Gundul-gundul
pacul, gembelengan. Nyunggi-nyungi wakul, gembelengan. Wakul glimpang segane
dadi sak latar (--seorang bocah—kepalanya gundul sembrono.
Membawa bakul nasi di atas kepala dan sembrono. Bakul nasinya jatuh nasinya
berserakan ke mana-mana).
*
Teman sekamar kos saya
kelimpungan. Mukanya merah padam menahan amarah mendapati saudara jauhnya (yang
juga tinggal sekamar dengan kami) resign kerja. ”Teman saya yang juga baru juga
resign, saya ndak mau sendirian. Kerja
di sana juga ndak enak,” ujar si
bocah. Teman saya marah karena merasa disepelehkan; tidak dihargai
perjuangannya mencarikan kerja kemana-mana. Teman saya merasa rugi korban waktu
sampai harus izin cuti demi mengantar saudaranya ini cari kerja. Meski
(mungkin) teman saya juga sadar bila upayanya menolong saudaranya itu bukan
dalam rangka dagang yang harus terlibat untung-rugi.
Teman sekamar saya
sempat tidak mau bertegur sapa dengan saudara jauhnya. Tapi, setelah mengungkapkan
kekesalan dalam hatinya, teman saya melunak. Padahal sebelumnya saudara jauh
teman saya ini mau diusir, lantaran sudah beberapa kali dicarikan kerja tapi
tetap saja keluar karena tak nyaman di tempat kerjanya yang baru. Saya sendiri
hanya diam, tak berani ikut campur. Hanya kalau kebetulan kami hanya berdua di
kamar, saya nasihati dia dan memberinya semangat dan mengingatkan agar tidak
terlalu menuruti enak dan tidak enak kalau hidup di Jakarta. Terlebih jika
hanya lulusan SMA tanpa ada daya tawar.
Bagi saya, alasan saudara
teman saya itu gembelengan. Saya sempat
heran juga: kok, ya, makin modern hidup
itu makin banyak anak-anak muda pemalas. Dulu, hiburan tak sebanyak sekarang,
tapi kenapa banyak orang jadi pemalas. Harusnya, karena hiburan makin banyak,
mereka semakin giat bekerja karena hiburan juga tidak ada yang gratis. Saya berani
bilang seperti ini lantaran, saudara teman saya ini juga senang ditraktir nggaya, senang-senang di tempat hiburan.
Awalnya saya agak gregeten juga dengan bocah ini. Padahal
di Jakarta, sebagian besar orang berlomba-lomba membeli hidup. Kerja siang-malam,
sikut kanan-kiri, cari peluang dan jilat sana-sini agar bisa membeli hidup. Kepedulian
satu sama lain itu seperti suara merdu yang terdengar menjauh. Tapi, setelah
saya pikir lagi, bocah ini adalah tamparan buat saya. Bocah ini mengingatkan
bila mripat saya masih rabun untuk
melihat apa yang ada dibalik semangat kerja dan ketidakpedulian genderuwo-genderuwo Jakarta.
Bocah ini memang gembelengan dalam bekerja. Gembelengan sebagai pria dewasa yang
sudah semestinya bertanggungjawab pada dirinya, orang tuanya dan adiknya. Kemalasan
bocah ini juga dipicu oleh kemalasan atasannya yang menganggap dengan adanya
bocah ini untuk bermalas-malasan. Meski tugasnya adalah membimbing bocah ini
kerja karena masih baru, tapi tidak dilakukan dan justru seenaknya cari
keuntungan lain di luar. Tapi, di balik itu, atasan si bocah ini juga didorong
oleh big bosnya lagi yang juga malas memperhatikan kesejahteraan karyawan;
malas untuk sama-sama bekerja keras untuk memajukan perusahaan. Padahal, si bos
geng juga pengen untung besar. Alhasil, untung besar itu diwujudkan dengan memanipulasi
hak karyawan. Biar bawahan kerja setengah mati asal bos geng untung besar itu
bukan soal.
Sementara pemerintah,
yang seharusnya mengurus kesejahteraan juga gembelengan.
Namanya saja kabinet kerja, tapi kerjaannya, ya, jual negara ke sana-sini. Tidak
ada kemandirian membangun sendiri negara dengan segala sumberdaya dan tenaga
yang ada. Kemalasan yang tersamarkan dengan kerja keras itu akhirnya diwujudkan
dengan mengundang investasi asing masuk. Investasi jadi satu-satunya solusi
paling masuk akal. Akibatnya, demi menjaga agar tamu yang diundang datang
mengeruk kekayaan Indonesia ini betah, maka pemerintah harus buat sistem yang
baik bagi mereka. Semua kekumuhan harus direlokasi (baca: GUSUR) demi
kenyamanan para tamu. Setelah lahan-lahan digurur, dibangunlah tempat yang
nyaman dan mahal untuk para tamu.
Pemerintah juga
dituntut melancarkan pekerjaan para tamunya dengan membangun infrastruktur di
sana-sini agar mereka bisa bekerja dengan enak. Agar tamunya betah, matane pemerintah harus sedikit picek ke hak-hak buruh yang sejatinya merupakan
warga negara. Kalau buruh minta upah terlalu tinggi, bisa bikin tamunya tidak
betah. Kalau buruh banyak menuntut hak, produktivitas rendah dan itu tidak baik
bagi tamu. Karena memang sejak dulu tuan rumah itu harus memperlakukan tamunya
seperti raja.
*
Subhanallah
sekali kemalasan-kemalasan di kampung yang bernama Indonesia ini.
Nanti kalau si bocah
ini pulang ke Kuningan, kampung orang tuanya, para tetangga akan kasak-kusuk
ngerumpi. ”Eh, si anu pulang dari kota, tetap kere...” Kalau sudah sukses bawa
tipi-kulkas-kredit motor: ”eh si anu pasti kerjanya gak bener di kota. Masa begitu
kerja udah bisa beli macam-macam. Kerja apaan memangnya bisa kaya gitu?”
Malang benar nasibmu,
bocah. Pulang gagal dimaki; pulang berhasil orang pada dengki. Kadang saya juga
rada gimana gitu dengan hal-hal semacam ini. Kalau tidak bisa membantu, ya, mbok ndak usah memaki, mengkuliahi,
menyalah-nyalahkan. Saya pun demikian. Tidak seberapa membantu bocah ini juga
akhirnya tergelincir untuk sempat menyalahkan si bocah tanpa mau berpikir lebih
jauh, melihat lebih jauh, dan berempati lebih dalam. Maafkan saya, ya, bocah. Kalau
nanti kamu dapat pekerjaan lagi, jangan gembelengan.
Memang tidak enak rasanya jadi gedibal,
bolodupak-an di kampung sendiri.
Kalau kau dengan segala
gembelengan yang ada dalam dirimu
adalah cerminan dari wajah kami. Maka seharusnya kami bisa maafkanmu dengan menerapkan
ilmu orang tua: merasa seakan-akan menjadi orang tuamu yang bisa menerima kenakalanmu,
kesalahanmu. Marah bila kau disakiti dan ikut merasakan segala luka yang kau sembunyikan
tanpa sempat kami pahami. Tapi, berapa biji orang yang mau seperti itu?
Ya, Gusti. Maafkan
sikap gembelengan kami.
Citra
D. Vresti Trisna
Kosan
Lantai Dua Yang Ada Sofanya, Senin Pon, 14 November 2016
Selamat tidur, jangan gembelengan lagi, ya. |
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.