Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang
tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar, terimalah dan
hadapilah
— Gie
Kepada seorang kawan yang sepi, tersenyumlah
sebelum kau lewati semak bermiang hidup. Mungkin, tak ada cara lain kecuali
menghadapi apa saja yang ada di depan dengan berani; tanpa perlu menyesali yang
telah lewat.
Kau tau, kawan, siapa yang tak pernah terperosok
di kubangan dalam sekali hidup? Siapa yang bisa lolos untuk mendapat predikat ”bandit”
di satu putaran hidup? Termasuk kau, mungkin.
Meski sudah cukup lama kita tak bersua. Dan sekali
ini, ketika kau hanya melihat jalan buntu; tidak! Aku tak akan menghiburmu
dengan kata ”sabar” yang klise. Aku bukan seorang barbar yang berambisi
membuatmu jadi baik-buruk—dimana kedua jalan itu adalah murni hakmu sebagai
seorang manusia yang berkehendak.
Tapi, ketika kau mengatakan bila tak perlu tanggung
untuk jadi manusia: benar-benar jadi baik atau total menjadi orang bejat. Kau
tau, aku hanya bisa tersenyum. Hey, apa kau sedang panik?
Mungkin di matamu sedang tak ada kemungkinan
lain untuk arah yang ingin kau tuju. Atau kehilangan sesuatu yang prinsipil membuat
jalanmu seakan dipenuhi kabut? Ya, kawan. Lagi-lagi denganmu, aku hanya punya
sebuah ”mungkin” untuk menerka apa yang ada di pikiranmu.
Aku dengar kau sedang menggilai perjalanan. Sesuatu
yang nampaknya begitu menerbitkan gairahmu untuk mengemas ransel dan keluar dari
rutinitas. Aku membayangkan ada senyum dan sebuah malam dimana kau tak bisa
memejamkan mata menanti berkumpul bersama kawan untuk memulai perjalanan. Aku juga
membayangkan bagaimana kau bangun pagi-pagi sambil kembali mengingat barang-barang
yang mungkin terlewat.
Tapi, yang juga ada dalam pikiranku adalah: apa
kau juga bersalaman dan berjanji dengan semua masalah dan bebanmu di rumah-tempat
kuliah-tempat kerja, untuk kembali padanya dan menyelesaikan semuanya di lain
waktu?
Kalau itu benar adanya, boleh aku bertanya
sesuatu: sampai kapan kau lari dari itu semua?
Dulu, aku sempat berpikir bahwa semua yang
ada di luar terlampau indah untuk dilewatkan. Kau tau, melewatkan hijau hutan dan
terjalnya batu-batu gunung adalah hal yang sangat sayang untuk dilewatkan. Kembali
ke rumah di tengah menikmati matahari terbit di hamparan pasir pantai selalu
menerbitkan rasa jengah dan kesal. Dan tak ada yang lebih indah dari
bercengkrama dengan orang-orang di gardu atau di warung kopi di sebuah kota yang
tak pernah kita singgahi sebelumnya.
Percayalah, selalu ada riak-riak kebahagiaan
ketika kau tersesat dan rasa lapar mulai menyerang malam-malam. Atau ketika
berurusan dengan orang-orang ingin mencari sesuap nasi dengan cara setengah
mati berkelahi denganmu untuk merebut tas ransel di punggungmu. Semuanya terlalu
indah dilewatkan ketimbang menghabiskan waktu di kamar dan membaca
diktat-diktat kuliah.
Kalau segala kebosanan dan himpitan masalah
di duniamu sekarang melatarbelakangi perjalananmu, aku senang kau seperti itu. Tapi,
ketakutan dan kebingungan dengan apa yang (belum) kau terima sebagai akibat menghadapi
beban hidup itu tidak baik. Aku ingat kata-kata Laird Hamilton—peseluncur dari
Amerika.
”Aku tak ingin mati hanya karena takut dengan
apa yang akan terjadi.”
Meski tak ada yang tau seberat apa masalahmu.
Yang jelas, kau yang paling tau bagaimana harus menghadapinya. Meski aku tak
berhak menasihatimu, tapi, sebagai teman, aku telah katakan di awal: siapa yang
tak pernah mendapati jalan buntu pada hidupnya.
Tak ada kesatria yang lahir tanpa peperangan,
bukan?
Dan untuk eskapismemu dari banyak kebuntuan,
kau harus tau, kawan: perjalanan dan petualangan itu sangat mulia bila kita
lalui sebagai manusia, bukan sebagai turis yang melancong untuk berfoto-foto.
Sebagaimana yang dikatakan Santo Agustinus,
salah seorang filusuf: Dunia adalah sebuah buku dan mereka yang tidak
bertualang hanya membaca satu halaman saja.
Seandainya yang dikatakan Santo Agustinus
benar, betapa pedihnya hidup ketika kita hanya membaca selembar dari ratusan
halaman di dalamnya. Betapa kita tak pernah melihat sebenar-benarnya hidup
ketika hanya di rumah saja. Tapi, ketika perjalanan yang kita lalui adalah
karena murni pelarian, lalu apa yang menarik? Belum selesai membaca selembar,
kita membuka-buka lembar lain dengan mata terpejam.
Apa menariknya melakukan perjalanan dengan mata
terpejam; tak melihat apapun—sesuatu yang sebenarnya terlalu prinsipil dan
bahkan penting untuk kita lihat.
Bukankah kita teramat sering merasa telah
melampaui sesuatu padahal kita masih berada di dasar. Ketidakmungkinan dan
potensi kekalahan seorang manusia membuat kita merasa telah melakukan hal besar
hanya dengan naik gunung, berfoto, dan merasa gagah.
Hanya sekedar melancong dan foto tanpa banyak
mengamati dan mempelajari lembar-lembar lain yang sedang kita balik adalah ”sakit”.
Hey, kawan lama. Kita tak perlu jengah
membaca satu lembar halaman buku. Kita hanya perlu untuk menuntaskannya dan
menganggap yang satu lembar itu bagian dari takdir Tuhan yang harus kita
jalani. Dan takdir itu boleh jadi adalah jalan Tuhan. Sebagaimana Kurt Vonnegut
katakan dalam tulisannya: perjalanan yang tidak biasa adalah menari di jalan
Tuhan.
Ber-sam-bung
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.