Dulunya
mereka adalah adik-adik kecil yang manis. Seperti biasa, aku hanya melihat
mereka sepintas tanpa menoleh. Lalu, tak berapa lama –seperti yang selalu batin
katakan, “kau akan segera dekat dengan mereka”– kita menjadi begitu dekat. Seperti
saudara, bahkan lebih. Tak ada yang lebih dekat dan “sampai mati” kecuali
dendam. Karena persahabatan itu sebagaimana dendam: sampai ke tulang, sampai
mati.
Lalu,
seperti yang biasa terjadi: ada dialog, sesal, kedekatan, proses belajar, dan
tak lupa tangis tertahan. Semuanya adalah proses yang lumrah dan wajar: seperti
halnya pagi dengan matahari dan malam dengan bulan-bintang. Saat itu mereka pun
tumbuh. Menjadi apa saja yang mereka harapkan. Dan di sebalik duniaku yang
sepi, diam-diam aku lihat mereka.
Aku
senang; juga sedih. Senang karena menjalani waktu-waktu bersama dan sedih
karena semua itu telah berlalu. Kebanyakan dari mereka telah menemukan tempat
berlabuh dan menurunkan jangkar lalu beranak-pinak. Ada yang dimakan kesibukan
sampai lupa jadi “manusia”. Ada pula yang menyepi dan melanjutkan apa yang
kusarankan. Ada yang pergi dengan dendam membara, juga dengan rasa terimakasih
yang dalam, tapi kedewasaan membuat mereka memilih menjaga jarak agar tetap
menyimpan rindu.
Kerap
di malam-malam buta, ketika rindu memenuhi kepala dan hati, aku sapa mereka
dari jauh. Ada yang menjawab, dan ada yang tidak. Maka, yang mengobati sepiku
adalah dengan menyebut nama mereka satu per satu seraya mengirim doa: semoga
bahagia lahir batin. Ya, hanya itu yang mengobati rasa sepi. Dan yang
terpenting itulah bahasa dan kata-kata yang tak sempat terucapkan pada mereka
yang jauh.
Selalu ada yang gagal terucapkan; selalu ada yang harus disimpan sendiri.
Adek-adek
manis yang baik. Kalau kau bertanya padaku lewat sorot matamu: apa arti diam dan senyum aneh tiap kita
bertemu? Percayalah, aku tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi. Karena
mungkin kedewasaan kalian tak akan lagi dapat menerima hal-hal yang melankolik
dan sentimentil. Adek-adek yang kini senang belajar, percayalah, diamku tak
akan melukai kalian di kehidupan kalian kini.
Kalian
tentu mengerti, kenangan indah justru ketika ia hanya terjadi sekali dan tak
terulang. Sebab, segala yang diulang hanya akan menjadi rutinitas dan basa-basi
yang tengik. Maka, biarkan aku melihat kalian bahagia dari jauh sembari
sesekali mendoakan kalian, rindu kita yang ganjil, dan diriku sendiri. Demikian
juga denganku, biarkan aku dengan hidupku; dengan diamku yang cukup aku dan
Tuhan saja yang tau. Bukankah kita adalah kata per kata yang membentuk deret
kata rindu. Ya, semoga diantara kita bisa saling mengikhlaskan. Karena, seperti
kata Defy, keiklasan adalah obat mujarab yang mengobati dan mempermudah hidup
kita.
Aku
senang begini. Berlama-lama menekuri layar leptop dan mengikuti kabar kalian
sembari memutar kenang silam. Dan kalian, adek-adek manis yang dulu sangat sabar
menunggu aku datang untuk saling belajar, semoga hidup kalian bahagia.
Kalau
sekarang masing-masing dari kita sama-sama rikuh, ini bukan salah kalian. Ini hanya
salahku dan waktu. Serta pembelajaran padaku bila satu tahap di atas cinta
adalah rasa ikhlas. Selamat jalan adek-adek manis.
Kini
antara aku, kalian, tak akan pernah menjadi “kita” tanpa ada rindu. Dan (semoga)
bila badai rindu menyergap kalian, maka kalian cukup ke dapur dan membuat kopi
untuk keluarga kalian dan menikmatinya sambil menonton televisi di ruang
keluarga serta orang-orang terdekat kalian saat ini. Maka, kalau aku kerap
bingung mencari warung dan memesan segelas kopi pahit, saat itu aku ingin
mencari dan mengundang kalian dalam batinku. Dan menuang kopi, menghirup
aromanya sembari berbisik: aku pun juga rindu dengan kalian.
Kamal,
17 Oktober 2014
Citra D.
Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.