Madura
adalah ”ayat”. Madura adalah ”Gatholoco” dalam bentuk yang lain. Ia
mempertanyakan banyak hal di luar-dalam kehidupan kita.
Mungkin di luar sana, di sekitaran
kita (yang tinggal di kota), Madura nampak sebagai sesuatu yang ”menggelikan”.
Olok-olok yang terkadang menyakitkan. Madura jarang absen dari anekdot-anekdot
getir serta penggambaran akan ”kampung terasing” yang seakan-akan beribu-ribu
kilometer jauhnya dari sesuatu yang mambu
modern. Madura kerap dihadirkan di sepetak nilai dan standar-standar angkuh
yang sebelumnya telah kita monopoli kebenarannya.
Meski demikian, Madura nampak
tidak gemetar dengan itu semua. Masyarakat Madura yang belum kehilangan jati
dirinya — di plosok-plosok desa, di gunung dan pesisir — tetap berjalan sebagaimana
yang mereka yakini. Mereka menjalani hidup dengan memegang teguh ”harga diri” —
sesuatu yang telah lama kita tinggalkan — dan tak rikuh dengan berbagai
anggapan. Mungkin ini bagi orang tua yang dulu pernah saya kenal sembarangan di warung, di kampus, di rumah teman. Tapi bagi generasi mudanya... ah, saya sungkan sendiri jadinya.
Tentu ingatan tentang restu
pendirian Nahdatul Ulama tidak lepas dari kiyainya. Sehingga, bagi para dedemit
konsultan politik para cagub dan capres harus memperhitungkan itu dan
memasukkan Madura ke dalam peta strategi tersendiri. Berbagai keajaiban
mengenai realitas pemilihan calon kerap dikejutkan oleh keajaiban-keajaiban di
luar nalar dan logika politik. Terlepas baik-buruk hal ini, tentu rasionalitas
mengenai teori marketing politik dijungkir balik di tanah gersang ini.
Ada apa dengan Madura? Meski
saya sudah menghabiskan enam tahun masa studi di pulau garam dan satu tahun
duduk di meja redaksi surat kabar lokal di Madura tetap tak membuat saya
mengerti dan bertemu dengan “Madura” yang sebenarnya. Kalau pun ada kasus-kasus
yang terjadi, tentu itu hanya di kulit luar dan tak sampai pada substansi.
Masyarakat Madura menghantam
segala kemapanan dengan pola pikir masyarakatnya yang ”lugu” tapi lugas; yang
terkesan ”memalukan” namun agung. Di dalam, Madura terbukti menjungkir balik
toko rasionalitas dari Universitas — sebut saja Trunojoyo (bukan nama
sebenarnya) — hingga bertekuk lutut. Kalau ada yang perlu bukti, pengujian, dan
segala metode taik kucing agar akademisi percaya!? Mudah saja: suruh saja,
kampus mengelola parkir tanpa sedikit pun melibatkan ”preman”.
Bagi orang yang punya kejelian mripat, tentu dapat melihat dengan jelas
bentangan spanduk bertuliskan: ”letakkan rasionalitas anda di dalam kulkas dan
perbanyaklah maklum!” Konon malaikat Jibril yang memasang spanduk tersebut agar
anda tidak kecele alias tertipu
dengan berbagai gejala yang mencuat. Karena Madura terbukti menjungkir
rasionalitas yang dianggap mapan di segi apapun, baik soal kasak-kusuk
kemenangan Soekarwo, remuknya tukang mebel asal Solo pada pilpres di empat
kabupaten, dan menghajar pseudointellektual
hampir seluruh penghuni kampus.
Meski dari kacamata sombong kita,
Madura itu fulgar, tidak artistik, romantis dan tidak in, tapi kita tak boleh lupa banyak penyair besar lahir di tempat
ini. Madura adalah puisi yang paling ”puisi”; bahasa yang (hampir) paripurna.
Pencitraan laut, tanah gersang, asin dan darah mampu membuat kita pulang ke
sebalik batin dan merenung dalam huma. Mencari wajah kemanusiaan yang pecah
belah oleh realitas kebangsaan hari ini.
Meski saya lahir di Surabaya,
tapi Madura melahirkan saya kembali sebagai manusia dengan kesadaran yang lain;
terutama dalam hal menghayati arti falsafah Jawa: eling lan waspodo. Selepas ngangsu
kaweruh di pulau garam ini, saya jadi tahu bila selalu ada ”rambu-rambu”
dalam hidup. Selalu ada pengecualian dan kesadaran bila hidup tak sepenuhnya
saklek dan punya jutaan kemungkinan. Sehingga ketika saya hendak melihat
sesuatu dari satu sudut pandang, secara otomatis saya akan dikemplang oleh sisa-sisa kebijaksanaan Madura yang masih
tersimpan. Semua itu mengantarkan saya pada dua kata: eling dan waspado.
Sekarang saya menumpang hidup
di Jakarta. Saya tak lagi menemukan Madura sebagai kompleksitas. Saya hanya
menemukan beberapa gelintir orang Madura yang menguasai toko kelontong
langganan saya. Pedagang yang mau menyediakan rokok kesukaan saya agar tak
belanja di tempat lain. Tapi, pedagang rokok ini tak sepenuhnya membuat saya
merasa “pulang kampung”.
Rasa rindu yang ganjil di batin
saya pada Madura semakin berkobar dengan pilgub DKI. Pesta yang seakan-akan
demokrasi yang terlalu sombong dan menganggap DKI adalah segala-galanya.
Sehingga debat cagub pun harus disiarkan televisi nasional. Saya jadi rindu
keajaiban pemilu di Madura. Saya rindu orang-orang yang tak gemetar dengan
kharisma hasil gincu-kosmetik. Saya rindu pengamat politik jadi gemetar
suaranya melihat hasil pemilu di Pulau Garam.
Mungkin rindu ini yang membuat
rokok saya cepat habis dan segera pulang kampung kecil-kecilan agar rindu saya
sedikit reda. Tapi, apa daya kondisi dompet membuat saya harus sedikit menahan
diri dan tidak terlalu nyepur kalau
sedang udut. Apa Madura punya
keajaiban merubah isi dompet saya terus penuh sehingga saya bisa pulang kampung
yang sebenarnya? Saya ndak tau...
Jakarta,
Tanggal Tua, Januari 2017
Citra
D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.