Allahuakbar sekali
rasanya. Ingin berangkat ke Pulau Seribu, lha kok bisa-bisanya nyempal ke kampus UI.
Rencana piknik dengan Pebri (fotografer kantor) gatot karena saya kesiangan. Saya
baru tiba di Pelabuhan Muara Angke pukul sembilan pagi. Kabarnya, sudah tidak
ada lagi kapal yang berangkat. Sementara nasihat dari warga sekitar untuk mengejar
kapal di pelabuhan lain (yang saya lupa namanya) hanya terdengar samar-samar
dan blub... blub... blub di kuping. Biasalah,
namanya juga kecewa. Wajar dong bray.
Rencana berubah. Kami memutuskan
balik ke kos dan minta tolong si tembeleksinga
alias Rizal, alias Banyumas, untuk mengantar kami ke Stasiun Duri. Sepanjang perjalanan kami tidur dan ketika tergagap bangun, kami sampai di Stasiun UI dan turun. Rasanya
perjalanan kami kali ini susah dinalar.
Berjalan membelah
kerumunan dan lalulalang mahasiswa UI membuat ingatan saya kembali masa-masa
kuliah. Masa ketika kampus saya mengadakan study
banding ke UI. Saya mohon anda tidak salah sangka dengan kualitas kampus saya.
Karena di Indonesia itu ada dua jenis kampus UI: pertama UI Depok dan kedua
UI-Joyo. Kedua kampus ini dulunya adalah satu, tapi karena Gusti Allah
berkehendak lain, akhirnya terpecah jadi dua.
Soal UI, ingatan saya
dikembalikan ke wajah mbak-mbak cantik dan kinyis-kinyis
semester tiga. Mereka mengajari saya —
yang waktu itu sudah semester lima — tentang arti organisasi, kegiatan yang
baik, cara berorganisasi yang dapat kami terapkan di kampus kami. Tetapi, ya,
begitu itu. Kata-kata mbak cantik ini juga terdengar blub... blub... blub di kuping.
”Wes toh, mbak. Ngomong
sempak a koen iku. Wes talah, timbang raimu ngomong aneh-aneh, berkeluarga ae
ambek aku. Gelem a?”
Ya, ya, ya, kadar kriminalitas
saya waktu itu memang overdosis.
Saya ini tidak habis
pikir, mengapa ribuan siswa-siswi SMA sekarang pada kebelet berkuliah ke kampus ini. Bayangkan saja, apa yang bisa
diharapkan dari kampus yang di sana-sini banyak memajang spanduk jorok
bertuliskan larangan merokok. Meski kondisi sekitar kampus bersih, tetapi jalan
dari Stasiun UI ke lokasi kampus cukup bikin kaki kekar. Ah, pantas saja cewek-cewek UI, meski cantik-cantik, tetapi
berkaki kekar.
Suasana kampus UI Depok
memang terasa adem ayem meski tidak
pakai ”tototentrem kertoraharjo” macam Kalijodo. Muka mahasiswa-mahasiswi
kampus ini cukup bening. Yang cowok,
meski tak sebening Saipul Jamil (idola umat), tapi cukup lumayan buat digampar. Bagi saya, senyum mahasiswi UI
Depok ini terbilang mahal. Banaspati macam
apa yang merebut senyum mereka? Belum lagi senyum kecut mereka menyaksikan saya
mengambil gambar si Pebri di Fakultas Hukum. Mungkin ini kelakuan norak di mata mereka, tapi, ya, sudahlah.
Setelah cukup lelah berjalan, kami
memutuskan untuk ngopi di sebuah kantin dekat danau buatan. Kantin ini cukup
unik karena setiap waktu salat, kantin ini tutup sementara.
Kami ngopi dan makan sambil menikmati tatapan tak
bersahabat dari para penghuni kampus, yang mungkin tak suka dengan dandanan
saya, terutama celana robek-robek saya yang kelewat batas toleransi dan standar
style.
Yang membuat saya tergetar dari perjalanan ini
adalah ketika menumpang salat di masjid dekat kantin. Usai salat, saya leyeh-leyeh sambil bersandar di pojok
mesjid untuk melihat-lihat aktivitas para mahasiswa. Dan ternyata, luar biasa
sekali salat mereka. Dibandingkan dengan masjid di kampus UI-Joyo, masjid
kampus UI Depok jauh lebih ramai. Lebih banyak orang-orang yang duduk bersila. Ada
yang berdiskusi seputar isu terkini, soal agama dan seputar kuliah di serambi
masjid. Pemandangan di bagian belakang mesjid tak ada bedanya dengan mushalla di kampung. Banyak yang kelesetan mikir utang. Kalau di mesjid
ini, mungkin mereka memikirkan masa depan macam apa yang pantas bagi sarjana cap UI.
Atau mungkin sesekali membayangkan, berapa gaji yang pantas untuk mengganti
hasil belajar empat tahun.
Di barisan paling depan, ada mahasiswa-mahasiswa
yang sedang sholat berjamaah. Di sebelah saya ada juga yang main HP, ada juga
yang doa setengah nangis. Ada yang menunduk dan merenung. Mungkin ia sedang berdoa
agar jangan sampai punya peluang mengisi pos-pos buruh pabrik di bagian
produksi. Ada yang membaca tafsir Al Misbah, Qurais Sihab, sambil sesekali
menilik ponsel mereka yang sebesar telenan dapur.
Ya, Gusti saya senang dengan pemandangan macam ini
meski saya tidak sepenuhnya tergetar. Inferioritas saya kumat melihat
pemandangan macam ini. Pikiran saya jadi mengembara kemana-mana dan membuat
saya mendadak goblok. Saya jadi
membayangkan, kalau mungkin diantara mereka tak ada yang sudi dibayar dengan
gaji rendahan sekelas buruh coro, lalu siapa yang bersedia
tersingkir dan jadi bebodoran hidup alias sarjana ”madesu”?
”Ya, UI-joyo, dong. Siapa lagi?”
kata sebuah suara yang mungkin datang dari sebalik rusuhnya pikiran saya.
Jawaban itu membuat saya gelagapan. Mungkin saya
kurang ngopi. Saat itu juga saya kembali lagi ke kantin.
”Ayo ngopi lagi, Peb?”
*
Skenario Gusti Allah menciptakan dua kampus UI (UI Depok dan UI-Joyo) ini memang luar biasa. Kalau UI Depok ditakdirkan bicara ndakik-ndakik, maka pihak yang harus mendongak mendengarkan adalah UI-Joyo, seperti yang saya lakukan waktu study banding dulu. Begitulah syariat alam. Kalau kedua UI (UI Depok dan UI-Joyo) sama-sama bicara ndakik-ndakik, lantas siapa yang mau mendengarkan. Kondisi ini bisa membuat chaos di kedua kampus UI. Kalau UI-Joyo tidak ditakdirkan mendongak dan mendengarkan, bisa dipastikan penderita darah tinggi di UI Depok akan meningkat tajam.
UI Depok adalah salah
satu hal, dan UI-joyo adalah pelengkap. Coba bayangkan kalau ijazah dua kampus
UI (UI Depok dan UI-Joyo) tersebut punya nilai yang sama di mata dunia kerja,
tentu UI Depok bakal kesulitan membangun karena tak bisa mematok harga tinggi pada
para mahasiswanya. Kalau semua kampus punya nilai yang sama, tentu kapitalisasi
pendidikan akan bangkrut. Dan tentu saja ini tidak baik, tidak seimbang.
Kepada
sarjana lulusan UI-joyo, Alfatihah.
Mengapa saya hanya
mengirim Al Fatihah untuk semua sarjana lulusan UI-Joyo? Tentu saja karena
mahasiswa UI Depok lebih piawai merayu Gusti Allah untuk meminta kemaslahatan
dan kemapanan hidup untuk diri mereka sendiri. Bacaan salat mereka jauh lebih
fasih karena dipupuk dan didukung oleh lingkungan yang baik. Berbeda dengan
UI-Joyo, kampus nyelempit yang harus
mengikhlaskan dirinya menerima takdir sebagai kampus KW 3. Mahasiswa UI-Joyo
juga harus menghadapi badai cobaan dari tototentrem kertoraharjo-nya
gang dolly, gang texas, telang asri bergoyang, dan perum cendana muncrat-muncrat.
Jangankan untuk berdekatan dengan Gusti Allah. Bahkan, dengan hambanya
di UI Depok pun mereka sangat sungkan. Bahkan, doa mahasiswa UI-joyo
pun ikut-ikutan inferior. Doa mereka hanya berkutat pada sesuatu yang sepele
namun kongkrit: semoga bidik misi segera cair, semoga besok ada yang hajatan
dan kecipratan, semoga sering ada acara di kampus agar bisa numpang makan
gratis. Tentu saja Gusti Allah punya
matematika tersendiri dan tak mungkin keliru dalam mengkalkulasi nasib kedua UI
ini.
Di kantin, sebelum
melanjutkan perjalanan ke Bogor untuk menjenguk adik si Pebri, beberapa orang
mahasiswa UI Depok duduk semeja dengan kami. Dari logat bicaranya, saya bisa
pastikan mereka adalah mahasiswa asal Surabaya. Niat untuk mengajak mereka ngobrol akarab pun saya batalkan karena
sungkan mengganggu mereka. Dan inferioritas saya belum benar-benar reda.
”Nongkrong sambil liat
air di danau memang bikin tenang, Peb.” Lalu meringis kemudian.
Depok, 20 Februari 2016
Dalbo
(alumnus UI-joyo)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.