
Terimakasih, Gie. Untuk keberanianmu
melawan; pemikiran yang kau luapkan lewat tulisan-tulisanmu. Karena dengan itu kau
tetap hidup hingga kini. Hidup dalam pikiran dan diamini oleh mereka yang
mengaku “berjuang”. Dijadikan pemanis retorika dan dikutip oleh siapa saja yang
kebetulan ingin dianggap berani dan pintar. Dan kau sudah jadi semacam pasword
bagi mereka yang ingin tampil.
*
Aku kenal kau lewat buku-buku
yang membual soal revolusi. Buku-buku itu menggambarkan kau bak pendekar yang
tak mundur meski ditodong moncong bedil. Meski kau membantahnya dengan cara
mati sunyi dalam rindu di puncak
tertinggi pulau Jawa: Semeru. Karena aku
adalah bocah labil yang mudah penasaran, maka aku mencari-cari tulisanmu dan mencoba
mengenal siapa kau sebenarnya. Kira-kira seperti itu aku mengenalmu dulu. Meski
kau tak perlu mengenalku, salah satu bagian dari korps hipokrit dari organ yang
masih percaya pada perjuangan dan revolusi, namun sangat rajin menjilat.
Gie, aku sedih kau harus mati
muda. Meski kau menginginkan itu dan mengikuti sifat masokistik irrasional akutmu. Tapi, ada baiknya Tuhan memeluk mimpi
dan inginmu untuk mati. Sebab aku tak perlu melihatmu di podium dalam acara
seminar dan menjadi pembicara yang mungkin akan mudah terjebak pada post power sindrome. Dramatisasi dan
romantisme perjuangan adalah penyakit paling tengik dari orang tua sekarang
yang mudah saja mengembik pada partai. Meski pun tidak semua orang tua seperti
itu, tapi kau tetap manusia kan? Kau juga
bukan dewa.
Kau yang mengajariku untuk tidak
mudah kagum dan percaya pada orang lain. Dan tak salah bila—aku yang terlanjur
mengenalmu—tak perlu sering-sering mengingat dan mengaminimu. Kau telah
selesai, Gie. Kini giliranku, generasi-generasi hipokrit yang terjangkiti
megelomaniak.
Mengingatmu yang dulu galak tapi romantis, aku jadi ingat kawan-kawanku kini. Memikirkan kata-katanya. Kalau tidak salah, kira-kira seperti ini bunyinya: “ketika yang lain tertidur pulas, kita yang sibuk memikirkan jaman.” Pongah sekali kan? Seperti saat-saat terakhir kau hidup, kau masih saja pongah. Tapi seorang pemuda terkadang butuh sedikit overdosis agar tidak labil saat tua. Apa kau overdosis dan terlalu reaksioner dalam urusan jaman, Gie? Apa kau terlalu tegang dan kaku seperti dalam penggambaran Riri Riza?
Sesekali aku pernah bertanya, apa
para pengaggummu selalu pongah dalam hidupnya? Aku tau itu bukan pertanyaan
bijak. Tapi, kalau terlalu kesal dengan
gengerasi muda jaman sekarang (termasuk diriku sendiri) adalah dosa? Kupikir,
Riri Riza juga menyimpan kagum padamu hingga dia membuat film itu. Dan aku
menghargai dia yang sudah bersusah payah melakukan sesuatu untuk “mengabadikanmu”
lewat apa yang dia bisa. Paling tidak ia telah melakukan sesuatu meski pun
gagal membingkai potongan hidupmu. Lalu bagaimana dengan pengagummu yang lain? Tak
usah kujawab, bikin senewen...
Kali ini soal kesepian, Gie.
Andai kau bisa memahami dan
membahasakan kesepian dengan tepat, mungkin eskapismemu tak akan membuat banyak
menyakiti perempuan. Aku selalu menolak untuk percaya bila seorang pemikir itu
sekaligus pembual cap tikus dan perayu cap kambing. Apa kau kesepian, Gie? Kesepian
yang lahir dari perasaan suwung lantaran gelisah sendiri di tengah kawan
perjuanganmu dulu yang mulai menyerah dan kompromi. Bagiku, kesepian adalah
membunuh waktu bersama pengap dan berkawan rindu yang entah harus dialamatkan pada
siapa. Andai kamu adalah pembual perempuan yang tangguh, aku sangat bisa
memaklumi. Aku sangat-sangat bisa mengerti.
Gie, yang kusesalkan dari sekian
banyak tulisanmu adalah kegagalanmu mewariskan metode yang tepat dalam
mengajarkan keberanian untuk generasi facebook
dalam melawan arus. Mestinya, mereka yang mengaku resah mesti juga berani
dalam mengambil sikap, bukan menggumam. Keberanian adalah keniscayaan bagi
mereka yang mengaku resah. Jadi...
Sudahlah, Gie. Baik-baik kau di
sana.
Selamat ulang tahun. Selamat
pagi.
cdvt
1 komentar:
aku selalu suka dengan tulisanmu mas, tulisan yang real thing seperti ini. yang tentu lebih mudah di tangkap olehku. kadang, aku merasa diusik juga dalam ctatanmu. kadang, aku merasa tertampar, dan itu bagus.
ada kesan bahwa Gie yang selama ini ditampilkan oleh media adalah salah, aku menjadi ingin tahu bagaimana Gie sesungguhnya menurut pembacaan mas citra? karena aku, kurang bisa membaca buku-buku seperti ini. selamat(kan) malam, mas.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.