Citra D. Vresti Trisna
Merasa belum mendapat
kemantapan hati atas Alexis, warga Dudakarta kembali lembur yasinan. Setelah
mata cukup panas dan perut warga sudah keroncongan, barulah mereka ngaso barang
sejenak. Pedas wedang edang jahe buatan istri Mas Rombong membuat mereka
kembali greng. Mata mereka lebih greng lagi ketika sadar bila Gus Miek rawuh yasinan
dan ikut menikmati suguhan wedang jahe. Setelah ia berkata, ”khairul umuri
ausatuha,” beliau lenyap.
Sebaik-baik perkara
adalah yang di tengah!
Akhirnya warga
Dudakarta manthuk-manthuk dan mulai bertanya satu sama lain
untuk mempertanyakan apakah mereka akan meneruskan yasinan atau justru pulang
ke rumah masing-masing.
”Tengahnya Alexis itu
apa hayo?” Celetuk Wakebol disambut riuh rendah suara warga yang ngaso.
Warga
Dudakarta sepenuhnya sadar bila mencari jalan tengah dan mengambil hikmah atas
perkara Alexis tidak semudah pertanyaan tebak-tebakan anak kecil: tengahnya
pasar ada apa? Lalu akan dijawab, ”ada essssss...” Mereka juga sudah
memperhitungkan bila ”tengah Alexis” itu bukan ”ex”, melainkan kompleksitas
persoalan yang sudah runyam dan mengakar. Selain itu, pelacuran adalah salah
satu kebudayaan purba yang masih hidup hingga kini dan terus memperbarui diri
dengan wajah yang baru. Pelacuran boleh dikekang, tapi selalu ada celah dan
cara manusia untuk melampiaskan hasrat yang ilegal dengan cara baru yang lebih
canggih. Karena pelacuran kelamin adalah akibat kesekian dari pelacuran etika,
kepercayaan, iman, pendidikan dan lainnya.
Kalau warga Dudakarta boleh
berbaik sangka, upaya Pemprov DKI hanya sejengkal dari upaya kaffah yang
perlu didukung. Masyarakat memang lebih tua dan matang dari Pemprov, tapi
hendaknya sebagai orang yang berada di depan perlu memberi teladan sikap. Kalau
ternyata penutupan Alexis hanya sekedar langkah dan tidak diikuti upaya kaffah lainnya.
Atau upaya kaffah ini juga kembali
berlaku ketika Alexis jilid dua, tiga, seratus. Karena penutupan Alexis itu
berbeda dengan penutupan warteg di tanah sengketa. Alexis jilid 2, 3, 4, sampai
1000 hanya butuh waktu beberapa hari untuk kembali bangkit. Sedangkan untuk
usaha mikro bangkit setelah dihajar buldoser itu susahnya setengah modyar.
Kalau boleh melanjutkan
berbaik sangka, penutupan Alexis kali ini adalah salah satu jalan untuk
menyelesaikan persoalan tanpa buldoser dan memasang aparat untuk diadu dengan
rakyat. Jalan yang ditempuh Anies terbilang cukup sunyi dibanding gubernur
sebelumnya meski langkah yang telah diambil bukan tanpa risiko.
Alexis boleh saja
ditutup dengan cara yang senyap dan hampir tanpa teriakan kasar orang kecil
yang mengamuk sambil memberanikan diri menyongsong pentungan polisi. Tapi,
apakah mereka (orang-orang kecil dalam lingkaran Alexis) benar-benar diam?
Jawabnya belum tentu. Siapa yang tidak marah usahanya kukut? Kalau
mereka tidak buka suara dan berteriak memaki di depan hidung pemprov, mereka
bisa saja berteriak dalam hati sambil sesegukan menangis mengadu langsung ke
Gusti Allah sang pemilik 100 persen saham kehidupan manusia; pemilih
benar-salah dan hakim paling jujur atas hidup. Terikan dalam sepi ini justru
lebih berbahaya dari dibandingkan demo ribuan warga.
”Susah juga, ya?”
Kepekaan Mas Rombong
mendengar suara sunyi di kedalaman hati warganya segera diutarakan kepada Mbah
Ripul. ”Susah juga, ya, mbah jadi Gubernur?!” Kata Mas Rombong.
”Kalau pemimpin
terbiasa bersikap munafik dan punya bakat memimpin warga sambil nyambi dagang,
ya, tentu sulit. Kalau mereka mau sedikit saja puasa dan tirakat tentu mereka
tidak akan kesulitan mendengar suara sunyi. Yang harus dilakukan Pemprov DKI
adalah belajar mendengar suara sunyi rakyat sebagaimana pemimpin terdahulu.
Mendengar suara sunyi dalam konteks kepemimpinan itu hukumnya wajib, bukan
sekedar sunnah,” jawab Mbah Ripul.
Menurut Mbah Ripul,
satu-satunya jalan pemprov terhindar dari kualat orang-orang kecil — tidak
hanya perkara Alexis — adalah belajar mendengar suara sunyi dan mengambil
tindak lanjut atas kebijakan yang sudah dibuat berdasarkan suara sunyi itu.
”Apakah pemimpin baru
DKI itu sudah pandai mendengar suara sunyi?”tanya Mas Rombong lagi.
”Besok saya akan undang
dua orang itu untuk wawancara di warung Mang Alim,” tukas Pakde Dalbo. ”Saya
juga akan kasih mereka pertanyaan sulit soal ”jalan tengah” Alexis sebagaimana
kata Gus Miek ketika rawuh tadi,” ujarnya yakin.
”Modelmu Bo-Dalbo.”
”Kalau begitu tengahnya
Alexis ada apanya?” tanya Wakebol.
”Ada eeexxxxx” warga
koor dengan kompak.
Dudakarta,
Jumat Pahing, November 2017
1 komentar:
Pengen juga pak Kiai Citra, untuk Ikut Yasinan alexsis
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.