Laman

Jumat, 08 Mei 2020

Klenik

Kiri: Alm Mbah Bambang & Gus Be


Ia menyodorkan tangan pada saya dan memperkenalkan diri. ”Saya, Bambang. Sudah dua tahun lebih tinggal di sini.”

Ia mengaku ingin menghabiskan usia senjanya di Tampuono, pos dua pendakian Gunung Arjuna via Purwosari, Pasuruan. Sehari-hari, kakek asal Lumajang ini hidup di pondokan kecil yang dibangun oleh masyarakat dan pertapa. Di tempat itu terdapat beberapa pondokan kecil tak berpintu dan dibangun berjajar. Ada juga beberapa bangunan yang dipakai untuk ritual. Konon, pondokan itu dibangun oleh beberapa ”alumnus” Arjuna yang telah sukses usai menempuh ritual.

”Ya, terserah kalau tidak percaya, pondokan ini tambah banyak. Berarti makin banyak orang yang berhasil setelah pulang dari sini lalu membangun pondok,” ujarnya. Dan saya lihat memang pondokan di sini memang makin banyak dibanding sebelumnya waktu saya ke sini. Selain membangun pondokan kayu, pondok ini juga dilengkapi dengan berbagai peralatan yang bisa dipakai dengan gratis, mulai alat dapur, jaket tebal penghangat, sarung dan alat-alat untuk berkebun.

Kehidupan di pondokan ini terbilang cukup komunal. Mereka bisa berbagi rokok, makanan, saling membantu memotong kayu bakar untuk memasak. Dan di hari yang dianggap keramat, para pertapa itu biasa melakukan ritual sendiri-sendiri dan ada juga yang bersama-sama, dipimpin oleh orang yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Ketika aku tanya apa tujuan Bambang menghabiskan usia tua di pondokan Tampuono, ketika banyak orang ingin mati di rumah bersama keluarga, ia enggan menjawab. Tapi, sebelum saya melanjutkan perjalanan ia baru mau bicara: ”ketenangan, mas,” katanya, ”apa lagi yang diharapkan orang tua seperti saya. Mungkin kalau yang muda, itu ada yang cari kaya, ada juga yang cari ilmu dan juga tirakat,” lanjutnya. 

Bambang tua hanya turun dari pondokan itu hanya bila membeli bahan makanan di Desa Tambak Watu, desa terakhir di kaki gunung. Selain itu, ia juga akan turun bila tokoh spiritual dari Kostrad (yang ia anggap guru) dan juga beberapa orang anggota aktif berkunjung ke sana untuk latihan. Yang saya ingat dari pria ini adalah pengakuannya untuk tidak akan turun dan kembali ke kota, ke rumahnya. ”Saya ingin mati, moksa, kalau mungkin gagal moksa, saya ingin dikubur di sini.”


Meski suaranya terdengar mantap ketika mengatakan itu, tapi saya lihat keraguan di sana. Wajahnya muram apabila ia mencoba bercerita dan mengingat masa lalunya. Ekspresi itu yang membuat saya berhenti masuk lebih dalam. Tapi, ia sendiri yang melanjutkan ceritanya.

Dua tahun lalu, usahanya gagal. Mungkin ini salah satu alasan, ia dikucilkan keluarga besar dan ditinggalkan istri dan anak-anaknya. Kata Mbah Bambang, bagi orang Tionghoa, tidak ada toleransi untuk kegagalan yang sudah berkali-kali. Usai ditinggalkan keluarganya pun ia tetap mencoba bangkit. Dan nihil! Jika akan bekerja ikut orang pun, ia sudah tak sanggup karena sudah tua dan sering sakit-sakitan. Akhirnya ia memanggil salah satu hal dalam ruang gelap hidupnya yang sudah lama tak pernah diakui: klenik.

Saya yakin Bambang tidak hanya sendiri di gunung. Masih banyak Bambang yang lain yang juga putus asa, mereka berserak mendiami tempat-tempat keramat lainnya. Apa yang dicari di tempat keramat itu?

Ya, hidup hanya perburuan tempat-tempat baru di mana seseorang dapat merasa menang dari sesuatu. Gagal di satu tempat, berkemas, lalu pergi ke tempat lainnya yang memungkinkan ia menang. Saya tak yakin Bambang tak ingin menang melawan sesuatu, atau setidaknya ia melawan pengucilan keluarga besarnya dengan caranya sendiri: menyepi. Meski begitu, di sepinya gunung, Bambang tua ingin bertarung dengan siapa?

Ah, Bambang tua, inikah eskapismemu? Bila sejak membuka mata orang-orang di luar diri kita mati-matian bersaing, kau menyepi dan melawan semuanya dengan kebisuan waktu kau komat-kamit membaca mantra dalam pemujaan. Saya tak bisa menyalahkan pilihan hidupmu. Tapi, saya ingin bertanya: apakah klenik adalah titik pijak dari sebuah cara melawan arus, atau justru membuat sungai sendiri?

Yang membuat saya sedikit senang, di lingkaranmu kini, modernisme ditampar habis-habisan. Rasio yang sudah keriput, dikalengkan di dalam kulkas. Pondokan yang kian bertambah dari waktu ke waktu, saya pikir adalah bukti klenik juga bagian dari solusi meski setengah mati pernah kita ingkari keberadaannya dalam diri kita. Atau mungkin juga baru bisa kita akui setelah keputusasaan telah mengetuk pintu rumah.

Di petilasan Eyang Semar, di atas Tampuono, saya juga pernah menjumpai Mbah Soleh. Ia juga pertapa. Mungkin ia sedikit berbeda dengan Mbah Bambang. Mbah Soleh cukup mapan hidupnya. Setelah usahanya berjalan, ia memilih menyepi di pondokan di petilasan Eyang Semar. Pada saya, ia tunjukkan sebuah emas batangan berbentuk persegi, lebih besar dari bungkus korek kayu. Emas batangan itu terdapat ukiran burung garuda dan sebuah gambar Soekarno.

Tengah: Mbah Soleh


Emas Soekarno


Sak mantun’e dicekel ndas kulo kaleh Eyang Semar, kulo diparingi niki (setelah kepala saya dipegang Eyang Semar, saya diberi ini),” kata Mbah Soleh.

Saya hanya bisa menelan ludah. Benar-salah kata-katanya, saya tak tahu persis. Dia sudah kaya sekarang, pikir saya. ”Ini bukan untuk saya. Nanti saya akan gandeng orang yang punya pondok dan membangun lagi. Saya belikan meja kursi dan keperluan lainnya. Kalau pondoknya sudah jalan, saya berikan pondok itu ke dia,” katanya, masih dengan bahasa Jawa halus.

Mbah Soleh terus mengatakan pentingnya menjadi semar untuk menjadi pamomong. Di sini, saya menemukan klenik memang tak sejalan dengan pencapaian-pencapaian di dunia ”nyata”, dunia modern. Pencapaian dalam konteks ini tidak serakah dan ingin menguasai. Mungkin ini sebuah kemuliaan yang selamanya bakal dipandang sebagai kenaifan menjalani hidup.

Di Makutoromo, di atas petilasan Eyang Semar, saya juga saksikan puluhan anak muda mengelilingi seorang pertapa. Mereka datang rombongan bersama pertapa yang dianggap guru. Mungkin usia mereka ada yang sepantaran dengan saya. Di sebuah sore, beberapa di antara mereka bertukar cerita dengan saya. Semuanya berangkat dari putus asa. Di antara mereka ingin sembuh dari luka ditinggal istri, ada yang ingin kaya, ingin mendapat ilmu yang pilih tanding.

Mendengar mereka berkisah, saya raba sendiri luka di kedalaman saya. Apakah saya selayaknya masuk dalam rombongan mereka? Atau mungin anda, para pembaca yang budiman, juga bagian dari mereka? Bila hari ini anda menolak masuk dalam rombongan klenik, mengapa tak mencoba memastikan berapa banyak pondokan lagi yang telah dibangun oleh orang sukses eks Arjuna?

Kalau malu datang ke gunung ini sebagai peserta klenik dan anda ingin membuktikan dengan cara lebih akademik, silahkan saja. Sekali waktu, buatlah riset mengenai berapa banyak pegawai rendahan yang tiba-tiba diajak bosnya wisata ke Gunung Kawi untuk didaftarkan jadi tumbal pesugihan. Apakah para bos besar perusahaan itu juga berangkat dari keputusasaan? Apakah kadar keputusasaan mereka setara dengan Bambang tua?

Ah, Mbah Bambang, mohon maaf saya tak bisa datang ketika kau meninggal. Meski benar kau mati di sana, maaf tak bisa mengupayakan kau dikubur dan dikenang di Arjuna. Tapi, tenang saja. Setidaknya saya mengenang dan memonumenkanmu di hati dan ingatan saja.

Mbah Bambamg, Al Fatihah.


Citra D. Vresti Trisna
Jakarta, 15 Juli 2019
Pernah dipublikasikan di Jurnal Faktual

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.