Dongeng di kursi kereta
dalam
aniaya mulut kecut
tiap
sel tubuhku bersumpah
tak ada
dendam antara kretek
dan
gerbong kereta
sahabat
yang saling menjelaskan
napas
negara dunia ketiga
barang-barang
penumpang
saling
silang, menunggu
bibir-bibir
hitam asongan
menandai
: malam
turun lebih cepat
dari
biasanya
alir
sungai dalam kepala
mengalir
ke stasiun tujuan
ke
peron yang genit
menuntun
ke remang
stasiun
lain yang lebih malam
menandai
panggilan
kekasih
yang tak dikenali
dalam
aniaya bisu
dongeng
kursi kereta
menyala
nomor-nomor
telepon
yang
tertukar
tubuh
yang tertukar
cinta
tertukar sebagian
kursi
kereta
mengenali
napas obrolan
dan
sebuah janji
cinta
yang lebih panas
di
kereta yang lain
Jakarta, 2016
Penipu
dalam cerita si hex
dimana
kau sembunyikan
jejak
orang asing
dan
mata penipu
dalam
ceritamu, hex
semalaman
ia mengawasi kita
obrolan
dalam seplastik
kemenyan
yang dititipkan
di
jaketmu
betapa
halus mantra itu
membuat
kita asing
di
bawah nyala lampu
betapa
wangi jejak itu
mengusir
aku
(yang
tak pernah ada)
dari
kulitmu
malam
gelap usai gerimis
membuat
jejak kian dalam
seperti
kisah hantu
mata
itu mencuri panasmu
yang
lama tiada
di
tubuhmu aku mengusir
bau
hantu di jejak penipu
agar
kau ingat aku
dalam
ceritamu
Jakarta, 2016
Menjenguk filusuf
menjengukmu
di rumah sakit
dua hari lalu
aku teringat
filusuf yang mati
dalam
melankolika
wajah
yang cemas tiba-tiba
merangsang
tiap sunyi
dinyanyikan
: nada
minor dan gesek biola
yang
dipaksakan
apa kau
akan mati?
seperti
firaun yang berani
mendebat
metafora
dalam
semiotika tuhan
habis
dan bangkrut
di
kertas saham
demam
di keningmu hanya pijar
mencairkan
biji-biji es
dan
wajahmu yang bola salju
aku
pernah mencair di sana
mengalir
ke ceruk berair
punggung
arjuna
menjengukmu
di rumah sakit
sekali lagi
aku tak
ingin kau mati
seperti
filusuf yang kalah
di
panggung dangdut
Jakarta, 2016
Luka dari kartu pos
sebaiknya kau tak perlu pergi
cintaku yang masam, menunggu
menggelitik perutmu
dengan kepak sayap kupu-kupu
kita akan berjanji
mencuri siang kota batu
penghangat perjalanan
kota yang penuh rumah sakit
menyimpan kita
saat malam berdentang
pelan-pelan
”kebahagiaan akan mengungsi,”
ucapmu, sembari menangis
menyaksikan warna-warna cerah
di kartu pos seorang kawan
seperti apa wajahmu sekarang?
seandainya kau tak pernah pergi
Jakarta, 2016
Tangismu seperti kota
masuk ke dalam nyala neon, aku melihatmu
menangisi sepanjang jalan thamrin
cinta yang tumbuh di grand indonesia
baju-baju dan kita disemprot ac
perpisahan kita disemprot malam
disemprot semburat lampu
kau menangis seperti musik dangdut
berdentam di lapak kaset
dan membuat kota sebagaimana aslinya
(kusut, bernanah dan ngeri)
Jakarta, 2016
1 komentar:
Pak Citra D. Vresti Trisna, saya suka membacanya berulang ulang.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.