Citra D. Vresti Trisna
Mencari penghianat di
kotak wayang itu gampang-gampang susah. Pekerjaan ini sangat bergantung dari lakon yang sedang
dimainkan. Dalang adalah orang yang berperan dalam merenung seperti filusuf,
mengkalkulasi, (kalau perlu) sholat istikharah dan barulah mengambil sang
penghianat untuk ditancapkan ke gedebog.
Penonton yang sabar berhak tahu sambil merem-melek mendengar narasi; alasan
seseorang dituduh berkhianat. Setelah beberapa saat, dalang harus menunggu dan
memberi jeda pada dirinya sendiri dan yang terpenting adalah menguji respon
penonton
—
sang hakim agung — terutama membaca ekspresi mereka dari riuh-rendah suara,
naik-turun tarikan napas dan kasak-kusuk bunyi di sebalik hati penonton.
Di sebuah kultum subuh Mbah
Ripul pernah dawuh, ”dalang bersertifikat itu bukan yang pinter jungkar-jungkir
dan membuat wayang salto, tapi yang pandai menerka isi hati penonton lalu
membuat mereka kecele.”
Cobalah buat riset
kecil dengan mengamati sejumlah film. Cari film mana yang tidak sesuai dengan
isi hati penonton dan yang film yang sesuai isi hati. Mungkin sesuai itu bisa
berarti film tersebut menye-menye
atau mungkin happy ending. Hubungkan dengan
dua hal tersebut dengan jumlah penonton bioskop setelah beberapa minggu tayang.
Hubungkan juga dengan keberlangsungan film, seperti: Sniper 1, 2, 3; AADC dan
AADC2. Cobalah anda tengok, ekspektasi penonton di film cukuplah dipenuhi
dengan yang paling mendasar saja, seperti: sinematografi, tokoh bebodoran, kecantikan
dan ketampanan pemain, jalannya cerita, dan kemampuan akting. Soal muatan nilai
itu sunnah. Yang penting adalah
bagaimana cerita itu berakhir. Semakin sinting ending film itu semakin bagus. Terlebih
jika film berbuah rasa gregetan karena kejutan akhir.
”Lha hubungannya dengan
dalang, mbah?” tanya Mas Rombong.
”Ini hanya soal
kepekaan sutradara pada cerita dan menentukan calon penontonnya. Ketika dalang
benar-benar tahu siapa yang bakal mengikuti pertunjukannya, tentu saja ia akan
punya kans dalam menunjuk siapa penghianat, siapa pahlawan dan siapa kambing
congek dan sengkuni. Lha apa jadinya kalau ada pembuat film hantu yang punya
segmen masyarakat religius tiba-tiba menjadikan tokoh pak haji sebagai penjahat
dan si hantu sebagai pahlawan? Yang penting jelas dulu tokoh dan karakternya. Kalau
soal di tengah cerita pak haji dikalahkan hantu dan penonton jadi gregeten
sendiri itu terserah dalang.”
Mas Rombong
manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mbah Ripul.
Bagaimana dengan nasib
dalang? Soal pada akhirnya si dalang dibilang keparat-durjana, itu wajar. Justru
dia bakal terkenal, punya banyak haters dan punya banyak pendukung. Gunjingan
soal film justru bakal meningkatkan rating film. Lambat laun, penonton bakal move on: ”ini kan hanya film.” Seperti rumus:
semakin sering dibicarakan, semakin cepat pula dilupakan; semakin cepat dimaafkan.
Kalau soal nasib penghianat, itu lain soal. Ia selamanya akan jadi penghianat
di mata sebagian orang dan dijadikan pahlawan bagi sebagian yang lain.
Film itu seperti hidup
manusia, terlampau luas untuk dikembarai. Ada banyak kemungkinan. Orang-orang
yang berkelahi adalah yang berada di dalam pro-kontra. Sedangkan yang di tengah:
bisa jadi penonton yang tidak peduli, bisa jadi mediator, bisa jadi pemasang
taruhan, bisa jadi komentator, bisa jadi pencatat.
”Di dalam hidup yang
maha luas ini, seseorang bisa jadi penghianat tapi lima menit kemudian jadi
pahlawan. Bisa jadi pahlawan, satu detik kemudian jadi bandit dan penghianat.” Kata
Mbah Ripul.
”Lha bagaimana cara menyikapi
ketika kita jadi salah satu aktor itu, mbah?”
”Jadilah dirimu sendiri
yang hanya memasrahkan semua kepada Maha Dalang, Maha Sutradara. Pokoknya jangan
takut dengan sutradara-sutradara kecil. Nanti kamu terjebak syirik,” pungkas
Mbah Ripul.
Beberapa menit sebelum jamaah
sholat subuh bubar, sebagai lurah teladan Desa Dudakarta, Mas Rombong memberi
pengumuman: ”Sedulur sedoyo, di pelosok-pelosok kampung Jakarta sedang ramai
nonton barang film G30S/PKI. Jangan lupa kita bersolidaritas untuk nonton juga.
Siapa tahu masing-masing dari kita bisa memetik hikmah. Amin.”
Jakarta,
Kamis Legi, September 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.