Ini malam Jumat. Sepi. Dimana biasanya akan ada banyak kopi, rokok yang membuat segalanya tiba-tiba hidup. Sebab jumat malam itu sebuah forum tak bertuan, karena hanya ada salah satu diantara penikmatnya yang kebetulan punya uang lebih, rokok dan cerita. Tentang apa saja. Yang bisa membuat kita penikmatnya merasa tidak sendiri dan punya kawan untuk berbagi.
Tapi jumat kali ini memang sepi. Diantara para penikmatnya, paling tidak aku dan Tulus sama-sama sedang kering. Tulus sedang membantu kawannya agar dapat sedikit kecerahan pegangan, sedang aku sendiri nekat dengan bermodal uang dua ribu rupiah berangkat ke kletek untuk mencari segelas kopi susu. Dan tentu kau tau, dengan jumlah uang sebanyak itu bisa dipastikan bila aku akan ngoyot di situ. Ngopi berlama-lama agar malam tak cepat usai.
Alhasil, dengan segelas kopi susu dan sebungkus rokok sisa kemarin, kunikamati malam panjang dengan sekelumit penganiayaan hati. Tapi mau bagaimana lagi. Apa lantas dengan keadaan ini lantas aku mengamuk kepada siapapun agar ada yang mau perduli? Tidak.
Kata orang, dan katanya Tuhan juga bilang, Tuhan akan mengabulkan doa mereka yang teraniaya. Tapi aku masih terlalu jauh dengan Nya. Sungkan rasanya. Kalau toh dalam jumat malam yang sepi ini aku mengundang Tuhan untuk hadir dengan suguhan join kopi susu denganku. Tak enak rasanya. Dan dua ribu pertama sebagai bantingan awal telah diletakkan. Siapa selanjutnya? Sebenarnya aku saran pada Tuhan (memelas) agar bantingan selanjutnya bisa sampai dua milyar atau lebih. Sebab jumlah segitu sudah tidak bisa dibilang pongah dan berlebihan. Masih ada jumlah yang jauh lebih besar dari itu, dan Tuhan pun OK saja memberikan. Masa denganku ia tak mau memberi.
Kalau Tuhan bilang, kemiskinan akan dekat dengan kemungkaran dan dosa, rasanya itu benar. Tapi bagaimana denganku? Kekeringan kantong juga hamir membawaku ke sana. Hanya saja aku tak punya uang lebih banyak untuk membayar semuanya kalau kejahatanku harus dipolisikan. Aku tak kuat bila harus nyogok sana-sini. Karena kalau ingin mbajing harus punya uang lebih agar selamat. Dan aku tak punya kemungkinan itu. Setidaknya kalaupun dikantongku ada uang sepuluh ribu saja, hidupku sudah ayem. Dalam arti sebungkus rokok surya 12 dan kembalinya bisa dipakai membeli segelas kopi hitam untuk berlama-lama di warung. Sebab penjaga warungnya ku kenal baik, hanya saja masih sedikit rikuh bila harus bon.
Maka benar saja, dengan segelas kopi susu yang sudah tidak lagi hangat, dan rokok sisa kemarin. Maka giliran pikiranku yang meliar. Membayangkan bila ada orang yang hendak menjatuhkan uangnya se koper besar dan isinya ratusan ribu semua. Ah, mungkin akan semakin bertambah panjang jumat malam ini. Tapi, sekali lagi mohon dipahami kesulitan orang yang sedang tak banyak uang tapi sedang kebelet ngopi. Pahami saja semuanya tanpa pikir panjang. Biasalah. Anggap saja orang gila sedang bercericau tentang kayalan. Ketimbang aku harus memakai sarungku untuk penutup wajah lantas nggarong rumah orang. Lebih baik aku seperti ini. (semoga anda tidak bersombong ria untuk berpikir “mengapa aku tidak berusaha?” Aku sedang tak banyak uang, jadi tak butuh ceramah )
Karena perekonomian sedang sekarat, maka yang bisa ku lakukan adalah dengan menjadi pendengar setia kisah-kisah penjaga warung kopi agar ia tidak keberatan bila aku duduk berlama-lama di warungnya. Kali ini Sapari, penjaga warung kletek, mengutarakan niatnya untuk membuka warung sendiri. Ia sedang kebingungan mencari lahan yang baik, strategis untuk bakal warung kopinya. Dan semoga Sapari tak menaruh harapan padaku tentang masalah ini. Semoga ia paham dengan sorot mataku “aku sedang tak ada uang, ri. Jadi jangan berharap berlebihan denganku”. Maka cerita saja, dan akan ku dengarkan. Akan ku komentari dan kuberi saran sebisaku, semampuku, selama aku tau. Dan aku memberi penguatan padanya agar ia bisa membuka warung sendiri.
Kita akhirnya membicarakan masalah masa depan yang tak tentu arahnya. Tentang modal usaha buka warung sendiri yang masih ada di angan-angan, juga tentang gelar kesarjanaanku yang nantinya hanya sebagai bungkus kacang. Tuhan. Bolehkah aku KKN? Selanjutnya, sambil menghisap rokokku dalam-dalam, aku begitu bebalnya hingga setua ini masih saja percaya bila idialis itu masih ada. Percaya bila selain kompromi, akan ada peluang untuk bisa hidup sedikit lebih baik. Karena aku bukan tipe orang yang rewel bila berurusan dengan uang. Bisa merokok setiap hari, punya kerja tetap, ngopi, makan, membeli buku, melanjutkan S2, dan tidur nyenyak. Itu sudah cukup. Tidak rewel kan? Makanya, kalau ada yang berniat membantu, maka bantulah calon sarjana yang bebal ini. Tapi aku tak bisa balas “lemah teles, gusti Allah seng mbales”. Semoga cukup.
Menjelang pulang, Sapari mengucap banyak terimakasih padaku. Aku sendiri tak tahu untuk apa. Selain karena aku telah datang di warungnya dan menemaninya kerja, semoga saranku berguna dan menjadi penguatan ketika ia akan buka usaha warkop sendiri.
“Tuhan yang welas asih. Kalau kau tak hendak membantuku, maka bantulah kawanku dengan usahanya. Sebab ia ada anak istri yang mesti diperjuangkan. Aku tau kau dengar, Tuhan. Amin.
Kletek, menjelang pagi.
13-14 Mei 2011
Citra D vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.