Keimanan yang telah mencapai puncaknya
perlu kehadiran setan; gatholoco;
bandit; jin; atau segala hal yang menjadi antitesis keimanan. Sebab, keimanan
yang tumbuh tanpa penguji adalah hambar; bisa jadi barbar. Mungkin karena itu seorang
sufi perlu tinggal di Dolly. Mungkin yang bukan sufi salon harus bermukim di Kremil
dan punya kegemaran ngopi di warung
remang-remang dan warung pangku.
Konon, sepengetahuan saya, sufi itu
tidak bikin lembaga atau organisasi agama yang melakukan penarikan dana pada
anggota agar bisa hidup dan eksis. Kabarnya juga, organisasi adalah strategi
setan pasca kelahiran Yesus untuk
menyesatkan dan membuat kastanisasi keimanan sebagai akibat dari hierarki yang
jadi konsekwensi logis sebuah organisasi.
Konon sufi itu tidak berada di satu
tempat untuk pamer kebijaksanaan serta diam-diam menikmati dirinya dikeramatkan
di pondok-pondok. Atau yang lebih ekstrim, sufi tidak takut beceknya pasar,
tidak perlu diantar keliling naik mobil dan tidak menunggu amplop setelah
berceramah.
Tapi, saya tidak setuju kalau sufi itu
harus nyelempit atau sembunyi di
gunung-gunung dengan alasan klise: menghindari hal-hal yang sifatnya keduniawian.
Karena, kalau mereka menolak
keduniawian, mengapa mereka tidak protes saja pada Tuhan? Kalau perlu mereka harus
mengagendakan berdemo pada Tuhan dan melakukan penolakan pada dunia serta
menuntut dikembalikan dalam kandungan. Kalau perlu, mereka menyarankan Tuhan
untuk merevisi takdir dan memilih tidak usah dilahirkan.
Mungkin di dalam hati para sufi itu
bertanya: apa menariknya hidup di dunia yang bergelimang dosa? Bukankah kekasih
sejati itu hanya Tuhan?! Lain tidak. Tapi, kalau hal ini benar, maka aku ingin balik
bertanya: mengapa Tuhan perlu menciptakan setan kalau Dia mentakdirkan semua orang
bisa hidup lurus?
Kalau Tuhan itu mencintai kebaikan, mengapa Dia tak
melenyapkan saja para bromocorah di terminal dan senayan.
Saya tidak mengatakan kesalahan dan
segala hal yang menjadi antitesis keimanan itu sah dan wajar. Tapi, kalau pada akhirnya
keimanan tidak dapat mentolelir, memahami, segala sesuatu di luar ’kebaikan’,
bisakah kita simpulkan bila keimanan itu sedang lupa diri.
Bukankah ’kehidupan’ tidak dibentuk dari
sesuatu yang baik dan positif saja, tetapi juga dengan yang buruk dan negatif.
Selain itu, bukankah keimanan adalah sesuatu yang relatif, dimana kita tak tau
bagaimana mesti menentukan garis batas dan indikator serta kadar tinggi-rendah
iman.
Tiba-tiba saya jadi ingat dengan Narcisius
yang tidak sekonyong-konyong menemukan ketampanannya ketika bercermin di sebuah
sungai yang mengalir karena air bergolak. Waktu ia bercermin ikan-ikan ikan
sedang berkecipak membuat riak-riak air sehingga ia tak kunjung melihat
ketampanannya.
Terus terang saya takut membayangkan
upaya pencarian keimanan seseorang itu sebagaimana apa yang dilakukan Narcisius
ketika bercermin dalam air. Saya takut kesalehan dan keimanan dalam konteks
tertentu bisa jadi sebentuk narsisme yang intoleran. Seperti ketika bersorak
gembira melihat bom meledak dan menghanguskan beberapa orang asing yang kita
beri label kafir.
Kata seorang yang sering mentraktir saya
minum kopi pernah berkata, ”Dua tahun saya berpura-pura gila hanya untuk
memastikan bila kemanusiaan hari ini benar-benar terletak di baju. Jadi ketika
saya tidak berpakaian selembar pun. Lalu keluar ke halaman, saat itu orang lain
menertawakan saya; saat itu Tuhan bersama saya,” ujarnya.
Mungkin teman saya terlalu hiperbol.
Tapi, mungkin ia bisa jadi benar karena saat seseorang merendahkan kita, saat
itu kita bisa jadi lebih tinggi satu tingkat dari yang sedang meremehkan kita.
Dan hal lain yang bisa kupetik dari apa yang dikatakan kawan saya: narsisme
keimanan adalah penyakit umat beragama negeri ini.
Saya ingat betul tentang kisah tragis
seorang kawan satu tim KKN yang kebetulan beragama Nasrani. Ia tidak dianggap
di dalam sebuah masyarakat tempat kita ber KKN. Saya juga ingat betul ketika
seorang pemuka agama di tempat KKN menyindir dan mengaitkan agama dan keimanan
saya hanya karena sarung. Bah! Apa-apaan pula itu.
Akhirnya karena kesal, saya katakan
padanya, ”Setahuku Muhammad tidak pernah memakai sarung.” Ujarku. Saat itu ia
emosi dan berbalik menyerang, ”Ulama dan budaya dalam Islam di sini
menyarankan kita memakai sarung.”
Karena tak mau kalah, saya katakan
padanya, ”Kalau begitu, saya ikut nabi saja.”
Ya, cara manusia-manusia modern memang
unik untuk merasa baik. Cukup lihat seorang penjudi dan pemabuk, penjudi dan
penggemar moh limo, insyaAllah kita sudah jadi lebih baik
dan berasa masuk sorga sendiri. Tapi, kebaikan dan keimanan semacam itu kah
yang selalu terlahir dari manusia modern? Sebuah iman yang menjadikan kita
memiliki kecenderungan untuk menjadi pengganti Tuhan; hakim moral yang menjaga
keimanan dan mengurusi orang akhlak orang lain; menjadi maha satpam bagi hidup
orang lain.
Bukankah keimanan terlepas dari ruang
waktu dan sangat vertikal. Sedangkan dunia tak pernah jengah menyaksikan banjir
darah akibat keimanan yang dikait-kaitkan dengan hierarki organisasi, politik
dan matematika kepentingan individu untuk kebutuhan pengakuan iman yang
irrasional.
Lalu, apa ketika para sufi itu menyepi,
mereka sedang menghindarkan keimanan mereka dari rupa-rupa pelembagaan dan
politik agama di dunia? Atau mereka sedang bersunyi-sunyi untuk senantiasa memelihara
keimanan dan melupakan kemanusiaannya?
Siapa saja mungkin sanggup memelihara
keimanan di mesjid, pondok pesantren—tempat dimana sewajarnya iman bisa hidup.
Tapi, siapa yang masih sanggup memelihara keimanan di Dolly, Moroseneng, Sarkem—tempat
yang rajin kita maki-maki sebagai lingkungan maksiat tak kenal Tuhan.
Kalau yang dikatakan teman saya benar.
Maka bisa jadi pelacur dolly lebih baik ketimbang orang yang rajin memaki dan
melihat keimanan di kulit luar.
Malang,
21 Desember 2013
2 komentar:
semoga bermanfaat
mantab bro itu benar banyak manusia mengatas namakan agama hanya untuk kepuasan nafsunya saja kepuasan akal dan pikirannya untuk melaksanakan propaganda tai kucing berlebel agama...accchh ironis sekali negeri ini
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.