Suatu malam, seorang kawan datang kepada saya
dan mengatakan bila dia akan menikah dua bulan lagi. Dia mengaku merasa senang karena
akan memiliki seseorang yang bertanggungjawab penuh pada hidupnya. Karena,
selama ini dia hanya dimanfaatkan para bergajul-bergajul
cengegesan untuk kesenangan hormonal. Tapi, yang menjadi keresahan mbak
cantik di depan saya itu adalah salah satu dari para bergajul cengengesan itu telah merenggut keperawanannya.
Di sisi lain, pria yang akan menikahinya ini
tidak tahu bila si mbak cantik ini sudah tidak perawan. Kata si mbak cantik,
hidup calon suaminya itu begitu lurus. Selain itu, pria ini juga sangat
konservatif dalam urusan seks dan sangat percaya pada “mitos keperawaan” saat
malam pertama. Inilah yang membuat hati mbak cantik—yang salah satu hobinya adalah mentraktir saya
nasi soto dan kopi pahit—ini gundah gulana.
Dia merasa kiamat akan datang di malam
pertamanya nanti. Karena selama ini dia belum menceritakan soal masa lalunya
pada calon suaminya. Dia kawatir calon suaminya bakal minggat bila tau dia sudah tak perawan. Meski setelah bertunangan dia
menyesal karena tidak bercerita ke pasangannya. Sekarang, dia merasa sudah
terlambat menceritakan hal itu dan membiarkan suaminya nanti tau sendiri.
Saya lihat mata mbak cantik memejam. Air mata
meleleh di sudut matanya. Dulu saya kenal mbak cantik ini sebagai perempuan
yang berpikiran ”merdeka”. Dia menolak
segala belenggu pada perempuan, termasuk keperawanan. Tapi, mungkin konstruksi
sosial dan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat menggerogoti keyakinannya
hingga dia merasa perlu menangis untuk ketakutan yang belum tentu terjadi.
Mungkin
keperawanan hanya persoalan “selaput tipis di dalam vagina”, tapi, ternyata
persoalan sosial yang ditimbulkan karenanya bukan main rumitnya. Bayangkan,
diakui atau tidak, sedikit banyak, keperawanan mampu menentukan masa
depan kebahagiaan perkawinan sebagian pasangan.
Kalau selaput dara bakal menentukan kebahagiaan
sebagian pasangan, lalu mengapa ia dibuat begitu tipis? Mengapa tidak dibuat
setebal tembok penjara, yang bisa nyetrum, dihiasi beling dan kalau perlu ada
gembok alami yang hanya bisa dibuka oleh seorang suami. Atau minimal keperawanan
dibuat seulet dan sekokoh karung goni. Karena kalau tipis kan jadi gampang koyak dan mudah jebol akibat gerakan olahraga yang
ekstrim, jok sepeda, dan kepala penis.
Kalau selaput dara dibuat cukup tebal kan susah dijebol. Sehingga paling
tidak, muda-mudi butuh 30-47 kali ML baru bisa jebol. Selain itu, dengan adanya
kondisi sosial yang melumrahkan seks bebas ini, seharusnya Tuhan menciptakan selaput dara
perempuan dengan bentuk yang tebal, atau bahkan mungkin tidak ada lagi ide tentang
penciptaan selaput dara.
Kalau sekarang muncul banyak gerakan
perempuan yang menolak “mitos keperawanan” itu sah-sah saja. Karena memang,
mitos keperawanan saat malam pertama sangat tidak adil.
Bisa saja seorang perempuan itu terenggut
keperawanannya saat jatuh dari sepeda, karena jadi korban perkosaan. Dan tentu
saja bisa saja perawan robek karena ulah mas pacar—atas nama cinta-suci-tulus-murni-selembut-awan-dan-bahagia-selama-lamanya—keperawanan
perempuan tersebut terenggut. Tapi, dari berbagai macam kemungkinan hilangnya
keperawanan itu—meminjam istilah penganut patriarki—adalah celaka karena mereka tidak lagi “suci”.
Tapi, apakah menilai suci tidaknya perempuan itu hanya dari selaput daranya? Bagaimana dengan korban pemerkosaan? Atau yang mengalami kecelakaan
kecil yang mengakibatkan dia kehilangan keperawanan? Atau pelaku seks pra nikah
itu kah yang disebut tidak suci?
Kalau kita bicara agak serius soal kesucian
dalam arti luas, maka boleh saja kita ulas soal muda-mudi sekarang yang piawai dalam
menyiasati norma-norma sosial. Perempuan sekarang—yang jadi korban konstruksi
sosial—sangat konsisten menjaga keperawanannya utuh hingga menikah. Tapi, di
sisi lain mereka tidak pernah ragu dalam urusan pacaran. Pacaran itu la raiba fih. Meminjam istilah para bergajul (yang juga termasuk saya),
dalam pacaran itu sudah ada istilah 3 x 4, 4 x 6, full, nyemi, dll.
Jadi, saat sang pacar merogoh isi kutang
sambil kelagepen cipokan itu ndak masalah
asal ndak sampai masuk vagina dan
merobek selaput dara. Ciuman boleh, asal “wajar”. Petting boleh asal “wajar”. Tidur bareng, telanjang, saling
pegang..., juga boleh asalkan tidak robek keperawanan. Apa semua ini masuk dan dihitung dalam kategorisasi kesucian?
Pacaran sekarang adalah semacam lisensi untuk
merongrong “keperawanan”. Sehingga ketika kita membawa-bawa persoalan kesucian
dan menghubungkan dengan keperawanan, rasanya seperti menikmati bubur kacang
ijo dicampur kencing kuda. Sangat jauh. Jauh.
Kalau ada seorang perempuan yang sejak lahir
menjaga keperawanannya, belajar memasak, mencuci, mengaji, mengasah kecerdasan
spiritual dengan membaca kitab suci, tapi tiba-tiba dua hari sebelum menikah,
dia jatuh dari sepeda dan selaput daranya robek. Atau sepulang mengaji dia diperkosa
sekumpulan pemabuk. Apa perempuan ini masih suci?
Bagaimana kalau dibandingkan dengan perempuan yang sejak SMP
sudah belajar pacaran, SMA semakin mahir, waktu kuliah sudah profesional.
Setiap ketemu pacar, selalu diwarnai dengan seremonial uyel-uyel, grepe-grepe, sun
sitik, nggosok, ngepel dan karaoke. Meski tidak sampai ML dan selaputnya
masih save; bisakah kita sebut
perempuan ini suci?
Sejak dulu tidak ada indikator dan garis
batas yang jelas untuk bisa menentukan suci dan kotornya seorang perempuan.
Apalagi hanya dari penilaian yang gegabah: keperawanan. Namun, persoalan
sebenarnya adalah: selama ini persoalan kesucian hanya disempitkan
menjadi soal perawan atau tidak. Masyarakat tidak pernah merunut latar historis
dari hilangnya keperawanan seorang perempuan. Umumnya lelaki juga tidak
memusingkan seperti apa kelakuan istrinya sebelum menikah. Asal tau perawan
maka beres urusan.
Hal ini membuat perempuan sekarang berpikir
berpikir hanya untuk bisa melindungi keperawanannya apapun caranya. Mungkin ini
pilihan atau alternatif yang tolol dan tidak adil. Atau kalau ingin pilihan yang
lebih masuk akal: tidak perawan ndak apa-apa, asalkan sudah punya pasar pria
yang jelas—yang menerima perempuan tanpa memandang dia perawan atau tidak.
Karena jaman itu ibarat supermaket. Kalau ada
pasar perempuan merdeka yang menolak tunduk dari mitos keperawanan, tentu ada
pula lelaki—yang juga merdeka, suka jajan, dan, ya, ndak perjaka juga—yang siap
menerima perempuan-perempuan yang tidak perawan. Meski, diam-diam, si pria juga
bangga dan bersyukur kalau suatu ketika dia dapat perawan. Namanya, juga
lelaki.
”Umumnya
lelaki punya sifat bajingan,” kata Gombloh.
Seharusnya, para pria jangan gemampang meletakkan standar nilai hanya
berdasarkan keperawanan. Karena, keperawanan itu bukan jaminan: baik, buruk,
benar, salah, suci, kotor, terhormat, tercela.
Kalau yang diharapkan pria adalah kesucian
dan kehormatan perempuan yang hakiki, hendaknya tidak hanya mengukur dari
perawan atau tidak. Karena, pria akan rugi besar dari penilaian ini. Bukankah
perempuan sekarang teramat pandai untuk menyembunyikan siapa dia sebenarnya?
Kalau meminjam istilah teman-teman: perawan rasa janda. Bisa jadi, seorang
perempuan memang benar-benar perawan, sopan ketika pacaran; taaruf; tapi
hobinya menginjak kepala dan kehormatan anda sebagai lelaki ketika usai menikah.
Bicara soal keperawanan membuat saya teringat
kata-kata Arswendo: ”Lelaki sering mencemburui masa lalu pasangannya, perempuan
sering mencemburui masa depan pasangannya.”
Statement Arswendo dapat dijadikan alat untuk
melihat gejala psiokologi pria. Bagiku, mencemburui masa lalu adalah sebentuk
arogansi dari ego kelelakian. Umumnya seorang pria merasa perlu mengorek cerita
masa lalu pasangannya untuk sekedar membuktikan: apa dia benar-benar yang
“pertama”. Pertama merobek selaput dara. Pria pertama yang (paling mampu dan
pantas) membahagiakan perempuannya.
Seorang pria juga kerap mengukur-ukur dan
membandingkan mantan kekasih si perempuan dengan dirinya untuk mencari siapa
yang lebih unggul. Kalau ternyata ditemukan ada yang lebih unggul, atau si
perempuan tiba-tiba cerita soal kehebatan mantan, bisa dipastikan si pria akan
kebakaran jenggot.
Obsesi lelaki dalam mengungkap masa lalu
perempuan adalah bentuk arogansi dan rasa enggan untuk menerima sesuatu yang
dianggap (maaf) “bekas”. Sehingga keperawanan adalah sesuatu yang penting dan
sangat prinsipil untuk didapat, karena menyangkut harga diri kelelakian. Selain
itu, pria merasa mampu mencari perempuan lain apa bila pasangannya didapati
sudah tidak perawan.
Memang pola pikir macam ini asu sekali. Tidak
dewasa. Kekanak-kanakan. Meski, tidak semua lelaki seperti ini.
Sedangkan perempuan hampir selalu
“mencemaskan masa depan” kekasihnya. Hal ini terjadi karena tiadanya keperawanan
menjadikan perempuan merasa “menjadi bekas”, tidak berharga dan pantas
diloakkan. Perempuan merasa setelah kelihangan keperawanan membuatnya mustahil
mencari kemungkinan lain. Sehingga, ketika keperawanan perempuan terenggut,
bisa dipastikan dia akan mempertahankan pasangannya dari perempuan lain.
Ditinjau dari bentuk organ seksual, penis
lelaki adalah organ yang (mungkin ditakdirkan untuk) “merobek selaput dara”.
Sedangkan vagina, organ seksual milik perempuan, berfungsi untuk menerima penis
sehingga selaput dara yang tipis tersebut akan robek ketika pertama kali penis
memasukinya. Dan Tuhan tentu membuat itu tanpa pertimbangan yang jelas atau
sekedar iseng. Karena sudah jelas, pasti ada maksud dan tujuan dari selaput
dara dibuat amat tipis. Jal pikiren?!?
Lha wong dibuat tipis
saja, muda-mudi bisa mengakali kok.
Apalagi dibuat tebal? Belum lagi, kalau bapak-emaknya si perempuan itu kaya,
bisa menjahitkan keperawanan ke Singapura. Mungkin itu sebabnya perempuan yang
perawan punya harga spesial di pelacuran.
Jadi, kalau mbak cantik merasa sudah menjadi
”bekas” dan tidak lagi diterima, sebaiknya diterima saja. Saya akan sangat
bangsat kalau menyuruhmu sabar, meski saya juga tak mampu menyuntikkanmu ke
Singapura agar selaputmu bisa oke dan greeng
lagi. Kalau perlu menangis, ya, menangis saja, tapi jangan lama-lama.
Melampaui
Syariat
Saya pernah tergelitik dengan kalimat
”perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik”. Jujur saja kalimat ini
pernah membuat saya jengkel setengah mati karena selama hidup, saya tak pernah
merasa sebagai orang baik-baik, lelaki baik-baik.
Saya ini boleh jadi mantan seorang gali
junior. Pernah jadi playboy cap tikus dan dari semua aspek hidup saya, tidak
ada sedikit pun yang bisa membuat saya pantas mendapat perempuan baik-baik. Heh, sopo toh ning ndunyo iki seng gelem
oleh elek?
Jelek-jelek begini, cita-cita saya adalah
mendapat perempuan baik-baik. Meski kalian anggap saya tidak pantas untuk dapat
sesuatu yang baik, karepmu! Yang
jelas saya ingin dapat yang baik karena saya tidak munafik. Tapi, masalahnya di
dunia ini tidak semua perempuan itu baik-baik, begitu juga sebaliknya. Kalau
semua ingin yang baik, lalu yang buruk itu untuk siapa? Demit? Genderuwo alas? Atau untuk Pakde Dalbo?
Hehehe...
Apa kalau seseorang merasa buruk, lantas apa
dipikir yang dia tidak ingin hidupnya berubah jadi lebih baik dengan cara
mendapat sesuatu yang baik? Atau setidak-tidaknya mampu mendapat pasangan yang
mampu membawanya ke arah yang lebih baik.
Mungkin benar kebaikan hanya pantas untuk
kebaikan. Di situ ada keadilan Tuhan. Tapi, kalau benar demikian, dimana
keadilan Tuhan bagi yang (sudah terlanjur) buruk? Bukankah Tuhan itu senantiasa
memberi ”jalan yang lurus” bagi setiap manusia? Meski, manusialah yang kerap
ingkar dan tidak memilih jalan yang sudah ditentukan.
Kalau dalam konteks baik-buruk perempuan dan
lelaki, tentu saja jalan lurus itu bisa berupa jodoh yang diberikan Tuhan pada
seseorang. Artinya jodoh itu sudah pasti baik—meski kita tidak suka dan tak
bisa menerima—dan tinggal pasangan tadi mencari kebaikan itu sendiri. Bila
suatu saat mereka gagal dan merasa tidak bahagia, ya, berarti gagal mencari
kebaikan dan Tuhan akan memberikan alternatif jodoh yang lain. Atau mungkin
tidak memberi sampai akhir hayatnya. Dan itu pun sebenarnya juga baik, karena
mungkin Tuhan berpikir, lebih baik kita hidup sendiri ketimbang menyakiti orang
lain.
Mbak cantik, jangan gusar. Seandainya kelak
suamimu membuangmu ke got, kau akan ditemukan seorang pria yang benar-benar
menerimamu apa adanya. Dan itu artinya, calon suamimu adalah bergajul dengan bentuk yang lain. Atau
mungkin, dia tetap orang baik, namun dia sedang tak siap menerima sesuatu yang
(dianggap masyarakat) buruk.
Kalau, kau di loakkan ke besi tua, berbaik
sangka saja dengan dia. Anggap saja dia masih berada di tataran syariat.
Berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang sudah ditentukan. Tapi, jika suatu
saat suamimu bisa berbesar hati menerima, atau ada orang lain bisa menerima
kondisimu, berarti dia adalah best of the
best.
Setiap orang (lelaki dan perempuan) hanya
mampu untuk mendapatkan takdir baik dari Tuhan dan tak siap dengan yang buruk.
Kalau ada lelaki atau perempuan sanggup menerima jodoh yang baik, maka apa
hebatnya? Seseorang baru bisa disebut hebat ketika bisa menerima sesuatu yang
tidak dia inginkan. Sesuatu yang dicampakkan orang lain, tapi di matanya, kau
tetap berlian serta mau membimbingmu ke arah yang lebih baik.
Mbak cantik, kau tau, di tengah musim kawin
seperti ini—ketika kawan-kawan sebaya saya sudah pada lomba kawin—perasaan saya
masih tidak dibuat gentar dengan pernikahan mereka. Bagiku, pernikahan
kawan-kawan terdekatku tak ada bedanya dengan pergantian musim: sudah tua, ya,
pilih-pilih, seleksi calon lantas kawin. Begitu saja. Tidak ada yang istimewa.
Calon yang dipilih pun standar-standar saja.
Memilih apa yang menurut mereka baik, dari keluarga baik-baik, pekerjaan
baik-baik. Kebanyakan kawan saya hanya mencari apa yang baik menurut mereka,
menurut keluarga dan masyarakat.
Mbak cantik, saya pernah dua kali dibuat
gentar dengan pernikahan. Itu terjadi pada tahun 2010 dan 2013. Tahun 2010
adalah pernikahan seorang kawan, yang aku anggap sangat baik dan santun. Sebut
saja dia mas baik.
Si mas baik ini menikahi tetangganya, seorang
purel warung yang bisa sekalian disewa untuk begitu-begitu-begitu-begitu.
Alasan yang dikemukakan kawan saya begitu bikin merinding, ”Sakno bro, dek’e dipandang rendah wong-wong,
dianggap balonan. Nek ngene kan derajate munggah ta (Kasihan bro, dia
dipandang rendah orang-orang dan dianggap lonte. Kalau begini derajadnya kan
naik),” kata kawan saya.
Waktu itu di malam pernikahannya begitu
melankolik. Semua jadi terasa lain.
Tahun 2013, saya pernah digetarkan dengan
pernikahan seorang kawan lama, sebut saja dia mas bakpau. Dulu dia seprofesi
dengan saya: pengamen terminal. Tapi, mendadak dia berhenti dan berdagang
bakpau, lebih tepatnya bosnya bakpau. Mas bakpau menyuplay bakpau dan mendadak
jadi bos yang lumayan besar. Usahanya semakin maju.
Sejak mengamen, saya tau mas bakpau punya
pacar seorang juwita malam. Tapi, saya tidak tahu bila hubungan itu terus
berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Mas bakpau tidak peduli dengan
pekerjaan kekasihnya bahkan setelah dia jadi bos bakpau. Dia pun menyuruh
kekasihnya berhenti dan merubah status dari “mbak juwita malam” menjadi “mbak bakpau”.
Kalau mas bakpau tidak menjadi bos dan tetap menjadi pengamen, saya tak akan
heran. Karena mungkin kedua profesi itu dipandang rendah.
Saya terenyuh dengan pernikahan mas baik dan
mas bakpau. Keduanya adalah pernikahan yang spesial, karena saya sendiri belum
tentu mampu melakukan apa yang dia lakukan. Hatiku belum tentu kuat dengan
cercaan masyarakat dan omelan orang tua. Terlebih mengetahui masa lalu istri
saya yang menjadi milik semua pria yang mampu membeli.
Pernikahan kedua mas-mas itu punya tempat di
batin saya dan sebagai bukti bila jalan Tuhan untuk merubah hidup seseorang
menjadi lebih baik itu tidak main-main. Saya merasa terenyuh melihat kebaikan
dan kelapangan hati mas-mas itu melampaui syariat dan memiliki kadar kedewasaan
dari anggapan-anggapan dan norma masyarakat yang umumnya kerdil. Mungkin Om
Iwan benar, ”benih cinta memang tak pandang siapa”.
Mbak cantik, boleh jadi koyaknya
keperawananmu adalah jalan menuju sorga dengan datangnya pria yang menerimamu
apa adanya.
Mbak cantik, mungkin ini adalah sebuah momen
untuk memastikan: apa suamimu kelak adalah malaikat atau bergajul dalam bentuk yang lain. Bersyukurlah kau kelak bisa
memastikan suamimu itu benar-benar baik atau baik di muka saja. Karena perempuan
lain (yang dianggap baik) tak mampu memastikan bakal suaminya itu benar-benar
orang baik atau bukan. Karena umumnya mereka datang karena kasmaran, karena kau
masih dipandang baik. Kalau kelak dia mau menerimamu, segera cium keningnya,
buatkan dia kopi yang enak dengan cinta, temani malam-malamnya, pijiti bahunya
sepulang kerja, jaga hartanya, dan jagalah anak-anaknya, serta didiklah dengan
baik. Karena dia suami yang kelak menerimamu adalah cara Tuhan menghapus tangis
di matamu, lukamu, keresahanmu. Selamat
malam.
Jakarta, Mei
2015
Citra D.
Vresti Trisna
4 komentar:
salut bang sama tulisan ente
Terimakasih atas kunjungannya
Abis ngobrol sama mbak cantik terus ada adegan apa mas?
Kita sama-sama "tua" dan pernah menjadi bergajul. Dan kamu tanya hal yg sangat jenius.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.