Dunia memang sudah gulung kuming. Di puncak saya mulai wegah dengan media sosial. Seorang dari
kawan lama SMS: ”mas Dalbo, kok, jarang nyetatus lagi? Saya senang dengan status yang kamu buat!”
Setelah keluar dari
toko buku, saya lenger-lenger sambil udut dan membaca lagi pesan darinya. Ini
maksudnya apa, ya? Saya agak kurang ngeh
arti kata ”nyetatus” yang saat itu
saya maknai sebagai ”status; keadaan atau kedudukan”. Karena istilah ”status”
ini bisa saja diartikan sebagai status facebook,
status bujang lapuk, status pacar, pernikahan, atau mungkin bisa saja status sosial
yang lainnya yang menohok batin.
Dulu saya memang hobi
bikin status panjang di facebook. Dorongan
ke-alay-an saya terus merangsek ke dalam batin hingga tak pernah tahan untuk
tidak meluapkan isi pikiran menjadi kata-kata yang muncrat-muncrat wall facebook. Saya pun masih ingat bila
kawan saya ini dulunya sering mengetik amin dan share komentar dan like di status panjang saya. Tapi, apa iya bila status yang
dimaksud kawan saya itu adalah status facebook?
Karena tampang saya terbilang jauh dari aktor-aktor garda depan industri
motivasi yang selalu mendapat like dan
komentar dari teman-teman. Terlebih, meski saya alay, tapi saya bukan seleb
tweet yang genit. Maka saya mengeliminasi
”status facebook” sebagai kata yang
dimaksudkan kawan saya sebelumnya. Dhapurmu
iku sopo, blo, soblo. Kalau kata penyair ikan bandeng, saya ini cuma
pemungut ranting.
Sepulang dari Gramedia Mamamen,
saya tidak langsung pulang karena sudah janjian untuk kongkow bareng dengan
jakun-jakun kosan yang jomblo atau sedang LDR di Warkop Tempo Sekarang daerah
Salemba. Di sana pun, kami cerita soal hantu di kosan, hantu di kampus, kampung, curuk dan hantu kesepian di malam-malam gelap. Kami juga tertawa lepas. Tapi pahit sekali rasanya. Kanan-kiri-depan-belakang
kami duduk muda-mudi berpasang-pasangan. Mereka seperti acuh dengan tawa kami
yang meledak, kecuali mas-mas penjaga warung yang juga jakun-jakun yang kerap
nyengir kuda sambil mesam-mesem
menatap ke arah kami. Mungkin mereka diam-diam mbatin, ”oalah, bekakas iki
teko maneh.”
Jakun-Jakun Meriang |
Sepulang dari sana pun,
para jakun koplok ini masih mengajak ke Bundaran HI. Untuk apa lagi? Ya, jelas
untuk menggenapkan luka sepi. Kemudian, bujang-bujang stres (tidak termasuk
saya) mengajak ekspedisi taman di Jakarta. Alhasil berkelilinglah kami ke Taman
Menteng, Taman Suropati. Tapi, belum genap ekspedisi itu, Mas Rombong, salah
satu jakun kesepian itu mengajak kami untuk melihat porstitusi pinggir jalan. Usai
melintasi tempat itu, bisik-bisik sebentar, berdebat akan ngopi lagi di sana
atau langsung ke tempat berikutnya. Akhirnya diputuskan: pulang.
Saat hendak ambil
wudhu, sarung saya tersangkut kawat timba milik janda di sebelah kamar kos
saya. Saat itu juga pikiran saya dikembalikan ke SMS kawan saya tentang status.
Mungkin karena janda di sebelah saya ini kerap didatangi pacarnya untuk
dokter-dokteran tiap malam minggu. Dan waktu sarung saya kesangkut, ”status”
yang muncul kali ini berbeda. Status yang berputar di kepala saya ini lebih
bersifat kamar, pribadi. Status yang mungkin membuat jakun-jakun semangat ini ngeluyur tiap malam minggu. Mungkin karena
pakewuh satu sama lain kami membuat
kami hanya melihat-lihat saja; jadi akal-akalan ekspedisi taman; kongkow di
warung hanya untuk pesan mie goreng doble plus Kopi Temanggung.
Apa kami tak ingin
mengakhiri masa lajang? Tidak juga. Seandainya membuat status ”kawin”, ”tunangan”,
itu semudah bikin status FB, tentu kita tak akan semeriang ini di malam minggu.
Betapa menuju ke status ”ora bujang
maning” akan menyenangkan banyak pihak: keluarga, teman, mantan, sahabat
dan bahkan musuh. Tapi, birokrasi untuk ke sana itu ribuan kali lebih rumit
dari pengurusan KTP, lebih rumit dari presentasi menawarkan iklan koran di
perusahaan, presentasi tugas jaman kuliah.
Angin dini hari di Jakarta
itu dingin. Sedangkan kasur dengan ”status” itu kelewat hangat. Kalau di suruh
memilih... Ah, kau tahu, aku ini bukan orang bodoh.
Kosan
Setia Kawan Lantai Dua Yang Ada Sofanya, Sabtu Legi, 13 November 2016
Citra
D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.