Citra D. Vresti Trisna
Ketika buang air di
sebuah mall, mata Wakebol nampak serius membaca-baca tulisan tentang indikator
urine dan sesekali melihat warna urinenya. ”Mbong, warna urinmu apa?” tanya
Wakebol ke Mas Rombong yang juga sedang buang air di sebelahnya. Karena tak
kunjung dapat jawaban, kepala Wakebol melongok ke urinoir sebelahnya.
”Buseeeet... Warna
urinemu kok sangar yah? Warnanya ungu! Ndak ada di indikator,” kata Wakebol
terheran-heran. Melihat Wakebol yang melongo melihat warna kencingnya, Mas
Rombong pasang muka stay cool dan
menyelesaikan kencingnya lalu mengambil air di wastafel dan cebok.
Sontak saja cleaning service yang melihat sikap Mas
Rombong langsung geregetan dan tak bisa menahan diri. ”Mas, itu bisa keluar air
sendiri kok malah ke wastafel ambil air? Ndak sopan!” Protes ob.
”Gundulmu! Saya ndak ngerti. Meski bisa keluar air sendiri, saya
ndak mau memasrahkan urusan cebok saya dengan mesin yang ndak punya
rasa-pirasa. Alat kencing ini ndak tau apakah saya sudah merasa cukup bersuci
atau belum. Salah siapa bikin alat kencing kaya gini?” kata Mas Rombong yang
tak mau kalah.
”Ndeso!”
”Kalau saya ndeso, mau
apa kamu?” Tantang Mas Rombong. ”Kalau urusan bersuci, mending kita duel,”
lanjutnya.
Ketika kondisi makin
memanas, Wakebol berusaha menahan Mas Rombong agar jangan sampai berkelahi di
mall. Ia mengambil inisiatif untuk melerai dan mengajak Mas Rombong keluar
sambil menyalami ob uang dua puluh ribu sebagai tanda damai. Karena masih tidak
terima, Mas Rombong terus ngomel. Sebagai orang yang paling mengerti kehidupan
dunia modern, Wakebol berusaha menenangkan Mas Rombong.
”Kalau nantinya saya
tak bisa sholat karena najis, apa ob itu mau menaggung dosa? Dasar sontoloyo!”
Mbah Ripul yang
menunggu di luar, bertanya mengapa Mas Rombong marah-marah dan Wakebol
menceritakan kejadian di dalam toilet. ”Sudah-sudah, besok kalau sudah punya
uang sendiri, kita bikin saja mall sendiri; bikin mall yang paham urusan paling
remeh kaya buang air kecil,” kata Mbah Ripul.
Selain wudhu dan
sholat, Mas Rombong hanya bisa diredam emosinya dengan nguntal sesuatu. Akhirnya, mereka bertiga nyangkruk di lapak penjual donat.
”Lha iya, mbah. Katanya
modern kok urusan kencing yang jadi kegiatan rutin saja masih bodoh. Apanya
yang modern?” kata Mas Rombong sambil mulutnya penuh nguntal donat dan makan es cream.
Mbah Ripul mengingatkan
Mas Rombong agar sabar dengan kehidupan di Jakarta. Ia paham mengapa Mas
Rombong marah, tapi ia juga menyalahkan temannya karena harus ribut dengan ob.
Karena, menurutnya, ob hanya menjalankan tugas. Di mall itu, ob cari makan
dengan membersihkan toilet dan lantai sehingga tidak punya kuasa untuk
mendesain tempat kencing yang ideal. Ob tidak bisa memilih apa yang akan
dibersihkan.
Tempat kencing di mall
besar didesain untuk mewadahi kemalasan manusia-manusia kota yang kebanyakan
teramat malas bersuci dan tidak punya urusan bersuci. Kalau pun hendak membuat
toilet yang memungkinkan bersuci dengan sempurna, tentu saja itu jadi masalah
tersendiri. Mereka tidak ingin mallnya sepi pengunjung hanya karena urusan
buang hajat.
”Kelak, kalau kemalasan
warga kota sudah meningkat 200 persen, pekerjaan ob adalah menceboki orang yang
hendak ke toilet. Jadi bukan toiletnya saja yang dibersihkan, anu dan pantat
orang yang buang hajat akan dibersihkan sebagai bagian dari service plus-plus
kepada pengunjung. Bahkan pengunjung mall, bisa pilih dibersihkan dengan ob
wanita, pria atau wandu,” kata Mbah Ripul.
”Hahaha...!? Kalau
bakal seperti ini, saya akan rajin kencing,” kata Wakebol.
Mas Rombong yang sudah
reda ikut menimpali. ”Kalau begitu, kamu bukan kencing di toilet, tapi
mengencingi.”
”Mbong, kok tadi
kencingmu bisa warna ungu sih?”
Mendengar pertanyaan
Wakebol, Mas Rombong senyum-bangga. ”Warna kencing saya tak ingin diterka dengan
dunia kesehatan modern. Ndak perlu sok mengurai dan menganalisis warna air
kencing kalau belum mampu bikin toilet bagus. Lagi pula bagaimana mungkin
rekomendasi yang ditawarkan indikator kencing itu adalah banyak minum air
putih. Tubuh butuh sepertiga air, makanan dan udara. Terlebih urusan kesehatan
dan berbagai indikatornya ada di dalam pikiran. Jadi kesehatan tak hanya cukup
dengan indikator warna urine,” jelas Rombong.
Wakebol manggut-manggut
tanda mengerti. ”Kalau arahan harus minum air delapan gelas sehari itu
bagaimana, Mbong? Tanya Wakebol.
”Itu lebih sinting
lagi. Yang perlu dilakukan manusia agar tetap ’sehat’ adalah minum air putih
segelas tapi dengan rasa syukur hingga delapan kali itu yang masuk akal.”
”Jadi itu sebabnya,
kencing sampean berwarna ungu?” Kejar Wakebol. Mas Rombong tidak menjawab lagi
dan hanya manggut-manggut. ”Oalah, bisa sinting aku Mbong dengarkan omonganmu,”
kata Wakebol.
Jumat
Kliwon, September 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.