Aku ingat api itu. Dulu, kita sempat sama-sama terbakar dan
merasa muda. Meski aku tak berani menganggap itu cinta. Dan untuk hari ini,
sekali lagi kuucap termimakasih yang dalam untuk batinku; sesuatu yang dulu
kubenci karena menerbitkan rasa enggan untuk dapat berjalan bersama denganmu,
meski ternyata aku salah.
Satu hal yang aku kompromikan dengan batinku adalah dengan
tetap bersamamu, sebagai apapun yang tak jelas jeluntrungannya. Mungkin karena
perasaan bersalah karena menampik kue cinta yang kau tawarkan. Ya, aku tau kau
mencintaiku begitu dalam.
Pertemuan kita dulu seperti mimpi. Namun, aku terlalu cepat
terbangun karena batinku terus saja membakar petasan. Dan tergagaplah aku;
terbangun untuk mengikuti kemana arah arus: kita sama-sama pergi. Aku, tetap
dengan hidupku yang suram, kau dengan orang lain.
Setelah lama tak bertemu, aku tau kabarmu dari seorang
kawan. Kau disakiti; kau menangis dan kembali mendatangiku untuk menanyakan
tentang kita. Ya, aku ingat betul penolakanku malam itu. Dan sekali lagi aku
mengikuti arus di batinku. Tanpa alasan; tanpa penjelasan karena setahuku hanya
ada kata tidak di batinku, menelusup dalam ke otak dan sampai ke mulutku.
”Sudahlah, bukankah kita lebih cocok sebagai teman. Atau
kau ingin menjadi apapun saja sesukamu, asalkan bukan kekasih,” ujarku. Kau
menangis. Aku diam, bingung namun tak kunjung memelukmu.
*
Dendam itu tumbuh subur di dadamu. Kebencianmu membakar
kenangan; kebersamaan yang selalu kutolak untuk kusebut cinta.
Maafkan aku. Tapi, aku hanya tak ingin membohongimu lebih
jauh bila aku menampik semuanya.
Pelan tapi pasti apa yang diisyaratkan batinku mendapat
jawaban dan rasionalisasinya pelan-pelan. Kecantikan dan pesonamu menjebolkan
beberapa kawan dekat untuk kau buat jadi begitu penurut. Kau rubah dia jadi
seperti anjing dengan harapan-harapan kosong hanya karena sebuah dendam yang
perlu kau tuntaskan.
Kalau sudah seperti ini, aku jadi ingat Rori. Ia
mewanti-wanti betul perkara dendam perempuan. Sesuatu yang pernah meremukkan
dunia dengan darah. Tapi untuk hari ini, bukan darah yang muncrat. Tapi
orang-orang yang pernah dekat denganku pelan-pelan berlalu dengan sesuatu yang
kau karang-karang.
Tiba-tiba aku jadi benci pada banyak hal. Tapi, kali ini
bukan karena kau, tapi orang-orang yang pernah dekat lalu beranjak pergi untuk
kebohongan. Namun, aku hanya kesal dengan diriku. Menafikan batinku dulu untuk
pergi dari dirimu sebelum terlambat harus kuingkari hanya karena kompromi
hatiku.
Terimakasih atas dusta yang kau ucapkan. Selamat jalan pada
kawan baik yang kini berlalu. Aku tak menyalahkanmu. Bukankah leburnya logika
karena rasa cinta dan welas asih adalah sesuatu yang klasik?
Duh, batinku. Bicaralah sebagaimana kau terus mengomel
ketika kau paksa aku menolaknya dulu. Aku mau mendengarmu…
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.