Kiri: Alm Mbah Bambang & Gus Be |
Ia menyodorkan tangan pada saya dan
memperkenalkan diri. ”Saya, Bambang. Sudah dua tahun lebih tinggal di sini.”
Ia mengaku ingin menghabiskan usia
senjanya di Tampuono, pos dua pendakian Gunung Arjuna via Purwosari, Pasuruan.
Sehari-hari, kakek asal Lumajang ini hidup di pondokan kecil yang dibangun oleh
masyarakat dan pertapa. Di tempat itu terdapat beberapa pondokan kecil tak
berpintu dan dibangun berjajar. Ada juga beberapa bangunan yang dipakai untuk
ritual. Konon, pondokan itu dibangun oleh beberapa ”alumnus” Arjuna yang telah
sukses usai menempuh ritual.
”Ya, terserah kalau tidak percaya,
pondokan ini tambah banyak. Berarti makin banyak orang yang berhasil setelah
pulang dari sini lalu membangun pondok,” ujarnya. Dan saya lihat memang
pondokan di sini memang makin banyak dibanding sebelumnya waktu saya ke sini. Selain
membangun pondokan kayu, pondok ini juga dilengkapi dengan berbagai peralatan
yang bisa dipakai dengan gratis, mulai alat dapur, jaket tebal penghangat,
sarung dan alat-alat untuk berkebun.
Kehidupan di pondokan ini terbilang
cukup komunal. Mereka bisa berbagi rokok, makanan, saling membantu memotong
kayu bakar untuk memasak. Dan di hari yang dianggap keramat, para pertapa itu
biasa melakukan ritual sendiri-sendiri dan ada juga yang bersama-sama, dipimpin
oleh orang yang dianggap paling sakti di antara mereka.
Ketika aku tanya apa tujuan Bambang
menghabiskan usia tua di pondokan Tampuono, ketika banyak orang ingin mati di
rumah bersama keluarga, ia enggan menjawab. Tapi, sebelum saya melanjutkan
perjalanan ia baru mau bicara: ”ketenangan, mas,” katanya, ”apa lagi yang
diharapkan orang tua seperti saya. Mungkin kalau yang muda, itu ada yang cari
kaya, ada juga yang cari ilmu dan juga tirakat,” lanjutnya.
Bambang tua hanya turun dari
pondokan itu hanya bila membeli bahan makanan di Desa Tambak Watu, desa
terakhir di kaki gunung. Selain itu, ia juga akan turun bila tokoh spiritual
dari Kostrad (yang ia anggap guru) dan juga beberapa orang anggota aktif
berkunjung ke sana untuk latihan. Yang saya ingat dari pria ini adalah
pengakuannya untuk tidak akan turun dan kembali ke kota, ke rumahnya. ”Saya
ingin mati, moksa, kalau mungkin gagal moksa, saya ingin dikubur di sini.”
Meski suaranya terdengar mantap
ketika mengatakan itu, tapi saya lihat keraguan di sana. Wajahnya muram apabila
ia mencoba bercerita dan mengingat masa lalunya. Ekspresi itu yang membuat saya
berhenti masuk lebih dalam. Tapi, ia sendiri yang melanjutkan ceritanya.
Dua tahun lalu, usahanya gagal.
Mungkin ini salah satu alasan, ia dikucilkan keluarga besar dan ditinggalkan
istri dan anak-anaknya. Kata Mbah Bambang, bagi orang Tionghoa, tidak ada
toleransi untuk kegagalan yang sudah berkali-kali. Usai ditinggalkan
keluarganya pun ia tetap mencoba bangkit. Dan nihil! Jika akan bekerja ikut
orang pun, ia sudah tak sanggup karena sudah tua dan sering sakit-sakitan. Akhirnya
ia memanggil salah satu hal dalam ruang gelap hidupnya yang sudah lama tak
pernah diakui: klenik.
Saya yakin Bambang tidak hanya
sendiri di gunung. Masih banyak Bambang yang lain yang juga putus asa, mereka
berserak mendiami tempat-tempat keramat lainnya. Apa yang dicari di tempat
keramat itu?
Ya, hidup hanya perburuan
tempat-tempat baru di mana seseorang dapat merasa menang dari sesuatu. Gagal di
satu tempat, berkemas, lalu pergi ke tempat lainnya yang memungkinkan ia
menang. Saya tak yakin Bambang tak ingin menang melawan sesuatu, atau
setidaknya ia melawan pengucilan keluarga besarnya dengan caranya sendiri:
menyepi. Meski begitu, di sepinya gunung, Bambang tua ingin bertarung dengan
siapa?
Ah, Bambang tua, inikah eskapismemu?
Bila sejak membuka mata orang-orang di luar diri kita mati-matian bersaing, kau
menyepi dan melawan semuanya dengan kebisuan waktu kau komat-kamit membaca
mantra dalam pemujaan. Saya tak bisa menyalahkan pilihan hidupmu. Tapi, saya
ingin bertanya: apakah klenik adalah titik pijak dari sebuah cara melawan arus,
atau justru membuat sungai sendiri?
Yang membuat saya sedikit senang, di
lingkaranmu kini, modernisme ditampar habis-habisan. Rasio yang sudah keriput,
dikalengkan di dalam kulkas. Pondokan yang kian bertambah dari waktu ke waktu,
saya pikir adalah bukti klenik juga bagian dari solusi meski setengah mati
pernah kita ingkari keberadaannya dalam diri kita. Atau mungkin juga baru bisa
kita akui setelah keputusasaan telah mengetuk pintu rumah.
Di petilasan Eyang Semar, di atas
Tampuono, saya juga pernah menjumpai Mbah Soleh. Ia juga pertapa. Mungkin ia
sedikit berbeda dengan Mbah Bambang. Mbah Soleh cukup mapan hidupnya. Setelah
usahanya berjalan, ia memilih menyepi di pondokan di petilasan Eyang Semar.
Pada saya, ia tunjukkan sebuah emas batangan berbentuk persegi, lebih besar
dari bungkus korek kayu. Emas batangan itu terdapat ukiran burung garuda dan
sebuah gambar Soekarno.
Tengah: Mbah Soleh |
Emas Soekarno |
”Sak
mantun’e dicekel ndas kulo kaleh Eyang Semar, kulo diparingi niki (setelah kepala saya dipegang Eyang Semar, saya
diberi ini),” kata Mbah Soleh.
Saya hanya bisa menelan ludah. Benar-salah
kata-katanya, saya tak tahu persis. Dia sudah kaya sekarang, pikir saya. ”Ini
bukan untuk saya. Nanti saya akan gandeng orang yang punya pondok dan membangun
lagi. Saya belikan meja kursi dan keperluan lainnya. Kalau pondoknya sudah
jalan, saya berikan pondok itu ke dia,” katanya, masih dengan bahasa Jawa
halus.
Mbah Soleh terus mengatakan
pentingnya menjadi semar untuk menjadi pamomong.
Di sini, saya menemukan klenik memang tak sejalan dengan pencapaian-pencapaian
di dunia ”nyata”, dunia modern. Pencapaian dalam konteks ini tidak serakah dan
ingin menguasai. Mungkin ini sebuah kemuliaan yang selamanya bakal dipandang
sebagai kenaifan menjalani hidup.
Di Makutoromo, di atas petilasan
Eyang Semar, saya juga saksikan puluhan anak muda mengelilingi seorang pertapa.
Mereka datang rombongan bersama pertapa yang dianggap guru. Mungkin usia mereka
ada yang sepantaran dengan saya. Di sebuah sore, beberapa di antara mereka
bertukar cerita dengan saya. Semuanya berangkat dari putus asa. Di antara
mereka ingin sembuh dari luka ditinggal istri, ada yang ingin kaya, ingin
mendapat ilmu yang pilih tanding.
Mendengar mereka berkisah, saya raba
sendiri luka di kedalaman saya. Apakah saya selayaknya masuk dalam rombongan
mereka? Atau mungin anda, para pembaca yang budiman, juga bagian dari mereka?
Bila hari ini anda menolak masuk dalam rombongan klenik, mengapa tak mencoba
memastikan berapa banyak pondokan lagi yang telah dibangun oleh orang sukses
eks Arjuna?
Kalau malu datang ke gunung ini
sebagai peserta klenik dan anda ingin membuktikan dengan cara lebih akademik,
silahkan saja. Sekali waktu, buatlah riset mengenai berapa banyak pegawai
rendahan yang tiba-tiba diajak bosnya wisata ke Gunung Kawi untuk didaftarkan jadi
tumbal pesugihan. Apakah para bos besar perusahaan itu juga berangkat dari
keputusasaan? Apakah kadar keputusasaan mereka setara dengan Bambang tua?
Ah, Mbah Bambang, mohon maaf saya
tak bisa datang ketika kau meninggal. Meski benar kau mati di sana, maaf tak
bisa mengupayakan kau dikubur dan dikenang di Arjuna. Tapi, tenang saja.
Setidaknya saya mengenang dan memonumenkanmu di hati dan ingatan saja.
Mbah Bambamg, Al Fatihah.
Citra
D. Vresti Trisna
Jakarta,
15 Juli 2019
Pernah
dipublikasikan di Jurnal Faktual
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.