Setelah
menikmati bakso pedas, tiga orang kuli yang sedang laut itu mulai cerita kepada
dua orang temannya. ”Dulunya tempat ini semak-semak. Aku pernah lewat sini
sepulang dari pasar. Lalu aku lihat pocong,” ujar salah seorang kuli.
Lalu,
ketiganya saling menimpali dengan cerita tentang hantu-hantu yang berbeda. Ada
genderuwo, wewegombel, ada orang berkaki kuda, ada katak mengangkut berambang,
ada orang dengan mata selebar piring, dll.
Apa benar hantu itu ada?
Atau itu kah sesuatu yang mengerikan dalam versi mereka?
Mungkin,
dalam kacamata intelektualitas, sekumpulan kuli tadi bisa jadi dekaden; merosot
dan kuno. Dunia akademik dan modernitas menganggap mereka bagian dari
kompleksitas irrasional. Tapi, bukankah setiap orang punya ketakutannya sendiri.
Sesuatu yang membuat mereka harus mengambil jarak dari ketakutan.
Waktu
itu, jujur, dalam hatiku, ada sedikit kesombongan yang berangkat dari kelas
sosial. Meski, aku sepenuhnya sadar bila aku juga memiliki ketakutan-ketakutan
tak masuk akal, dan itu hidup dalam diriku. Misalnya, ketakutan tak bisa
menyelenggarakan beberapa batang rokok dan segelas kopi saat pagi tiba. Atau
ketakutan ditolak calon meretua, dll.
Saat
itu, datang satu orang lagi tergopoh-gopoh berlari ke arah kami berteduh. Ia
tersenyum ke arah kami dan menawari kami untuk memesan bakso. Karena tak ada
yang mau ditawari, akhirnya ia makan sendiri.
Dari
penampilannya, dia nampaknya seorang konservatif Islam. Sambil menghisap rokok,
aku bertanya pada diriku. Apa orang ini tak punya ketakutan? Atau orang ini tak
percaya dengan cerita-cerita hantu para kuli? Aku tak percaya, aku tetap
berpikir bila si konservatif tadi punya ketakutan yang dia sembunyikan; sesuatu
yang dianggapnya hantu.
Aku
bayangkan bila ketakutan dan hantu ia takuti berupa perputaran hidup yang yang
tak lagi berjalan ke arah konservatif. Atau semakin majunya perusahaan milik
korporasi Rockfeller yang menurut mereka ”merusak peradaban” Islam. Dan bagi kaum
konservatif Islam, hantu-hantu itu mungkin lebih mengerikan ketimbang hantu
pocong dan hantu lainnya.
Ya,
semua orang memiliki ketakutan-ketakutan yang butuh untuk dilawan dengan cara
apapun. Seorang bos, misalnya, ia tak takut dengan tuyul, ia lebih takut dengan
hantu-hantu dunia kerja: perlawanan-perlawanan sitem oleh pegawai. Juga
gerakan-gerakan buruh yang terorganisir dalam kantor mereka. Karena segalanya
(dianggap) menghalangi otoritas pemilik modal dalam menuntaskan psikologi
kekuasaan. Sehingga mereka menempuh jalan pintas paling tengik: memberi makan
satu orang untuk dijadikan anjing dan membiarkan lainnya kelaparan agar ketika
terdesak, anjing itulah yang menyalak untuk menggigit karyawan lainnya yang
lapar; untuk mengusir hantu di kantornya.
Lalu,
di dunia akademik, momok paling menakutkan adalah inverioritas untuk tunduk
pada jerat pemikiran yang epistemik. Sehingga sampai kapanpun, pendidikan kita
hanya membeo, tidak berani mengambil langkah untuk maju sejengkal. Dan yang
lebih tragis adalah, menghardik mahasiswa-mahasiswa yang dianggap berbeda dan
memiliki pemikiran di luar lingkaran kekakuan akademik.
Di
pemerintahan pun, hantu itu bisa menjelma dengan garakan sparatis yang
didomplengi kepentingan negara lain untuk berdagang senjata. Karena ada hantu
semacam itulah, militer di Indonesia dibayar dengan harga mahal.
Berbahagialah
mereka yang memilih takut genderuwo, pocong, kuntilanak. Sebab, hantu-hantu itu
tak menyakiti siapapun. Hantu-hantu itu tidak perlu menyusun agenda jahat untuk
melenyapkan kepercayaan tertentu. Hantu itu tidak perlu menjadikan pemilik
modal hilang akal dan menempuh cara-cara licik. Mereka juga tidak membuat dunia
akademis jadi kian mandul dengan kepiawaian kita membeo pada buku, pada
kata-kata orang-orang yang telah busuk di kuburan. Hantu milik para kuli itu
tidak perlu membuat istri-istri serdadu menangis karena jadi janda dan
melahirkan ratusan anak yatim per tahunnya.
Meski
sayang, setiap orang telah ditentukan akan berurusan dengan hantu yang mana.
Malang, 2014
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.