”Konsep-Konsep
’lingkungan hidup’, ’suasana’ barangkali hanyalah sebuah mode baru sejak kita
hidup dengan dangkal jauh dari orang lain, jauh dari kehadiran mereka, obrolan
mereka,” kata Jean Baudrillard dalam Le societe
de consommtion.
Benarkah waktu itu
(ketika buku ini ditulis) masyarakat Eropa sedang berpura-pura hidup beradab
dan elegan? Baudrillard tak menyangkal itu! Sebuah situasi di mana orang-orang
jadi seperti batu yang bergulir, tapi tetap berlumut. Manusia hidup dengan
lancung. Kelimpahruahan objek menyebabkan masyarakat Eropa jadi sangat sopan,
berhati-hati tapi abai dengan hidup orang lain.
Meski pada akhirnya,
Baudrillard mengakui beraneka kepalsuan dengan berkata lantang: ”kita hidup di
bawah pandangan bisu tentang objek yang lembut, menipu dan selalu berulang.”
Mungkin inilah
satu-satunya cara memisahkan manusia dari Tuhan meski setiap minggu mereka
mendatangi gereja. Konon, perdagangan tak akan meraup banyak untung bila
manusia masih memperhitungkan Tuhan sebagai ”batasan”. Selubung gelap produk
dengan beraneka mitos di dalamnya tak akan laku ketika manusia mengenal
kebutuhannya yang sejati. Kebutuhan untuk hidup yang paling sejati diperoleh
melalui interaksi antar sesama manusia dalam selubung kemesraan, cinta.
Memang benar bila
”kelimpahruahan objek” tak dapat dihindari karena ia adalah efek ke sekian dari
kebudayaan manusia. Ketika objek tak berhenti diproduksi, sementara kebutuhan
akan objek rendah bakal jadi kiamat kecil bagi industri yang sedang tumbuh pesat
dan tak ingin buru-buru bangkrut, hingga pada akhirnya sebelum mereka
memproduksi barang secara massal, perlu diciptakan sebuah iklim konsumsi yang
nyaman bagi masyarakat Eropa.
Perselisihan pandang
antara agama dan industrialisasi telah terjadi sejak lama. Agama memandang para
industrialis adalah bayi tua yang selalu ”lapar” dan ingin dipuaskan. Sementara
para industrialis memandang agama adalah nilai-nilai lama yang kolot; mengajak
manusia jadi patung penuh sawang dan berdebu di pojok gereja. Dan ketika Eropa
dikuras habis, saat itulah para industrialis melirik ke timur.
Saya kira, apa yang sebut
”barat melirik ke timur” bukan hanya perkara keagungan falsafah dan kedigdayaan
bangsa timur semata. Tapi, mungkin juga, keagungan kebudayaan dan falsafah
timur menjadikan orang-orangnya besar kepala. Mereka berpikir bila barat
melirik ke timur adalah murni proses belajar. Itu salah besar! Dan dari sinilah
petaka dimulai.
Sebelum manusia
digerakkan melakukan sesuatu, ia harus lebih dulu dibongkar isi kepalanya. Dan
untuk menuju ke sana, tentu saja butuh alat yang efektif dan tak bosan untuk
bertanya mengenai: apa yang mereka pikirkan terlebih dahulu.
Kenyataan yang
menyakitkan bagi orang timur adalah industrialis barat ingin membuat orang-orang
timur jadi gelandangan yang senang berbelanja. Dan hal ini butuh upaya yang
sistematis. Butuh waktu yang tidak sebentar. Luka paling membekas dari
penjajahan yang dialami bangsa-bangsa timur menjadi modal dasar kemenangan mega
proyek kapitalisme di timur. Penjajahan yang berlangsung lama meninggalkan rasa
lelah berkepanjangan, kehilangan orientasi hidup dan kehilangan jati diri.
Penjajahan dengan bedil
sudah lama lewat. Tapi, penjajahan bersenjata hanya awal dari masuknya
penjajahan berikutnya yang juga tidak kalah mengerikan. Senjata yang
ditodongkan di kepala bangsa-bangsa jajahan hanya alat penjajah untuk mendikte
isi kepala bangsa jajahan. Setelah kehilangan identitas, bangsa-bangsa timur
menjadi manusia yang haus untuk mencari figur untuk ditiru. Mereka berbelanja
impian dan rela membayar mahal pada label-label yang dirasa mewakili kehidupan
mereka. Kontainer-kontainer berisi aneka mimpi dan software yang gagal terinstal di kepala orang-orang timur
menciptakan beraneka konsleting; menciptakan kekosongan di kepala dan hati
orang-orang timur.
Kekosongan massal adalah titik
nol sebelum seseorang digerakkan menuju sesuatu. Agar jiwa-jiwa yang kosong ini
tidak mengorganisir diri dan saling menyembuhkan lewat interaksi sosial yang
sehat, saat itulah media sosial dibutuhkan. Terlebih bangsa timur tak dapat
hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja interaksi yang dibuat
harus palsu. Media sosial hanya sebuah ilusi optik murahan agar manusia
berpikir mereka telah menjalankan tugas kemanusiaan: melakukan interaksi
sosial. yang paling diharapkan media
sosial menggerakkan ”motivasi” seseorang.
Setelah lelah mencari
tahu ”siapa aku”, di saat yang bersamaan konsumen media sosial butuh identitas
sementara. Identitas itu tentu saja harus berkilau agar kekosongan dalam
dirinya tertutupi dan dianggap telah menjadi sesuatu. Untuk menuju ke sana,
seseorang harus berbelanja. Memilih diantara sekian banyak kelimpahruahan untuk
ditempelkan dan menjadi label dirinya. Tentu saja karena media sosial terus
bertanya: apa yang kita pikirkan dan orang lain (audience) — yang juga mengalami kekosongan yang sama — menunggu kabar dari
kita.
Inilah puncak kepandiran! Media sosial tak
pernah mempersoalkan kesalahan jawaban kita. Ia bertanya apa yang kita
pikirkan, tapi kita jarang menjawab pertanyaan media sosial dengan benar. Kita
terus menciptakan kamuflase penutup kekosongan diri dengan terus berperilaku
konsumtif, terus berbelanja. Kita tak bosan mengisi sampah visual yang tolol
agar dianggap sesuatu. Dan sialnya audience
kita percaya. Mengapa? Karena mereka juga melakukan ketololan yang sama.
Jakarta, September 2019
Citra D. Vresti Trisna
Nb: Pernah dimuat di
Jurnal Faktual
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.