”Sebaiknya
kita memang harus percaya. Segala hal yang hari ini ’dituhankan’ akan bangkrut
dengan sendirinya; habis tanpa sisa. Termasuk dalam urusan ketimpangan hidup,
penindasan di dunia kerja, dan segala bentuk nilai yang membelenggu pada
akhirnya akan habis. Kita hanya musti percaya bila nihilisme itu real. Sekali lagi hanya soal waktu,”
kataku pada mahasiswa-mahasiswi ababil, di suatu sore, pada jaman masih doyan
omong.
Waktu
itu mahasiswa yang aku kuliahi hanya manggut-manggut (sepertinya mereka
percaya), atau mungkin diam-diam mengomel dalam dirinya: orang ini sudah gila,
jadi sebaiknya saya manggut-manggut biar dia senang ketimbang dia ngamuk, mengomel dan segera usai
ceramahnya.
Tidak terbesit
untuk berpikir: adakah diantara orang yang aku ceramahi ini termasuk
orang-orang yang bosan menunggu nasib baik berpihak. Bosan miskin, atau
orang-orang yang sedang terpinggirkan, atau orang yang sudah terlanjur
frustasi.
Mungkin
waktu itu saya sedang mengigau, kalap, yang tanpa sengaja membuat kalian masih
harus dijejali mimpi-mimpi manis soal hidup akan berubah di tengah jaman yang wow ini dan lupa menunjukkan cara agar
hidup segera berubah. Dan kalau di akhirat mahasiswa yang aku ceramahi menagih bagaimana caranya,
terus terang saya belum menemukan jawaban pastinya kecuali sekedar (mungkin).
Apa yang
kusampaikan hanya konsepsi klise yang barbar? Tanpa sengaja, secara tersirat
waktu itu aku hanya menyuruh mereka menunggu nasib baik yang mungkin berarti:
hidup seperti yang kita harapkan. Padahal ditengah masa sulit ini, seseorang
harus berinisiatif untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik apapun caranya.
Kalau
hari ini kita menemukan diri kita adalah seorang mahasiswa, maka hal yang perlu
kita tempuh adalah belajar, berdoa, rajin memberi bingkisan pada dosen,
sering-sering bertanya dan berdiskusi
dengan teman atau ke dosen agar
dikira pintar. Atau kalau perlu, melacurkan diri untuk mendongkrak nilai.
Kalau
menemukan diri kita sebagai buruh di sebuah perusahaan, maka untuk merubah
hidup, kita perlu menjilat pada pemilik perusahaan agar terus diingat dan
menyenangkan mereka. Cara-cara menjijikkan inilah yang sekarang jadi lumrah dan
pantas. Kalau perlu merubah settingan mulut kita agar sebisa mungkin mengeluarkan
kata-kata menyenangkan saja ke telinga bos, pujian ke bos, dan pantang bilang tidak. Terlepas apakah
perilaku menjilat yang kita lakukan semakin melanggengkan penghisapan yang
tidak manusiawi pada pekerja dan menghalangi pemodal untuk bisa mengevaluasi
dirinya. Percayalah! Ini sah. Dan tinggal inilah kesanggupan yang kita punya.
Semua
itu kita lakukan demi ”menjemput nasib baik,” bukan ”menunggu nasib baik”.
Nihilisme Aktif
Memperbincangkan
relevansi nihilisme Nietzsche sebagai sesuatu yang mutlak (bakal terjadi),
membuat energi kita habis, senewen, dan pusing sendiri. Kalau kita hari ini
menganggap dunia telah dipenuhi berbagai macam penyelewengan—karena percaya pada
nihilisme yang digaungkan Nietzsche—sehingga kita ujug-ujug berpikir
penyelewengan yang pada puncaknya bakal bangkrut dengan sendirinya adalah
pandangan yang salah, tapi tidak sepenuhnya salah.
Bangkrutnya
segala nilai dan apa yang dianggap mapan hanya berada di luar kesadaran
manusia. Artinya, runtuhnya nilai di luar kesadaran dan kuasa manusia. Sehingga
manusia disadari atau tidak hanya menjadi objek dan sistem serta pola
perputaran jaman, sekalipun dalam praktiknya, manusia berperan sebagai subjek
atau pelaku.
Pada
praktiknya, perubahan sosial hanya mungkin terjadi pada wilayah kolektiva,
bukan individu. Meski, tidak bisa disangkal bila peran individu sangat mungkin
merubah kolektiva meskipun perubahan karena individu ini sangat kasuistik.
Kita
tentu ingat, dunia pernah ”aman” untuk sejenak, pasca lepas dari abad
pertengahan. Namun, pada masa modern ini ide-ide mengenai ”polisi dunia”
bergema sejak runtuhnya dua menara kembar pada sebelas September, yang
(mungkin) didalangi Osama. Karena waktu itu muncur berbagai spekulasi bila
gedung yang hancur itu bukan karena terjangan pesawat, melainkan karena sengaja
diledakkan. Tapi, bukan itu yang penting, tapi setelahnya. Opresi dan invasi ke
negara lain menjadi sah dan mendapat legalitasnya dengan ide mengenai polisi
dunia.
Apa anda
muak dengan itu semua? Tapi, anda muak atau tidak pada berbagai macam kekejaman
yang terjadi, itu bukan masalah utama. Yang jelas, dunia tetap bekerja dengan
caranya.
Seperti
halnya rasa muak kita pada iklim di sekitar kita; di sekolah, di mesjid, di sekitar
rumah, di tempat kerja, atau dimanapun kita berada, hal-hal tidak menyenangkan
tetap terjadi. Suka atau tidak, kita tetap dipaksa harus menelan pil pahit
kenyataan bahwasannya dunia berjalan dengan caranya. Tapi, yang lebih penting
adalah kita suka atau tidak, setiap orang akan bertahan dengan caranya
masing-masing. Termasuk menjilat dan menjual diri pada apa saja yang bisa
membuat mereka tetap hidup dan bertahan.
Nihilisme
akan terjadi dan sulit kita bendung. Sesulit kita yang menasihati anak perempuan
kita memakai kebaya, sewek, rok dan sejenisnya untuk menjaga keluhuran nilai
budaya. Biar pun banyak orang tua mengelus dada, kita akan menyaksikan anak
perempuan kita tumbuh dengan dengan celana lelaki; dengan rok mini; dengan apa
yang menjadi ”Tuhan baru” di masa kini.
Mungkin
di masa-masa aku senang mendongengi mahasiswa-mahasiswa labil untuk menyambut
nihilisme dan percaya bila dunia akan berubah menjadi lebih baik, pada saat itu
pula aku melupakan sesuatu. Ternyata, dunia sudah mulai menampik kebijaksanaan-kebijaksanaan
lama dalam teks. Dunia akan menampik nasihat-nasihat kering tokoh-tokoh agama
dan menjadikannya sebagai dagelan tak lucu di jaman modern.
Tiba-tiba
aku rindu sekumpulan mahasiswa yang dulu pernah aku kuliahi soal hidup.
Bagaimana kabar mereka sekarang?
Surabaya, 15
Desember 2013
cdvt
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.