Dalahok (Gubernur Dudakarta) |
Awalnya saya emoh memilih guru yang
kerjanya hanya memprotes kebijakan yang saya buat. Namun, karena Pakde Dalbo
atau Kak Dalbo menginstruksikan saya menerapkan ilmu belajar langsung pada
sesuatu yang kita benci, alhasil bergurulah saya dengan Kelompok Gatholocoli.
Ternyata berguru pada orang yang kita benci adalah sebaik-baik kebijaksanaan.
Saya lahir di Mojoagun*. Sebuah daerah
yang memiliki budaya lambe turah, nganggur, dan jahiliah. Mulut
saya ini ndak enak kalau tidak ngeledek. Sejak kecil saya
berlatih kungfu. Tapi seiring waktu, saya mengembangkan jurus kungfu paling
sakti dan saya namai lambekungfu, atau seni bela diri kungfu yang
mengandalkan bibir untuk memukul. Atau dalam bahasa inggris biasa disebut: cangkeman. You
know cangkeman?
Saya punya keunikan tersendiri yang jadi
bawaan sejak lahir. Keunikan ini kerap mengantarkan saya pada petaka-petaka
tidak penting tapi fatal. Keunikan tersebut adalah ketika badan saya tidak bisa
diam dan akan terasa pegal-pegal kalau tidak ngisengin orang.
Siapa saja bisa jadi korban keisengan saya kecuali Kakak Dalbo dan pimpinan
Geng Pabrik Plastik Yang Doyan Impor Barang Gak Penting Ke Seluruh Dunia Ya Ya
Ya (GPPYDIBGPKSD3Y). Selain dua orang itu, saya tidak takut menjahili siapapun.
Bahkan guru saya pun akan saya jahili kalau saya sedang suntuk.
Salah satu keisengan saya yang populer
adalah menukar rumah warga dengan rumah burung dara. Membersihkan Kota
Dudakarta dari para mbambung pengotor jalan. Memenuhi kota
dengan manusia impor, dan banyak lagi. Kalau orang menyebut Soekarno
sebagai bapak proklamasi, saya terkenal sebagai bapak reklamasi.
Tapi, di sisi lain, Ketua Kelompok
Gatholocoli ini juga setali tiga uang dengan saya. Guru saya dan kelompoknya
adalah garda terdepan pendemo segala kebijakan yang saya buat. Di mata guru
saya, segala hal yang saya lakukan itu salah. Bahkan, mungkin menurut dia, saya
lahir ke dunia pun juga salah. Tapi, di sebalik itu sebenarnya saya tahu persis
kedalaman guru saya. Ia sangat menyayangi saya dan berusaha membuat saya tahu
diri. Karena cara guru mendidik muridnya itu macam-macam: ada yang membimbing
dengan menjadi sahabat, ada juga yang musuh kita. Dan adanya guru saya ini
membuat saya tidak perlu repot-repot membeli kaca benggala di Glodok hanya
untuk melihat siapa sejatinya saya.
Meski saya sangat takzim dengan guru saya,
tapi sebagai manusia yang normal, saya memiliki kadar kejengkelan tersendiri
dengan guru saya. Meski kejengkelan dalam diri saya itu sifatnya fluktuatif,
tapi yang jelas jengkel tetap saja ada meski kadarnya bisa berbeda-beda setiap
saat. Terkadang, rasa jengkel yang secara otomatis tersimpan dalam diri saya
ini kerap meledak sewaktu-waktu. Sehingga ketika saya ngomong baik-baik pun
terkadang masih kerap keceplosan kata-kata yang menyinggung perasaan guru saya.
*
Bukan guru yang bijak namanya kalau dia
tidak bisa memafkan saya. Biasanya rasa maafnya muncul tatkala dia sudah bisa
memahami kekhilafan saya dan mengkalkulasi dengan cermat alasan dia marah;
mengkalkulasi saldo kesalahan saya padanya. Guru saya ini tipikal seorang yang
dianugrahi alam semesta kejelian mripat. Kejeliannya ini ia
manfaatkan untuk mengkalkulasi—meski tidak 100 persen benar—setepat-tepatnya
kesalahan saya. Setelah ia mampu mengkalkulasi kesalahan saya, biasanya ia akan
menghukum saya sesuai dengan kadar kesalahan saya. Yang bikin saya salut
padanya adalah kemampuannya dalam mengukur dan menentukan kesalahan mana yang
patut dihukum dan mana yang tidak. Dalam hal ini, dia jagonya.
Untuk orang sekaliber guru saya ini, tentu
memahami bila kata-kata saya yang menyinggung hatinya adalah akumulasi dari
kejengkelan saya padanya yang suka menyuruh seenaknya, terlalu menuntut, dan
menghina hasil perenungan saya. Yang hebat dari guru saya adalah, ia tidak
pernah menghukum saya untuk kesalahan yang mungkin bisa dibilang manusiawi ini.
Sedangkan hukuman yang sedang saya terima darinya adalah karena akumulasi dari
kesalahan saya yang lain, seperti: membuang tikar tempat dia tidur dan
menggantinya kertas koran. Atau terkadang ketika kamar kos yang dia sewa, saya
sewakan lagi ke teman-teman saya dari kelompok GPPYDIBGPKSD3Y yang kebetulan
butuh tempat mesum darurat dengan harga murah hingga guru saya sendiri
terkadang sampai duduk jongkok menunggu kawan saya selesai main.
Jadi, kalau pada suatu hari dia menghukum
saya, tentu itu bukan berasal dari kata-kata saya, tapi akumulasi dari
kesalahan-kesalahan saya selama ini padanya. Mestinya, dia tidak perlu menunggu
saya berkata sesuatu yang menyinggung perasaannya untuk dapat menghukum. Bagi
saya, ia berhak menghukumku karena: dia guruku; saya muridnya; saya rela
dihukum; dia mau menghukum. Dan jadilah saya tersangka. Dengan kata lain, guru
saya dan para pengikutnya yang lain itu tidak kehilangan fokus dan marah hanya
perkara kata-kata saya, melainkan menghukum karena kesalahan-kesalahan yang
lebih fatal yang menyangkut kemanusiaan, perut orang banyak serta tempat tinggalnya.
Ya, bila ada dua pihak yang terlibat
persoalan pastilah masing-masing pihak punya andil salah. Tinggal masing-masing
pihak ini mau memahami dan memaafkan atau tidak. Meski demikian, saya sadar
bila maaf hanya akan membuat saya bersih di mata tuhan, tapi tidak di mata
hukum. Salah dan dihukum itu ”benar”. Kalau salah tidak dihukum itu dobel salah
namanya.
Bagi saya, status tersangka yang baru saja
ditetapkan Barbar-Eskrim adalah anugrah luar biasa. Status ini
membuat saya sadar bila kata-kata sembrono yang nyeplos adalah
sebuah momentum yang datang dari semesta. Seperti ”tangan Tuhan” yang membuat
banyak orang kembali ke ”biliknya” untuk bersunyi-sunyi. Mengukur diri.
Mengeram. Dan menyesali perpecahan yang sempat terjadi. Dan yang penting
mengembalikan persatuan kelompok-kelompok.
Saya senang dialektika cinta antara saya
dan guru saya ini hanya terjadi di Dudakarta. Apa jadinya kalau sampai terjadi
di Jakarta (baca: tempat genderuwo manak)? Saya ogah tinggal
di sana. Semua orang bersikukuh dengan benarnya masing-masing.
Citra D. Vresti Trisna
Dudakarta, Kamis Legi, 17 November 2016