”Percayalah, dek. Kebijaksanaan
hanya ada dalam lagu-lagu.”
Tiba-tiba kata itu kembali
terngiang di telinga saya. Kata-kata dari seorang sesepuh yang mungkin kelasnya
setara dengan Tuan Guru Tretetet di Lombok. Kehendak dan spontanitasnya kerap
menggegerkan akal. Tapi jujur saja hatiku selalu tersenyum simpul bila merasakan
sepakterjang guruku yang satu ini.
Kedigdayaan guruku dalam
penguasaan ilmu sabar ini benar-benar tak tertandingi. Kendati demikian, dia
tetap sulit dibedakan dengan guru-guru lainnya karena caranya mendidik dan sikapnya yang rendah hati.
Kerendahan hati dan sikap
menunduk dari guru sekaligus kawan baikku ini benar-benar di luar nalar. Dan si
mas gondrong, kawanku, ini adalah antitesis dari guru yang ada di dunia. Kalau
suatu saat seorang guru seni sedang menerangkan tentang seni, mesti paling
tidak si guru seni ini mempraktikkan sesuatu yang nyeni. Entah itu
tingkah lakunya, model rambutnya yang nyentrik atau tindak-tanduknya yang
menunjukkan betapa si guru seni ini patut didengar kata-katanya.
Kalau mas gondrong si guru
sabarku ini bersikap sebaliknya. Meski dia adalah guru besar ilmu sabar, tapi
tingkah polahnya kerap terbalik. Dia kerap terlihat tak sabar dan nampak diburu
waktu. Bahkan yang membuat aku sangat takzim padanya adalah karena beliau tak
perlu bicara hingga berbusa hanya untuk menjelaskan makna sabar. Tuan guruku
ini cukup berbuat sesuatu atau melontarkan kata-kata yang bisa membuat kepala
kami serasa mau pecah dan dada kami meledak.
Ijinkan saya bercerita sedikit
tentang keluarbiasaan guruku ini. Suatu malam, ketika kita sedang berkumpul
beramai-ramai, si mas guru ini minta di jemput di terminal. Katanya dia sudah
lama menunggu di terminal. Karena yang menyuruh adalah mas guru, maka pantang bila
tidak langsung memenuhi panggilannya. Tapi, ketika aku sampai di terminal, si
mas guru tiba-tiba SMS. Isinya, ”Saya baru berangkat, dik. Tolong ditunggu,
ya?!?!”
Seperti mau meledak rasanya.
Tapi, karena ini adalah guru besar, maka aku tunggu dia dengan patuh sambil ngudut
dan minum kopi di warung. Karena keasyikan di warung, aku mengacuhkan
SMS-nya. Dan 3 menit kemudian, setelah aku sadar, aku segera menghampirinya.
”Kok kurang ajar? Kok berani
membuatku menunggu lama di terminal. Mau main-main dengan saya,” kata mas guru.
”Lho, justru saya yang sudah lama nunggu.
Katanya tadi sudah di terminal, ternyata baru berangkat.”
”Ngajak debat ini. Sudah
berani? Duh, kah, ayolah dik, kita berangkat. Batinku sedang riuh ini.
Ayolah kita cari warung dan ngopi. Kamu pasti tidak punya rokok, kan?”
Setelah itu suasana mencair. Di
atas motor kita kembali berbincang.
”Gitu lah, mas. Beli rokok yang
banyak. Nanti aku bantu menghabiskan. Atau sekarang kita bagi-bagikan hp
ke pengemis?” ujarku menggoda.
”Selalu begitu. Selalu saja
punya cara untuk membuatku miskin. Tapi, aku kan kakak yang baik. Ndak apa-apa
kita bisa ke pengemis. Nanti leptopku juga mau kukasihkan.”
Setelah sampai ke teman-teman
yang menunggu di warung, mas guru mulai tidak nyaman. Sambil bergantian mengotak-atik
ponselnya yang sampai 8 buah itu dia bertanya, ”Malam ini kita tidur dimana,
dik?”
”Soal tidur itu gampang lah,
mas. Kita nanti bisa tidur di emperan toko atau tidur di warung ini juga
boleh,” aku menggodanya lagi.
”Duh, kah, selalu buruk idenya.
Bagaimana kalau kita ke rumah si A. Katanya sekarang si A tinggal di Sidoarjo.”
”Aduh, itu jauh, mas.”
”Ayolah, dik! Pikiranku sedang
kalut ini. Hargailah batinku.”
Perdebatan panjang pun terjadi.
Ketika semua sudah buntu, mas guru selalu menggunakan jurus andalannya: ngambek.
Karena tak ingin berdebat terlalu lama, akhirnya aku mengalah untuk
mengantarnya.
”Lho yang lain kok ndak ikut.
Gimana kalau kita berangkatnya rame-rame?”
”Ngapain, mas?”
”Aduh! Selalu mengajak ribut.
Ayolah, dik, kita berangkat rame-rame ke sana.”
Alhasil berangkatlah kita
rame-rame ke tempat si A. Dan setelah sampai di rumah Si A. Kita masuk ke rumah
si A.
Belum sampai beberapa menit,
mas guru membisiki telingaku, ”Kok tempatnya serem, dik? Kita cari tempat lain
yuk? Ngopi dimana gitu.”
Serasa meledak kepalaku. ”Kita
kan baru sampai, mas? Kan tadi katanya minta ke sini?”
”Selalu begitu. Ayolah dik.
Batinku sedang tak tentram ini.”
Singkat cerita sampailah kita
kembali di warung kopi dan ngobrol sampai pagi di warung.
Cerita di atas adalah salah
satu bagian dari hari yang kita lewati berdua. Sebenarnya masih banyak
cerita-cerita yang menurutku ajaib dan membuat aku tak habis pikir.
Tapi sesungguhnya batinku
menolak bila segala hal (yang terlihat) rumit dari mas guru adalah benar-benar
kerumitan. Aku berbaik sangka padanya karena mungkin ini adalah rahasia Tuhan
yang wingit. Aku lebih senang melihat kerumitan dan marah yang aku terima dari
mas guru adalah sebentuk pertanda cucuran ilmu sabar yang linuih. Aku lebih
senang menerima omelannya sebagai pertanda rejeki esok hari.
Mungkin ini tidak menarik bagi
anda semua karena tak seheboh hubungan antara Prabu Brawijaya V dengan SabdoPalon Noyo Genggong. Cerita dan sejarahku dengan mas gondrong hanya pantas
kucatat sendiri dan kuresapi sendiri.
Mungkin banyak orang yang
pernah berurusan dengan mas guru mengaku kesal. Tapi, pelajaran kebijaksanaan
dan hikmah adalah sesuatu yang sifatnya personal. Sebagaimana kita tak
menemukan penjelasan mengapa ada seorang yang berparas cantik, kaya, baik hati,
bertubuh montok macam tahu bisa rela dinikahi seorang lelaki hitam, kurus,
keriting, jelek dan miskin. Ya, semua ada di kamar kita masing-masing; jadi
hidayah masing-masing.
Anda semua boleh melihat ini
sebagai satu klise yang basi. Anda boleh berbangga dengan mempunyai guru yang
(mungkin) lebih baik dan bisa menawarkan kebijaksanaan.
”Ah, itu kan cuma ada
dalam lagu, dik.” Kata mas guru sesaat sebelum aku ingin menutup tulisan ini.
Citra D. Vresti Trisna
Warung Yakobus, 24 Mei 2014
2 komentar:
meng-iyakan cerita dan sampai pada sebenarnya.
makasih ya salam sukses bermanfaat bgt blognya
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.