Tubuhku sekaku batang pohon rubuh. Rambutku jadi daun
Aku menempel pada batu berlumut lalu mengunci mulutku
Raja jin pun tak kuasa mengacaukan tapa diamku
apalagi cucup lintah, sengat kelabang dan nyamuk hutan
Punggungku dijahit rajah penangkal macan, ular dan teluh
Air dari seribu sungai telah kuminum agar tubuhku setenang
batu; agar hatiku sejuk; darahku setenang air kali
Kupastikan senapanku di posisi sempurna agar mesiu tak basah
Hanya ujung jemari kubiarkan lentur. Agar bedil meletus sempurna
menyembur timah dan ciprat api ke pelipis kijang air
Aku tetap bisu sampai ia tersentak kaget dan tersungkur
mencium tanah. Sebelum itu terjadi, aku pendamping
kembang hutan yang mekar dan menguncup
Aku temani kayu-kayu melapuk lalu hancur di tanah basah
Biar tonggeret menjerit-jerit, aku diam. Biar seribu hantu hutan
meniup leherku yang terbuka, aku tetap batang pohon rubuh
Aku menunggu ledakan batin bersama senapan lantak
Selebihnya diam. Membayar hutang dari segala yang terburu-buru
dengan mematung-bisu. Tak ada rumah, tubuh kekasih
dan gelak tawa di warung tuak. Hanya bisu! Bisu! Dan bisu!
Seperti hidup yang hanya perihal menunggu
Setelah segalanya (mungkin) telah sempurna: jejak kaki,
kotoran segar dan bekas rumput yang tak habis dimakan
telah kusimpan di kepalaku, maka aku pun menunggu
Aku tak ingin gagal di pertapaan singkat ini. Segala gerakan
adalah penghianatan atas laku. Ketidaksetiaan yang harus
dibayar dengan rasa malu yang panjang di warung-warung tuak
Mataku kobar! Urat leher mengencang, tapi kukendalikan
Mata itu kubidik, tepat. Pelatuk kuremas: senapan meletus
Seekor kijang menjerit, sekarat dan tersungkur. Aku berlari
mencabut parang siap menyembelih. Tak jadi kulakukan
Ternyata aku lebih sekarat dan mati dari seekor buruan
2020
* Pernah dimuat di Koran Tempo edisi 6 Juni 2020
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.