Tulisan
ini adalah permintaan Riris (salah satu anggota Serikat ‘Mason’) yang meminta
saya menulis catatan di ultah SM yang ke tujuh. Tulisan ini sebagai wakil atas
ketidakhadiran saya, dan karena satu hal, tulisan ini terkirim, tapi saya minta
Riris tak membacakannya. Saya bermaksud menerbitkan tulisan ini lantaran tidak
ada gunanya saya simpan sendiri.
Kalau
ada orang lain nyasar dan membaca tulisan ini, mohon maaf, tulisan ini sangat “kamar”
sekali, karena ini antara saya dan warga SM. Terimakasih pengertiannya.
Saya bergabung di Spirit Mahasiswa—waktu organisasi ini pertama kali berdiri—atas dasar iseng
ketimbang nganggur di kontrakan. Waktu itu saya gabung di SM atas tawaran Boyd.
Tapi, seingat saya, saya pernah ditawari oleh Onix (teman seangkatan di
Komunikasi), yang juga anggota LPM VOL.
Sebenarnya saya khawatir
menerima tawaran Boyd, karena waktu pertama kenal, Boyd adalah sosok aneh
dengan postur tubuh yang lebih mirip Ghatoloco ketimbang manusia. Menurutku, ia
tidak pantas dipercaya kata-katanya karena koleksi hentai miliknya sungguh naudzubillah. Ia juga memiliki kebiasaan
jahiliah di luar nalar: nongkrong di warung, mencegat rekannya yang lewat dan
meminta rokok.
Sewaktu dia masih semester
awal-awal dan masih miskin-banget,
saya kerap memamerkan koleksi buku-buku karya Pram. Kata-kata yang saya tunggu
dari bibirnya yang wagu adalah, “cok!
Pinjami aku, cok!! Dua hari aku balikin.” Kalau sudah begitu, saya tidak
mempedulikan dia dan berlalu dari hadapannya. Kalau sudah begitu, dia akan
mengeluarkan umpatan dengan umpatan yang bikin gatal kuping. Meski, saya senang
kalau dia marah dan kesal dengan saya.
Terus terang, meski banyak yang
absurd dari Boyd, tapi saya harus jujur bila waktu itu saya meng-iya-kan
tawarannya untuk bergabung di SM. Alhasil, jadilah saya pimred pertama SM dan
Boyd yang jadi pimpinan umum. Sangat
mudah sekali kan untuk jadi pimred? Ah, bukan saya sombong. Alasan mengapa
begitu masuk, tanpa ikut pelatihan apapun, tiba-tiba saya langsung jadi pimred
adalah karena saya memang SM adalah organisasi baru dan butuh banyak orang
segera seseorang yang memiliki kharisma dan berwawasan kebangsaan.
Tentu saja pelantikan PU itu
diwarnai dengan adegan yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan: (1) Sumpah
setia dan patuh pada Presma, yang waktu itu adalah si Erfandi dari
PMII; (2) Boyd cium tangan dengan persma; (3) Saya sakit perut menahan tawa
selama pelantikan dia; (4) Setelah pelantikan dia mengumpat sepanjang sore
karena saya ledek. Namun, yang saya catat di hati saya adalah rasa kagum.
Karena tanpa itu semua—pengorbanan jatuhnya harga diri dengan cium tangan
persma—SM tidak mungkin berdiri dan kalian tidak mungkin kumpul di tempat ini
menyelenggarakan syukuran.
Nampaknya bisikan untuk meng-iya-kan
ajakan Boyd benar-benar saya syukuri sampai hari ini. Boleh jadi, karena ajakan
itu menciptakan sebuah belokan tajam di dalam hidup saya. Saya sendiri tidak
sempat berpikir, tanpa berproses di SM saya akan jadi seperti apa. Mungkin kita
tidak saling mengenal. Mungkin saya tidak perlu patah hati karena sering
ditinggal menikah lantaran tak kunjung lulus. Mungkin saya tidak akan durhaka
lama-lama karena mengabaikan omelan ortu untuk segera lulus dan kerja. Mungkin
saya tidak perlu patah hati ditikam orang yang sudah saya anggap keluarga.
Mungkin saya akan bikin laporan bulanan kerja di perusahaan dengan omzet yang
besar. Mungkin saya juga mengencani tiga-tujuh-seratus pelacur dan merajah
sajak cinta di dada mereka. Mungkin saya tidak jadi apa-apa. Atau mungkin juga
saya sudah jadi batu.
Coba sekali waktu kalian bayangkan, dimana
belokan hidup kalian bila kalian tidak masuk ke dalam sarang bromocorah ini? Renungkan
sejenak, apa yang paling mungkin terjadi bila kalian tidak melibatkan diri di
persaudaraan ini? Tanpa organisasi ini, mungkin kalian akan menemui orang-orang
yang berbeda di sepanjang perjalanan hidup kalian.
Tapi, coba renungkan, kalau sudah
(terlanjur) di sini sejauh mana pengorbanan dan daya upaya untuk menjadikan SM
lebih baik? Bukankah salah beberapa syarat peradaban kecil (SM) bisa maju
karena tiga hal: keseriusan, doa, dan “melakukan sesuatu yang lebih”
—pengorbanan yang lebih dari pendahulu dan kadar banyaknya ilmu yang dikuasai
lebih dari pendahulu. Itulah mengapa tanggungjawab sebuah angkatan adalah
mengupayakan agar pengorbanan dan upaya menjadikan generasi penerus lebih baik
daripada generasi sebelumnya agar grafik peradaban meningkat.
Berkaca dari tujuh tahun SM berdiri,
ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Saya hanya melihat kecerdasan yang
tidak sejalan dengan hati. Pengorbanan yang tidak seberapa lantaran cita-cita
domestik lebih besar dari keinginan membangun rumah kecil ini. Saya sangat ingin
SM menerapkan sistem pengabdian seperti yang ada di pondok pesantren, dimana
orang-orang yang telah lulus melakukan pengabdian di pondoknya untuk mengajar adik
tingkatnya sebelum benar-benar pergi dan menentukan hidup. Tapi, saya tiba-tiba
ingat, ini bukan pondok, ini hanya organisasi kecil dengan mimpi melangit. Saya
juga ingat, saya bukan siapa-siapa yang bisa menentukan hal itu. Saya hanya
pria telat menikah, telat mencari penghidupan hanya karena membesarkan
orang-orang yang bakal menikam saya pelan-pelan. Melihat adik tingkat saya yang
sudah hampir S3, sudah mapan, sudah ini, sudah itu, dan saya ikut senang. Biarlah
yang masuk neraka karena tak kunjung berarti bagi keluarga dan mengesampingkan
ratap tangis keluarga hanya saya. Biar yang masuk neraka saya saja, kalian
jangan.
Selain bersyukur atas belokan hidup saya,
saya juga kembali mencatat: hati nurani tidak pernah salah dan membimbing ke
arah yang buruk. Sehingga, ditengah orang mendewakan akal, saya selalu terus
mengingatkan warga SM untuk mendayagunakan hati sebagai salah satu pijakan;
pertimbangan. Tentang hati dan pikiran, saya jadi ingat Sunan Kalijogo sewaktu
melakukan finishing pembangunan Mesjid
Demak dan mengumpulkan tatalan kayu untuk membuat tiang penyangga mesjid. Saat
itu, beliau menyambung badan dan kepala orong-orong yang terpisah dengan serpihan
kayu jati hingga hewan kecil tersebut hidup lagi. Dari kisah itu, kita harus
mengambil pelajaran, “untuk membangun peradaban tidak mungkin dilakukan tanpa
adanya singkronisasi hati dan pikiran sebagai satu kesatuan”.
Pada praktiknya di sekala makro, dunia
akan hancur ketika akal lebih dominan ketimbang hati—seperti halnya modernitas.
Negara akan bangkrut bila yang didewakan hanya akal. Organisasi akan hancur
bila mementingkan kepentingan pribadi dan domestik yang bergantung pada
hitungan untung rugi. Pernikahan akan kandas bila hanya berpikir pada
materi-materi-materi. Dan orang akan terjerumus bila tidak menjadikan hati
sebagai pertimbangan atas keputusan akal.
Ketika Riris menyuruh saya untuk
mengungkapkan kata-kata dalam tulisan untuk mewakili saya yang kebetulan
berhalangan hadir—saya sebenarnya ingin buat sebuah puisi tapi gagal. Tiba-tiba
saja kata-kata mengalir deras. Saya tak mampu membendung kata-kata yang ingin
keluar. Mungkin karena saya terlalu mencintai SM. Mungkin saya kesal. Mungkin
perpaduan antara cinta-benci berkelindan menjadi satu. Ya, ternyata selain
mencintai ruang sempit SM yang lama dengan tirai magis serta ruang khusus saya
merenung, saya ternyata begitu mencintai SM tidak hanya sebagai sebuah
organisasi. Saya tidak ingat persisnya kapan saya benar-benar mencintai SM, tapi
kurang lebih seperti ini jalan cinta pada SM itu lahir...
Setelah pelantikan, Boyd
memberikan pada saya beberapa kader instan hasil didikan satu hari pelatihan
untuk dibimbing dan diberdayakan mencari berita. Saya ingat betul, mereka semua
adalah mahasiswa komunikasi. Tapi, di hari pertama mereka beraktivitas, mereka
saya pecat. Kalian ingin tau mengapa? Jawabnya adalah, karena mereka “BODOH,
MUDAH MENYERAH, CENGENG, SUKA MENGELUH, DAN SAYA TIDAK IKUT BERI MEREKA
PELATIHAN”. Mungkin saya cukup Asu karena perilaku pemecatan sepihak itu. Waktu
itu jiwa muda membuat saya paling sebal
dengan orang-orang bebal. Drama pemecatan dipercantik dengan penyingkiran
anggota delegasi LPM fakultas yang rata-rata berlatar omex. Karena waktu itu
sudah disepakati bila kader-kader SM bukanlah orang yang berafiliasi dengan
omex dan akan tetap independen sampai kapan pun. Sehingga, konsekwensinya kami
hanya berjalan berempat: Boyd, Defy, Firman dan Saya.
Dari kiri: Boyd, Firman, Defy, Citra (Dalbo unyuuu, cakep) |
Awal hati saya tumpah ruah dan
begitu mencintai organisasi kecil saya adalah ketika SM mulai memberikan
pengkaderan itensif kepada calon anggota. Tidak bisa dijelaskan rasanya: mereka
datang ke sekertariat SM pukul setengah lima pagi dan membangunkan saya untuk
meminta materi, diskusi sampai malam, menemani mereka membaca sembari belajar,
mengajari mereka menulis, menjadi konsultan cinta mereka, menemani mereka patah
hati, bermain gaple, menyuruh mereka keliling dengan pakaian yang sudah
berminggu-minggu jadi keset lantaran telat deadline, memberi hukuman sekeras-kerasnya
pada mereka yang tidak taat peraturan dan sekaligus menganggap mereka seperti
bagian tubuh sendiri. Bahkan saya rela mengusir saudara-saudara dekat dari
sekretariat agar tidak mengganggu proses pengkaderan.
Meski begitu, saya sadar
sepenuhnya bila bagian terpenting dari membesarkan sesuatu adalah kerelaan
untuk tidak dianggap, ditepikan, dikhianati, ditelikung, dan ditikam dari
belakang. Bahkan perasaan itu saya rasakan sampai sekarang. Bahkan penikaman
itu masih ada sampai sekarang. Tapi, saya anggap itu sebagai bagian dari hidup
dan rasa cinta yang mesti dijalani. Bahwasannya perasaan cinta itu haruslah
seperti dendam: sampai ke tulang; sampai mati. Dan dalam perjalanan mendidik,
kita harus menelan kekecewaan dulu dan mengesampingkan keinginan-keinginan
pribadi. Karena keteraniayaan itulah yang akan membuat doa baikmu dipeluk
Allah.
Selama proses belajar-mengajar
di SM membuat saya tidak bisa menghindari diri atas perenungan mengenai
demokrasi, terutama yang menyangkut kaitannya dengan pers mahasiswa. Pengajaran
saya pada berbagai hal mengenai jurnalistik tanpa terasa membentuk karakter
manusia-manusia yang percaya pada “mitos” demokrasi.
Yang harus dipahami secara
mendasar oleh kader SM adalah jurnalistik tidak diletakkan sebagai “nasi” melainkan
sebagai “beras” atau sesuatu yang masih perlu diolah lagi agar tidak membawa keburukan,
kesalahan persepsi. Kalau menurut Islam, jurnalistik harus dipandang sebagai wasilah (jalan) dan bukan ghooyah (tujuan). Jurnalistik harus
dipandang sebagai metode untuk memotret persoalan dan metode belajar “mencari”.
Jurnalistik harus mampu membawa seseorang menuju iqra—yang dalam praktiknya ada tiga jenis:
membaca secara teks, alam dan manusia.
Selama ini LPM selalu terjebak pada
ekslusifitas teks, tanpa memperhatikan alam yang pada hakikatnya lebih dulu ada
ketimbang manusia; bekerja dalam keteraturan dan sesuai kosmos dan syariat di
tataran mula-mula. Sedangkan manusia dalam konteks Islam disebut sebagai ahsani taqwim (sebaik-baiknya ciptaan).
Dengan kata lain, manusia menjadi masterpiece ciptaan Allah dan menjadi “ayat”
yang mesti dibaca untuk dipahami.
Memahami tiga konteks kitab (teks, alam
dan manusia) tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dua hal: hati dan akal yang
terkoneksi. Sehingga peradaban apapun—baik di sekala mikro maupun makro—harus
ditegakkan sebagaimana petuah Kanjeng Sunan Kalijogo (Wali Nyentrik), yakni
dengan singkronisasi antara kepala dan tubuh.
Dulu, saya pernah berpikir dan
sempat dilema dengan pertanyaan: apakah SM adalah semacam “sekte” yang
mengajarkan hidup masokis dan anti kemapanan? Hal itu tidak pernah berhenti
saya pikirkan. Jadi kalau ada yang mempersoalkan “bolehkah seorang perempuan
menjadi wanita karir?” Maka jawabannya adalah “boleh” secara logika
untung-rugi, lalu bagaimana dengan tugas utama seorang perempuan? Kedalaman
perenungan atas baik-buruk, salah-benar, indah-tidak indah harus dikembalikan
kepada hati nurani. Atau misalkan, tugas dari orang tua untuk segera lulus dan
berarti bagi orang lain juga mesti dijawab dengan metode yang sama.
Kepada warga SM. Di umurnya
yang ke tujuh, saya pikir masih terlalu belia untuk bisa maju. Tapi, bukan
lantas dijadikan pembenaran untuk tidak melakukan sesuatu apalagi sekedar jadi
tukang konsep tanpa punya kesejarahan berarti dan kontribusi. Karena yang
diperlukan SM di usia belia ini adalah dengan terus bergulir dan berproses agar
“tidak berlumut”; tidak mandek; jumud. Seperti halnya nasihat biksu saolin:
batu yang bergerak tidak mungkin berlumut.
Percayalah, meski kau bekerja
di media puluhan tahun bukan berarti mampu menakar apalagi mereka-reka apa yang
harus dilakukan di dalam SM. Karena, logika media umum sama sekali berbeda
dengan logika “media alternatif”. Yang harus dipahami dalam media alternatif
adalah pemahaman “boleh salah asal niatnya baik”. Inilah yang saya maksudkan
dengan proses bergulir. Proses terus menemukan kemaslahatan bersama dan bukan
atas nama sentimen, kekerdilan hati, apalagi soal “memungut sampah kekasih”
lantas menebar fitnah. Mungkin, untuk beberapa orang akan mengerti apa yang
saya maksudkan.
Selain itu yang tidak kalah
penting dipahami adalah SM berada di struktural kampus. Dimana mau tidak mau,
iklim akademik, politik, di kampus akan sangat mempengaruhi proses di dalam SM.
Modernisasi dunia pendidikan dan pengerdilan pendidikan sesuai yang didiktekan
barat lambat laun akan mengkerdilkan SM di berbagai wilayah (kualitas kader
dari tahun ke tahun, mentalitas, pendanaan, iklim belajar, tuntutan akademik)
akibat “dajjal” dalam sistem pendidikan. Di sini, saya tidak akan mengatakan
langsung apa yang harus dilakukan, tapi ingatlah bila dajjal tidak akan
memasuki mekah dan medinah. Sehingga yang harus kalian lakukan adalah bagaimana
agar mekah dan medinah itu ada di dalam dadamu? Bagaimana ada mesjid di dadamu?
Itulah yang harus kalian pikirkan untuk menurunkan pemahaman tersebut di ranah
praktis.
Di momen ulang tahun ini,
maafkan saya tidak bisa datang karena alasan pekerjaan. Tapi percayalah, saya
akan membantu sebisanya meski diantara kalian sudah lelah. Dan kalau pun saya
lelah, maafkan saya, karena saya hanya manusia biasa.
Berbaik-baiklah dengan teman.
Bertemanlah dengan hati. Mulailah melakukan sesuatu tidak hanya untuk dirimu
sendiri, tapi lakukan sesuatu untuk orang lain. Tapi, kalau tidak bisa, saya
hanya bisa berkata: Allah tidak tidur dan jangan sepelehkan dia dalam menjamin
hidup seseorang.
Jakarta,
4 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.