Citra D. Vresti Trisna
Pameran transportasi
dan infrastuktur kali ini terbilang cukup berhasil. Output yang ingin dikejar
adalah membenahi sektor pariwisata nasional serta meningkatkan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Betapa mulia para punggawa kementerian
perhubungan dan penyelenggara acara yang berniat membuat cost perjalanan wisata jadi murah. Tentu hal ini tidak lepas dari
pantauan Wak Dalbo, sepion Warga Dudakarta.
”Wah, ini baru kerjasama
yang agung. Pemerintah itu, ya, harusnya membuat terobosan yang seperti ini,”
kata Mas Rombong.
”Dengkulmu suwek,
Mbong! Ini hanya tema acara, jangan gumunan
kamu!?” Protes Dalbo.
”Kita sebagai Warga
Dudakarta yang oleh Gusti Allah digariskan untuk study banding dalam rangka
mengambil hikmah dan manfaat dari kesontoloyoan Jakarta harusnya melihat ini
dengan jeli....”
”Apa sih, Mbong! Ndak
usah lebay... Tuh lihat Mbah Ripul sejak tadi hanya diam, mencureng. Kenapa sampeyan, Mbah? Sudah, sudah, sudah, penutupan
jalanan Roxy dan demo Warga Setia Kawan ndak usah terlalu sampeyan pikirin,” ujar
Dalbo mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Saya mikir soal demo itu,
Bo-Dalbo. Tapi itu tidak terlalu menyita pikiran. Saya hanya berpikir soal
omongan Mas Rombong yang saya pikir ada benarnya. Mungkin Mas Rombong benar
karena soal orientasi acara pameran di Smesco, Pancoran, itu sangat mengena dan
cocok dengan kondisi saat ini,” ujar Mbah Ripul.
Sambil ngoncek’i ketela, Mbah Ripul
melanjutkan, ”pertama, saya ingin melihat ini dari sisi pemerintah. Mengapa
tujuan acara yang orientasinya membenahi sektor wisata jadi penting? Itu tidak
lepas dari asas manfaat. Kalau kabinet dukun tiban itu tidak dapat membenahi
situasi nasional, minimal tidak menambah masalah, terlebih menambah utang. Menggeliatnya
sektor pariwisata bukan sekedar karena pengaruh si Realin Syah, pacar Mbah yang
main di film 5 cm...”
”Modelmu, Mbah!”
Celetuk Dalbo. Sambil kecapan warga Dudakarta
menyaksikan Mbah Ripul orasi.
Film itu hanya trigger untuk
meledakkan gunungan stress nasional yang dilampiaskan dengan cara dolan, mbolang, oleh kaum yang menamakan
diri MTMA. Kalau stress sudah sampai puncak, jalan pulang yang paling aman
adalah mbadog dan berwisata. Kalian jangan
heran kalau acara kuliner semakin laris. Kalau dulu wisata itu me-re-fresh
kejenuhan, kalau sekarang sudah lain. Ketimbang harus gantung diri massal,
lebih baik, ya, dolan; lari dari masalah dan berbagai himpitan akibat ketololan
dan sikap gembelengan dukun tiban.
Stress nasional bukan
semata kesalahan dukun tiban. Tapi manusia Indonesia sudah semakin gagal dalam
mengelola stress; gagal untuk menjadi lebih besar dari himpitan itu sendiri. Maka
manusia Indonesia ramai-ramai menjadi petualang; merasa seakan-akan jadi
penahluk sebuah destinasi. Setelah sampai ke tujuan, foto selfie, update di
medsos, mereka merasa seolah-olah berhasil mengatasi segala kerumitan dan
merasa jadi jawara hidup. Apa setelah mereka kembali ke kantor masing-masing;
setelah pulang ke rumah, mereka bisa segagah di tempat wisata? Ya, tidak! Mereka
pasti kelop-kelop sambil ndlahom di bilik masing-masing.
Apa jadinya kalau
wisata itu mahal harganya? Bisa gawat, kan? Itulah mengapa upaya pemerintah
membenahi pariwisata harus diapresiasi. Ketimbang si dukun tiban itu
mengalihkan hampir semua anggaran untuk MRT dan untuk benahi sektor lainnya
harus utang, mending suruh kabinetnya memperbanyak tempat wisata, hiburan
malam, disko ndangdut, karaoke seribu rupiah pinggir jalan, atau membantu
Alexis membuka cabang ke seluruh pelosok tanah air agar tidak terjadi
kesenjangan hiburan. Bahkan kalau perlu memberikan subsidi. Kalau tidak bisa
membenahi masalah, minimal jangan menambah masalah.
”Sesat itu, Mbah!”
Protes Mas Bule yang kebetulan ikut mendengar omongan Mbah Ripul.
”Kamu senang tempat
semacam Kalijodo ditutup?” Tanya Mbah Ripul.
”Senang dong.” Jawab
Mas Bule, singkat. ”Memberantas kemaksiatan itu tugas saya dan untuk tujuan itu
pula saya dilahirkan,” Jelas Mas Bule.
”Kalijodo ditutup kamu
senang. Sekarang kamu mau apa ketika penutupan Kalijodo hanya upaya
sentralisasi porstitusi ke tempat yang lebih ekslusif dan mahal. Apakah memberantas
kemaksiatan itu lebih penting ketimbang berlaku adil dalam hal hiburan ke supir
bajaj; berlaku adil ke coro zaman
yang jadi tuna hiburan? Berani sampeyan menghajar porstitusi yang lebih besar
dan terstruktur? Berani sampeyan melabrak porstitusi yang lebih besar yang
terlindung di balik seragam dinas?”
”Kok jadi melebar, ya, Mbah?”
Mbah Ripul membanting
ketela yang dikupasnya. ”Ini yang bikin saya gregeten. Kesombongan semacam ini yang bikin dunia tambah panas. Kalau
kamu sudah berani menghajar Alexis dan njundu
pemiliknya, saya cium dengkulmu. Jangan hanya bangga Kalijodo tutup tapi
mendiamkan Kalijodo lain yang lebih besar. Mestinya kamu tahu Kalijodo itu
tempat apa. Pelenyapan Kalijodo tanpa memberikan alternatif hiburan itu dangkal.
Cobalah untuk menjadi manusia yang tidak sempit seperti otak eksekutor pelenyapan
Kalijodo. Jangan menggusur kalau hanya menyediakan kotak-kotak rusun dan
membuat mereka kian tercekik dengan uang sewa, lenyapnya penghidupan dan
kenyamanan...”
”Salah maneh! Ealah...”
”....” Mbah Ripul
kehabisan kata-kata lantas memunguti ketela yang sudah dikupas dan masuk ke
rumah lalu ambil wudhu.
Jakarta,
Jumat Pahing, September 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.