Sekarang aku sedang
berada di MIPA Corner UB. Tempat ini membuatku ingat kantin sekolah semasa SMA dulu.
Meski pengunjung dan kelas sosialnya berbeda, yang jelas tempat ini tetaplah
tempat istirahat dan tempat menikmati makan atau jajanan. Mungkin yang membedakan dengan
kantin sekolahku dulu adalah waktu-waktu yang di pakai untuk ke kantin. Dulu,
sewaktu sekolah, hanya jam-jam tertentu saja kita boleh ke sana. Selebihnya
adalah jeweran guru dan ancaman ruang BK yang menjadi momok siswa sekolah untuk dipaksa
mengakui perbuatan dosa. Berbeda dengan di sini. Tempat ini, meski namanya
sudah berbeda, selalu ramai dengan banyak mahasiswa yang datang dan pergi untuk
bisa menikmati sarapan, menunggu jam kuliah selanjutnya, atau mungkin sekedar
membicarakan mobil baru kekasih.
Sepertinya
sewaktu masih di kantin sekolah, jam-jam istirahat begitu berarti. Waktu
istirahat yang singkat membuatku tidak menyia-nyiakan waktu untuk bicara
hal-hal yang tak penting. Menikmati santapan hidangan murah tak bergizi dengan
khusuk. Tak ada perbincangan soal mobil kekasih, soal skripsi, soal upaya
menjilat dosen demi nilai atau segala berhala modern. Tapi, entah mengapa aku justru lebih menikmati
masa-masa sekolah dulu. Di sini, aku hanya mendapati tumpukan basa-basi
menyenangkan. Hal-hal semacam ini adalah hal menggelikan yang disadari, dan
sekarang pun aku menjadi bagian dari basa-basi masal karena kebetulan aku juga
sedang membunuh waktu.
Di tempat ini,
aku pun masih mengenali watak-watak dan obrolan yang menjadi kenanganku semasa
kuliah. Jenis-jenis orang dan tipe organisasi yang sudah umum digeluti. Dan sekarang
ini aku berada di lingkungan anak-anak PMII yang membicarakan soal gerakan dan
kemapanan secara bersamaan. Jancuk sekali memang. Tapi, memang orang-orang
semacam inilah yang memenuhi kampus-kampus. Meminjam istilah Rori, obrolan
orang-orang pergerakan macam ini adalah dagelan logis yang asik. Basa-basi yang
membuat setiap orang kehilangan dirinya untuk beberapa saat dan menikmati
nikmatnya menjadi orang lain; menjadi modern dalam pengertian yang dangkal.
Tiba-tiba aku
teringat cerita Defy dan Intan sewaktu ngopi di Artrock Malang. Mereka
berdua mendongengiku bila di Artrock sana tak boleh ada
perbincangan-perbincangan gerakan mahasiswa semacam PMII, HMI, GMNI, dan
sejenisnya. Kalau tidak ingin diusir, sebaiknya tidak rapat organisasi atau
membicarakan gerakan di sana. Tapi, anehnya orang-orang di Artrock tidak
mengusir rapat-rapat kawan-kawan PPMI. Karena PPMI itu orang pers, katanya. Ada
apa dengan pers? Ada apa dengan PMII, HMI? Setahuku, tiap orang yang ke sana
sama-sama membayar. Tidak ngutang.
Apa pemilik Artrock adalah orang yang ‘letih’ macam aku sekarang?
Kalau apa yang
dikatakan Defy dan Intan semalam itu benar, aku jadi ingin menanyakan langsung
pada pemilik Artrock yang menurutku cukup unik. Kebaraniannya menolak pelanggan
adalah sebentuk kelelahan puncak dari segala kembang kertas yang tengik. Aku
membayangkan obrolan-obrolan orang PMII dkk membuat nasi dalam piring berubah
menjadi tahi sapi. Merubah kopi dalam gelas jadi kencing kuda.
Sebenarnya,
setelah bekerja dan punya modal nanti, aku juga ingin membuka warung kopi. Ada
yang untuk kalangan menengah ke bawah, ada juga yang untuk mahasiswa. Tapi,
beranikah aku seperti pemilik warung Artrock yang menolak obrolan-obrolan tahi
sapi dan kencing kuda? Beranikah aku menolak uang? Atau mungkin boleh juga
sekiranya aku membuat sebuah rumah makan, mungkin kantin di kampus-kampus yang
hanya menerima orang datang di jam-jam tertentu saja dan melarang ada
obrolan-obrolan sombong dunia modern. Kupikir itu menarik juga.
Kerinduan akan
kantin dan warung kopi yang penuh kebersahajaan memenuhi pikiranku. Sepertinya
menarik untuk kembali pada masa silam dan mencari kebersahajaan pada waktu,
tempat, dan orang yang tepat. Bisakah aku menerima orang-orang seperti yang ada
di hadapanku sekarang: membicarakan uang proyek apartemen dengan keuntungan
besar dikantongnya tapi masih memerlukan diri ngutis rokoknya. Mungkin
pemilik Artrock Malang ada benarnya. Bukankah ini adalah tahi sapi serta
kencing kuda paling nyata? Dan tiba-tiba pikiran burukku muncul: ingin rasanya
aku membelikan sebatang rokok eceran dan memberikan padanya seraya berkata:
‘mas, ini rokok. Bisakah kau berhenti jadi tahi sapi dan kencing kuda? Aku muak
melihatmu. Setelah merokok, sebaiknya kau jadi lebih bermanfaat kalau kau jadi
pupuk para petani di desa.’ Ah, betapa menyenangkannya. Ya, keinginanku untuk
bikin warung kopi dan sebuah kantin di universitas jadi semakin besar sekarang. Meski aku tak tahu apa aku berani mengusir orang-orang yang hanya membuat
piring dan gelas berisi kotoran belaka.
Cdvt
Malang, 16 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.