Laman

Kamis, 03 Desember 2020

Hikayat Pemburu Kijang

 

Tubuhku sekaku batang pohon rubuh. Rambutku jadi daun

Aku menempel pada batu berlumut lalu mengunci mulutku

Raja jin pun tak kuasa mengacaukan tapa diamku

apalagi cucup lintah, sengat kelabang dan nyamuk hutan

Punggungku dijahit rajah penangkal macan, ular dan teluh

 

Air dari seribu sungai telah kuminum agar tubuhku setenang

batu; agar hatiku sejuk; darahku setenang air kali

Kupastikan senapanku di posisi sempurna agar mesiu tak basah

Hanya ujung jemari kubiarkan lentur. Agar bedil meletus sempurna

menyembur timah dan ciprat api ke pelipis kijang air

Aku tetap bisu sampai ia tersentak kaget dan tersungkur

mencium tanah. Sebelum itu terjadi, aku pendamping

kembang hutan yang mekar dan menguncup

Aku temani kayu-kayu melapuk lalu hancur di tanah basah

 

Biar tonggeret menjerit-jerit, aku diam. Biar seribu hantu hutan

meniup leherku yang terbuka, aku tetap batang pohon rubuh

Aku menunggu ledakan batin bersama senapan lantak

Selebihnya diam. Membayar hutang dari segala yang terburu-buru

dengan mematung-bisu. Tak ada rumah, tubuh kekasih

dan gelak tawa di warung tuak. Hanya bisu! Bisu! Dan bisu!

 

Seperti hidup yang hanya perihal menunggu

Setelah segalanya (mungkin) telah sempurna: jejak kaki,

kotoran segar dan bekas rumput yang tak habis dimakan

telah kusimpan di kepalaku, maka aku pun menunggu

Aku tak ingin gagal di pertapaan singkat ini. Segala gerakan

adalah penghianatan atas laku. Ketidaksetiaan yang harus

dibayar dengan rasa malu yang panjang di warung-warung tuak

 

Mataku kobar! Urat leher mengencang, tapi kukendalikan

Mata itu kubidik, tepat. Pelatuk kuremas: senapan meletus

Seekor kijang menjerit, sekarat dan tersungkur. Aku berlari

mencabut parang siap menyembelih. Tak jadi kulakukan

Ternyata aku lebih sekarat dan mati dari seekor buruan

 

2020


* Pernah dimuat di Koran Tempo edisi 6 Juni 2020

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.