Laman

Jumat, 01 Mei 2020

Konsumsi dan Ketololan Kita di Media Sosial


”Konsep-Konsep ’lingkungan hidup’, ’suasana’ barangkali hanyalah sebuah mode baru sejak kita hidup dengan dangkal jauh dari orang lain, jauh dari kehadiran mereka, obrolan mereka,” kata Jean Baudrillard dalam Le societe de consommtion.

Benarkah waktu itu (ketika buku ini ditulis) masyarakat Eropa sedang berpura-pura hidup beradab dan elegan? Baudrillard tak menyangkal itu! Sebuah situasi di mana orang-orang jadi seperti batu yang bergulir, tapi tetap berlumut. Manusia hidup dengan lancung. Kelimpahruahan objek menyebabkan masyarakat Eropa jadi sangat sopan, berhati-hati tapi abai dengan hidup orang lain.

Meski pada akhirnya, Baudrillard mengakui beraneka kepalsuan dengan berkata lantang: ”kita hidup di bawah pandangan bisu tentang objek yang lembut, menipu dan selalu berulang.”

Mungkin inilah satu-satunya cara memisahkan manusia dari Tuhan meski setiap minggu mereka mendatangi gereja. Konon, perdagangan tak akan meraup banyak untung bila manusia masih memperhitungkan Tuhan sebagai ”batasan”. Selubung gelap produk dengan beraneka mitos di dalamnya tak akan laku ketika manusia mengenal kebutuhannya yang sejati. Kebutuhan untuk hidup yang paling sejati diperoleh melalui interaksi antar sesama manusia dalam selubung kemesraan, cinta.

Memang benar bila ”kelimpahruahan objek” tak dapat dihindari karena ia adalah efek ke sekian dari kebudayaan manusia. Ketika objek tak berhenti diproduksi, sementara kebutuhan akan objek rendah bakal jadi kiamat kecil bagi industri yang sedang tumbuh pesat dan tak ingin buru-buru bangkrut, hingga pada akhirnya sebelum mereka memproduksi barang secara massal, perlu diciptakan sebuah iklim konsumsi yang nyaman bagi masyarakat Eropa.

Perselisihan pandang antara agama dan industrialisasi telah terjadi sejak lama. Agama memandang para industrialis adalah bayi tua yang selalu ”lapar” dan ingin dipuaskan. Sementara para industrialis memandang agama adalah nilai-nilai lama yang kolot; mengajak manusia jadi patung penuh sawang dan berdebu di pojok gereja. Dan ketika Eropa dikuras habis, saat itulah para industrialis melirik ke timur.


Saya kira, apa yang sebut ”barat melirik ke timur” bukan hanya perkara keagungan falsafah dan kedigdayaan bangsa timur semata. Tapi, mungkin juga, keagungan kebudayaan dan falsafah timur menjadikan orang-orangnya besar kepala. Mereka berpikir bila barat melirik ke timur adalah murni proses belajar. Itu salah besar! Dan dari sinilah petaka dimulai.

Sebelum manusia digerakkan melakukan sesuatu, ia harus lebih dulu dibongkar isi kepalanya. Dan untuk menuju ke sana, tentu saja butuh alat yang efektif dan tak bosan untuk bertanya mengenai: apa yang mereka pikirkan terlebih dahulu. 

Kenyataan yang menyakitkan bagi orang timur adalah industrialis barat ingin membuat orang-orang timur jadi gelandangan yang senang berbelanja. Dan hal ini butuh upaya yang sistematis. Butuh waktu yang tidak sebentar. Luka paling membekas dari penjajahan yang dialami bangsa-bangsa timur menjadi modal dasar kemenangan mega proyek kapitalisme di timur. Penjajahan yang berlangsung lama meninggalkan rasa lelah berkepanjangan, kehilangan orientasi hidup dan kehilangan jati diri.

Penjajahan dengan bedil sudah lama lewat. Tapi, penjajahan bersenjata hanya awal dari masuknya penjajahan berikutnya yang juga tidak kalah mengerikan. Senjata yang ditodongkan di kepala bangsa-bangsa jajahan hanya alat penjajah untuk mendikte isi kepala bangsa jajahan. Setelah kehilangan identitas, bangsa-bangsa timur menjadi manusia yang haus untuk mencari figur untuk ditiru. Mereka berbelanja impian dan rela membayar mahal pada label-label yang dirasa mewakili kehidupan mereka. Kontainer-kontainer berisi aneka mimpi dan software yang gagal terinstal di kepala orang-orang timur menciptakan beraneka konsleting; menciptakan kekosongan di kepala dan hati orang-orang timur.

Kekosongan massal adalah titik nol sebelum seseorang digerakkan menuju sesuatu. Agar jiwa-jiwa yang kosong ini tidak mengorganisir diri dan saling menyembuhkan lewat interaksi sosial yang sehat, saat itulah media sosial dibutuhkan. Terlebih bangsa timur tak dapat hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja interaksi yang dibuat harus palsu. Media sosial hanya sebuah ilusi optik murahan agar manusia berpikir mereka telah menjalankan tugas kemanusiaan: melakukan interaksi sosial.  yang paling diharapkan media sosial menggerakkan ”motivasi” seseorang.

Setelah lelah mencari tahu ”siapa aku”, di saat yang bersamaan konsumen media sosial butuh identitas sementara. Identitas itu tentu saja harus berkilau agar kekosongan dalam dirinya tertutupi dan dianggap telah menjadi sesuatu. Untuk menuju ke sana, seseorang harus berbelanja. Memilih diantara sekian banyak kelimpahruahan untuk ditempelkan dan menjadi label dirinya. Tentu saja karena media sosial terus bertanya: apa yang kita pikirkan dan orang lain (audience) — yang juga mengalami kekosongan yang sama — menunggu kabar dari kita.

Inilah puncak kepandiran! Media sosial tak pernah mempersoalkan kesalahan jawaban kita. Ia bertanya apa yang kita pikirkan, tapi kita jarang menjawab pertanyaan media sosial dengan benar. Kita terus menciptakan kamuflase penutup kekosongan diri dengan terus berperilaku konsumtif, terus berbelanja. Kita tak bosan mengisi sampah visual yang tolol agar dianggap sesuatu. Dan sialnya audience kita percaya. Mengapa? Karena mereka juga melakukan ketololan yang sama.


Jakarta, September 2019
Citra D. Vresti Trisna

Nb: Pernah dimuat di Jurnal Faktual

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.