aku dan ingin menemaniku berjaga-jaga agar tak kemalingan untuk kedua kalinya? Apa
orang miskin sepertiku tidak bisa membunuh lebih sadis bila perut lapar
keluargaku memekakkan telingaku? Apa Tuhan maha pengampun?” Tapi sayangnya, tak
satu pun dari pertannyaanya mampu kujawab dengan baik. Jemariku terus menari di
atas keyboard dan pura-pura tak peduli dengan pertanyaannya.
Mungkin rasa kesalnya menjadi-jadi ketika merasa tak puas dengan diamku
hingga kali ini pertannyaannya semakin tegas: ‘cuk! Siapa kau sebenarnya?
Segawon dari dunia mana kau ini?’ Bulatan kelereng di matanya berkilat-kilat
mencari mataku. ‘Apa kau tersesat anak muda?’ Kejar bayangan satpam itu.
Mungkin bayangan satpam itu mengerti apa yang sedang kupikirkan. Kesunyian
adalah sesuatu yang sangat sadis dan bisa membunuhmu kapan pun. Dan keadaan
semacam inilah yang kubenci. Gugatan pikiran ini membuatku teringat pada kawan
susahku yang sekarang mungkin jauh lelap karena mabuk ketiak kekasihnya usai
pergumulan hebat. Mungkin pergumulan adalah penawar yang mujarab untuk insomnia
plus plus. Plus pikiran dan gelapnya keinginan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari insomnia. Mungkin juga keadaan seperti ini adalah salah satu
himpitan yang membuat seseorang memerlukan menikah. Merasakan bebauan wingit
seorang teman tidur: istri, suami.
‘Anak muda, aku ini telah menikah! Mengapa kau tak mendiskusikannya
denganku perihal kesimpulanmu mengenai kebutuhan berumah tangga?’ Tanya
bayangan satpam. Tapi, aku kembali merasa tak tega bertanya balik padanya:
bagaimana mungkin kau selamat dari bahaya laten materialisme meretua. Namun,
sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, ia sudah memotong pembicaraan.
‘Mungkin karena aku tak sekolah hingga membuat beban hidup serta
tuntutan status pasca di dunia dan kecintaan orang tua justru membunuh kisa
sebagai manusia.’
Kai ini tak seorang satpam pun menemaniku. Kabarnya ia akan pergi jauh.
Kini giliran pemungut gelas-gelas plastik air mineral menjadi teman kala
suwung. Ia juga nyeltuk dan menyarankan untuk menikah saja. Terus terang kata
itu sedikit mengiburku. Namun aku tetap menunggu jawaban mengenai maksud
kata-katanya. Dan benar saja. Di akhir kata-katanya ia juga berujar padaku:
siapa dirimu? Kalau kau masih bodoh lantaran tak mengerti ‘siapa dirimu, maka
simpan sayapmu untuk angan-angan yang sebenarnya tak perlu di tunggu.
Satu lagi! Setidaknya ia tidak sebegitu mengganggu seperti bayangan pak
satpam diantara gelapap.
cdvt
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.