Nb: pernah dimuat di Jawapos
Tulisan ini buat saudara Eyang Abiyoso yang sudah tidak lagi bandel dan berjanji untuk segera serius lantas rabi. Tulisan ini juga buat guru saya yang sudah bahagia selama-lama-lama-lama-lamanya. Al Fatihah.
suatu ketika di pulau tak berpenghuni
Tulisan ini buat saudara Eyang Abiyoso yang sudah tidak lagi bandel dan berjanji untuk segera serius lantas rabi. Tulisan ini juga buat guru saya yang sudah bahagia selama-lama-lama-lama-lamanya. Al Fatihah.
suatu ketika di pulau tak berpenghuni
-al
hakim
tabik untukmu: lelaki yang melolong tengah malam
melebuhkan setiap orang dari penjara
di tanah logam kau berjalan memutar. mencari puak
untuk dilahirkan kembali di sebuah episode
“jaman telah membaptisku, jaman telah
membaptisku!”
ucapmu sembari mencari mabuk; persetubuhan yang getas
saat pengusiran tiba, salam perpisahan dibacakan
mantra-mantra yang cemas meloncat ke mata seorang gadis
pergilah, kau! dengan banyak resah yang kau gendong dengan
selendang warna tanah, menuju ke laut
ke pulau coklat tak berpenghuni. tempat jasadmu hangus
ditumbuhi pohon oak yang menyanyi tiap malam menetes sepi
(2014-2015)
warung kami
kami
hidup di sini.
dalam
cemas ampas kopi
anak-anak
kami lahir
menuju
lalulalang
yang
menggelap
pelan-pelan
(2015)
panggilan
kami
tiba-tiba saja kami jadi tua. kami tak punya kata
menunjukkan cara menangis; mengukir peta di batang trembesi
agar kau tahu jalan pulang dan menjadi kami: petani yang bahagia
menyimpan marah dan mesjid di saku celana.
mengayuh sepeda ke kota, tempat banyak tuhan berkelahi
menciptakan teror dan jam-jam malam. tapi kau enggan pulang membuat kami diasingkan
rindu. tak ingin pulang kah kau?
dengar, sejak kemarin meja-meja menyanyi. pohon asam di
pinggir sawah diam tak melambai. kursi-kursi warung tuak ngelangut, memanggil
nama-nama kekasih di rantau
yang hampir terhapus seperti suratmu tahun lalu:
“aku bahagia lantaran tetap menyimpan
desa di kota ini.
menyimpan surau di dalam hati.” ucapmu
tapi kami terus jadi tua, dan berhenti memanggil
(2015)
suatu ketika di
pulau tak berpenghuni 2
kau bersabar dalam petak kamar penuh
deret buku. mencari kebenaran dari setiap “ada” —di tusuk penghianatan yang
perempuan—dan mengingkari eksistensi remaja muda: pidato.
“siapa itu bertelanjang? kurus di jendela macam orang busung lapar.
kudisan, pula.”
matamu meneleng. kau memafhumi bila
bayangan itu adalah sebagian dari dirimu yang kelaparan dan menagih haknya. kau menari, menggerak-gerakkan
tanganmu ke depan, ke belakang, ke segala arah yang ramai suara. membiarkan
tubuhmu lengket kringat bau apak. menangkap ide yang berkelindan.
"kulit
juga punya mata, kau tau itu?”
di pulau tak berpenghuni kau tak
berhenti menelisik sawang di langit-langit kamar. lalu matamu nyalang, benci. “aku khidir kw dua yang diutus tuhan ke
sini, di tempat penuh patung berjajar dan memperkosa kesesatanmu.”
(2015)
pada ning bunyi
untuk sekelumit ingatan
aku pusatkan pendengaranku
pada ning bunyi.
yang lebih sunyi dari sunyi
bisik-bisik paling menggigit
di batin
saat itu aku diam
menemukan wajahku
menangis sendirian
(2015)
Citra D. Vresti Trisna
1 komentar:
aku kawet mbuka laptop mas gahol abis. Kawet moco sajakmu seng iki. Amouwh... uhh beuds.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.