Kak Opan |
Setelah aku
berdoa dalam tulisanku, ”Halo Tuhan, apa ada lagi stok orang yang lebih suwung
dan karismatik sebagaimana Ahmad Tretetet?”
Maaf Tuhan,
aku kurang peka pada ”ayat” yang kau turunkan.
Aku
percaya bila tuhan selalu menciptakan ”jilid dua” dalam tiap episode hidup.
Seperti halnya kehidupan yang terus menciptakan pembaruan-pembaruan untuk
keseimbangan kosmis. Mungkin Ahmad Tretetet, atau lebih akrab dipanggil Tuan
Guru Tretetet, dihadirkan tuhan dengan bentuk dan setting masyarakat yang berbeda.
Dan mungkin the next Tretetet adalah
almarhum Kak Opan. Padahal dari dia aku tau tentang Tretetet, tapi aku tak
sadar dia adalah penerusnya.
*
Mungkin
aku baru sekali mengenal Kak Opan. Aku pun baru bertemu dengannya sewaktu
didaulat menjadi mercon bagi
pikiran-pikiran buntu cerdas dan visioner kawan-kawan PPMI di Lombok
saat kongres. Dan kepenatanku melihat PPMI kualihkan dengan mengikuti saran Mas
Gondrong (Timur Budi Raja) untuk bertemu dan berbincang dengan Kak Opan.
Pertemuan
itu begitu magis lantaran banyak perbincangan hangat-bersahabat antara aku dan
Kak Opan. Sewaktu berbincang dengannya, aku merasa tidak sedang bicara dengan
penulis, aktor, dan jenis seniman tua di Warjack Taman Budaya NTB yang
congkaknya subhanallah. Dia berbeda
dari tipe orang besar yang pernah aku temui. Yang membedakan dia dengan seniman
lainnya adalah kemauannya untuk mendengar dan bersabar serta tidak terburu-buru
sinis pada gairah muda yang over dosis seperti saya.
Dari
cara Kak Opan mendengarkan, sekali lagi, sangat membuatku sadar betapa aku
masih terlalu pongah dan malas mendengar. Kak Opan membuatku sadar, bila hidup
tidak hanya persoalan belajar, melihat langsung dan sejurus kemudian protes.
Sambil sesekali menghisap rokok paling kemproh (baca: marlboro putih) dia
menyarankan agar aku lebih banyak berkotemplasi dan menghindari sikap
terburu-buru. Pentingnya pengendapan dan memadukan antara pemahaman rasional
dengan spiritual adalah pelajaran yang tidak mungkin aku lupa dari sosok pria
brewok yang awalnya kukira preman ini.
Selama
dua hari menumpang di rumahnya, banyak perbincangan yang membuatku sadar betapa
menunduk adalah bagian dan kemestian hidup. Dia mengajariku tentang arti
”menunduk” tanpa harus gemagah dan pamer keberhasilan-keberhasilan agar aku
gemetar dan menaruh hormat padanya. Tapi, cara dia memahami orang lain dan senantiasa
mendengar membuatku berpikir dua kali untuk kelepasan ndugal dan mbacot ngawur.
Dia
juga tak pernah bertanya berapa kali karyaku dimuat koran, karena dia cukup tau
aku menulis setiap hari dan menjadikannya sebagai bagian dari rutinitas dan
kebutuhan berproses. Berbeda dengan lingkungan yang ada di sana yang sangat
mengukur segala sesuatu dengan hal yang klise: eksistensi.
Mungkin
Mas Timur ada benarnya bila ada banyak orang sakti di Lombok yang tidak
kelihatan. Karena saat itu, aku menemukan ”kesaktian” Kak Opan terpancar tanpa
perlu pamer kesanggupan dan sepak terjangnya di dunia teater, penulisan dan
lain-lainnya yang mungkin aku tidak tau. Ya, aku percaya kesaktian yang sebenarnya
tersimpan di kedalaman. Sedangkan untuk karya atau output yang sudah dihasilkan
seseorang itu nomer ke dua ratus tujuh puluh delapan. Dan kupikir, aku tak
perlu tau karya apa yang sudah ia terbitkan. Karena ”ayat tuhan” yang
dilewatkan pada manusia adalah apa yang ”klik” di batin dan memberikan pancaran
kepahaman serta kekuatan untuk dapat merealisasikan, bukan sertamerta
eksistensi yang degil.
Suatu
siang, sewaktu aku duduk sendiri di saung depan rumahnya, ia menghampiriku dan
kita kembali banyak berbincang. Aku lupa persisnya apa yang dia bicarakan,
namun yang aku ingat adalah permintaan maafnya pada banyak ketidaknyamanan yang
mungkin telah ia baca dari sorot mataku. Ia menepuk pahaku sambil melihatku
serius dan meminta maaf pada kesombongan-kesombongan orang-orang yang waktu itu
ada di sekitarnya.
Ya,
saat-saat itu, aku langsung mengirim Al Fatihah untuknya. Dia mampu membaca
kejengkelan terpendam dan sesaat kemudian aku sadar: memaafkan segala yang
tidak kita sukai adalah bentuk dari memelihara kemanusiaan. Yang membuatku tak
habis pikir adalah mengapa ia sempat meminta maaf untuk orang di sekitar dia
lantaran rasa tidak nyamanku. Kalau kupikir lagi, dia mampu hidup, memaafkan
dan bersahabat dengan sesuatu yang kuanggap tidak menyenangkan. Bahkan setiap
hari ia hidup bersama. Lalu, apa hakku untuk tidak nyaman? Bukankah aku juga
tamu? Bagaimana kalau aku hidup bersama ketidaknyamanan itu?
Ya,
yang aku sesalkan adalah belum sempat meminta maaf padanya atas sikap
sentimentilku pada orang-orang yang dia tampung. Dan setelah aku menjabat
tangannya, dia nampak masuk ke rumahnya dan kembali keluar sambil mengayuh
sepeda kebo unik miliknya dan memintaku untuk tidak kemana-mana sambil
tersenyum. Saat kembali, dia datang membawa camilan dan kopi buatku.
Duh Gusti,
manusia macam apa ini? Ayat macam apa yang kau kirim padaku?
Siang
itu, saat ngopi berdua, kita tak banyak bicara. Dia nampak semakin khusyuk
menghisap marlboro. Saat itulah, aku melihat kumis yang bersatu dengan
jenggotnya nampak semakin angker di mataku.
*
Aku
selalu mewaspadai perasaan-perasaan yang muncul ketika mendengar kabar kematian
seorang kawan. Karena sebagai manusia, selalu ada jebakan-jebakan perasaan yang
membuat kita mendadak sentimentil. Dan saat-saat seperti itulah ketika kebaikan
si mati diceritakan dan laris manis terdengar bak kacang goreng. Meski
sebelumnya sebelum ia mati, kita menjadi penghujat yang serius.
Mungkin
aku sedang ada di tahap itu. Ketika Kak Opan meninggal, aku merasa wajib
membuat catatan tentangnya. Namun, ketika aku mendengar kabar kematian Kak Opan
dari Defy, saat itu yang muncul di kedalamanku adalah ingatan tentang cerita
Tuan Guru Tretetet.
”The next Tretetet meninggal tanpa aku sempat
berbincang banyak dengannya.”
Lalu,
setelah itu gumpalan rasa sesak memenuhi batinku. Aku seakan-akan merasa
seperti ditinggal kawan baik pergi untuk selama-lamanya; merasa ditinggal guru
kehidupan tanpa sempat belajar banyak; merasa seperti ditinggal orang yang banyak
berjasa tanpa sempat membalas budi. Dan ketika aku buka lagi facebook Kak Opan dan melihat
gambar-gambar prosesi pemakamannya aku menitikkan air mata.
Selama
ini, selain guruku Rori, tak ada kematian kawan yang bisa membuatku menangis. Dan
persoalan menangisi kepergian, tentu bukan sesuatu yang sinetron dan
dibuat-buat. Kalau kepergian seseorang sampai membuat kita menitikkan air mata,
tentu dia punya arti dalam hidupmu, atau setidaknya dia pernah berarti. Hati tak
bisa bohong untuk itu.
Kedatanganku
ke rumah Kak Opan waktu itu adalah masa-masa dimana aku tak punya identitas. Masa
dimana aku masih begitu menggilai perjalanan-perjalanan. Sedangkan, waktu itu
mungkin Kak Opan sudah jengah dengan perjalanan, maka saat itu juga ia menjadi
rumah bagi pejalan sepertiku. Dia sempat bercerita bila ia senang dengan
kedatanganku dan orang-orang semacam Defy. Ya, kalau Ahmad Tretetet mencintai
anak kecil, Kak Opan sangat mencintai gairah-gairah muda. Mungkin dengan
kedatanganku dan Defy, ia kembali melihat masa mudanya: berapi-api namun tolol.
Tapi, siapa yang tak pernah menjadi bodoh?
Hal-hal
lain yang aku kagumi dari sosok Kak Opan adalah caranya membuat kita tau diri. Aku
senang dengan cara diamnya, dimana kediaman itu membuatku seketika mengerti apa
yang harus kulakukan tanpa harus mengkuliahiku macam-macam tentang hidup. Ia tak
pernah menggurui. Karena apa yang ia sampaikan hanya komentar-komentar dari
proses mengamati diriku luar dan dalam. Obrolan pendek-pendek namun tegas membuatku
sadar bila dia tau apa yang seharusnya dikatakan dan apa yang tidak. Mungkin ia
tau persis, setiap orang punya ladangnya masing-masing; punya kamar gelap yang
tak satu orang pun tau apa isinya.
Ia
berbincang denganku sekaligus membiarkan aku sadar dengan sendirinya. Ia membiarkanku
mengarungi ladang gersang batinku dan bersunyi-sunyi di kamar gelap kedalamanku.
Dan yang terpenting dari perbincangan dengannya, adalah memahami konsep
istikomah dengan baik; segala konsep sabar, yang apabila tak diindahkan akan
menjadi tulah bagi hidup. Maka, ketika aku lama tak bersua dengannya, aku
melupakan pelajaran itu. Aku melupakan cara fokus dalam satu hal dan sabar pada
kesulitan-kesulitan. Dan saat ini, saat ia pergi untuk selama-lamanya, aku
telah menuai tulah hidup. Kecerobohan hidupku telah mengutuki diriku dengan
berjuta sesal serta kegelisahan yang tak kunjung padam.
Entahlah,
sampai kapan tulah hidup ini mengutukiku? Karena yang bisa aku lakukan sekarang
adalah banyak minta maaf dengan tuhan; berbaikan dengan-Nya; dan berjanji tidak
akan bandel lagi. Dan satu lagi,
tentunya aku harus banyak mengirim doa pada orang yang sudah mengajari banyak
hal.
Seperti
halnya tretetet yang memberi pelajaran bagi pedagang-pedagang pelit, ketidak
sabaranku pada hidup dan kepercayaanku bila Tuhan maha kaya telah menghancurkan
diriku pelan-pelan; membakar ketenanganku dengan gelisah yang teramat sangat. Menyesal
saya tak begitu mendengarmu, kak.
Kalau
kau adalah the next Tretetet, dan aku
adalah pedagang yang terbakar lapaknya, lalu, apa aku harus memajang fotomu
agar aku beruntung dikemudian hari?
Tidak.
Tidak. Kau bukan orang yang demam dipuji. Kau bukanlah penulis yang wajahnya
selalu kusam dan berubah sumringah ketika dipuji karyanya. Kau tentu tak mengharapkan
aku simpan fotomu agar beruntung di kemudian hari. Kesederhanaanmu dan keiklasanmu
tak butuh segala pengakuan berlebih.
Ya,
Kak, lagi-lagi aku mengerti apa yang harus aku lakukan dikemudian hari
menghadapi tulah hidupku. Tapi, tidak adil rasanya apabila kau pergi begitu
saja tanpa kita sempat banyak berbincang. Temui saja aku dalam mimpi seperti
halnya guru kehidupanku yang lain yang telah meninggal.
Semoga
lapang kuburmu dan Tuhan tentu lebih mengerti bagaimana menempatkan orang baik
macam kau. Selamat jalan Kak Opan. Selamat jalan Tuan Guru Tretetet 2. Doaku
menyertaimu. Al Fatihah
1 komentar:
dari mana mas opan kenal ahmad trtetet???
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.